Sabtu, 22 Agustus 2015

Mengenal Ahmad Tohari, Masalah sosial diangkat dalam sastra

Pengantar
Tulisan yang dimuat pada blog beberapa waktu yang lalu menampilkan karya Ahmad Tohari, yakni cerita pendek Wangon Jatilawang. Sudah pernah membacanya? Berkisah tentang seorang yang menderita keterbelakangan mental tetapi sadar akan kewajiban seorang muslim yang harus berpuasa pada bulan Ramadhan. Dia seolah-olah minta keringanan atas kewajiban ini. Bagaimana kisahnya? Bacalah cerpen tersebut pada edisi  yang lalu.

Saat ini, disajikan tulisan mengenai sosok Ahmad Tohari dan sikapnya yang terungkap saat menerima penghargaan atas karya-karya yang dibuatnya. Ada dua teks yang disajikan berupa berita. Melalui tulisan ini diharapkan kita bisa lebih dekat mengenal sosok sastrawan ini, dan juga mendorong untuk mau membaca karyanya. Saya - Agus Ahmad Hidayat - menganjurkan untuk membaca  novel karya beliau yang berjudul "Kubah" yang bercerita tentang kehidupan seseorang dengan benturan keyakinan, benturan kondisi sosial budaya yang dilatarbelakangi paham komunis di tanah air Indonesia. Sangat menarik untuk didiskusikan dengan berbagai sudut pandang peninjauan.

Kegiatan siswa
Buatlah ringkasan atau rangkuman, setelah membaca dua teks tersebut!

Isi sajian
Teks 1
Ahmad Tohari Sindir Ketidakpedulian Negara terhadap Sastra

TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan dan budayawan Ahmad Tohari mengeluhkan kurangnya perhatian negara terhadap dunia sastra. “Puluhan tahun saya berkarya di dunia sastra yang sepi ini, jarang sekali dunia saya ini mendapatkan perhatian dari para petinggi negara,” ujarnya saat menerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2015 di hadapan Ketua DPR Setya Novanto dan sejumlah tamu undangan PAB.

Sastrawan kelahiran Banyumas 67 tahun yang lalu tersebut menambahkan bahwa selama ini apresiasi terhadap dirinya dan dunia sastra Indonesia secara umum lebih banyak berasal dari luar negeri. Dunia sastra di Indonesia, menurut dia, masih belum diminati bangsanya sendiri. “Tingkat baca karya sastra masyarakat Indonesia baru sekitar 7 persen,” katanya.

Ahmad Tohari menjelaskan bahwa para sastrawan maupun pembaca karya sastra adalah orang-orang yang perasa dan peka terhadap kondisi di sekitarnya. Karena itu, kata dia, keberadaan mereka penting untuk diperbanyak di masyarakat. “Indonesia sudah memiliki banyak manusia yang cerdas dan terampil, tapi masih kekurangan manusia yang perasa dan sensitif,” tuturnya.

Ahmad Tohari menerima Penghargaan Achmad Bakrie pada bidang kesusastraan karena dia dianggap sebagai tokoh yang memperkokoh tradisi sastra realisme di Indonesia. Dia dipandang piawai mengolah inspirasi dari kehidupan di sekitarnya serta peka terhadap masalah sosio-kultural masyarakat pedesaan.

Penghargaan Achmad Bakrie diberikan oleh Yayasan Achmad Bakrie kepada para tokoh terbaik bangsa yang dinilai telah memberikan sumbangan besar dan berharga bagi pembangunan nasional.

Tahun ini, PAB memberikan penghargaan kepada Azyumardi Azra, bidang ilmu sosial; Ahmad Tohari, bidang kesusastraan; Tigor Silaban, bidang kedokteran/kesehatan; Suryadi Ismadji, bidang sains; Kaharuddin Djenod, bidang teknologi; dan Suharyo Sumowidagdo, ilmuwan muda berprestasi. Hingga penyelenggaraan ke-13 pada tahun ini, PAB telah menganugerahkan 51 tokoh nasional dari berbagai latar belakang keilmuan.
sumber: Tempo co
Penulis: Raditya Pradipta

teks 2
Sastrawan Ahmad Tohari Sindir Ketua DPR

VIVA.co.id - Penerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) XII 2015 dari Kesusateraan, Ahmad Tohari mengkritik lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dinilai sering gaduh.

"Bapak Setya Novanto (Ketua DPR), kami butuh sastra, bukan cuma gaduh saja," ujar Ahmad Tohari, di acara PAB XII 2015, di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Jumat malam, 21 Agustus 2015.

Dia menilai, bahwa lembaga negara kurang peduli kepada dunia sastra di Indonesia. Karena kurangnya dukungan dari pemerintah terutama soal anggaran kepada bidang sastra.

"Daripada menganggarkan yang gaduh, mending kasih ke sastra saja," paparnya.

Tohari menjelaskan, banyak orang yang pandai Indonesia, tapi yang kurang adalah perasa dan sensitif. "Berpolitik tanpa sensitifitas sehingga gaduh mulu," paparnya.

Mendengar sambutan dari Ahmad Tohari tersebut, Ketua DPR, Setya Novanto hanya tersenyum.

Tohari menegaskan, bahwa peminat dunia sastra saat ini sangat sedikit sekali, bahkan hanya tujuh persen warga negara Indonesia yang peduli sastra.

"Ini mengetuk pemerintah agar tidak mengabaikan sastra," ujarnya.

Kurang peduli

Dia menuturkan, bahwa tidak ada bangsa yang bisa maju tanpa ada dunia sastra. Selain itu, dengan sastra dapat menyeimbangkan antara otak kanan dan kiri.

"Kita butuh sastra, bukan gaduh. Karena sastra tidak hanya cerdas, tetapi punya sensitifitas. Pintar tanpa sensitifitas berbahaya," paparnya.

Oleh karena itu, Tohari mengajak semua warga negara Indonesia agar menghidupkan kembali dunia sastra yang selama ini jarang diminati masyarakat.

Lebih lanjut, Tohari menyayangkan pemerintah yang kurang memperhatikan keilmuan di bidang sastra.

"Kadang saya emosi, seharusnya pemerintah sadar, ini harus diperibaiki. Tentunya dengan cara pemerintah memborong buku-buku untuk dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah. Kan pemerintah duitnya banyak," ujar Tohari.

Tohari menilai, minat masyarakat membeli buku sangat kurang sekali, sehingga pemerintah harus memerikan solusi guna mendongkrak buku sastra.

"Tapi, berbeda dengan negara lain yang minat membeli buku sangat tinggi," paparnya.

Tohari menuturkan, bahwa dunia kesusastraan Indonesia sangat mundur sekali. Sebab, ketika zaman kolonial Belanda para pelajar diwajibkan membaca buku sastra.

"Setelah tahun 1951, membaca sastra tidak wajib lagi," ujarnya.

Dia menambahkan, bahwa kendala memajukan bidang keilmuan sastra sebetulnya adalah masalah sistem pendidikan yang tidak memberikan ruang bagi perkembangan sastra.

"Saya kira pemerintah mempunyai kesalahan dalam kebijakan. Karena itu, saya berani katakan itu," ungkapnya.

Dunia sastra sepi

Adapun, Tohari merupakan sastrawan Indonesia yang gelut menekuni bidang keilmuan di bidang kesusastraan dari tahun 1970.

Pria kelahiran 13 Juni 1948 ini dikenal sangat sederhana, berlatar belakang keluarga dari kalangan santri. Bahkan sangat tekun mendalami keilmuan sastra, meskipun hanya tinggal di pedesaan, Banyumas, Jawa Tengah.

Atas ketekunannya, Tohari menghasilkan berbagai buku dalam bidang kesusastraan dan berhasil mendapatkan penghargaan dari Acmad Bakrie Award bidang sastra.

"Saya berharap dengan penghargaan ini, dapat menginspirasi pihak lain, dan penulis muda," ujar Tohari.

Menurutnya, bahwa peminat dan mengembangkan dalam dunia sastra sangat minim sekali di Indonesia. Karena, perkembangan ilmu kesusastraan dianggap stagnan dan dianggap mundur.

"Ya sedang sepi dunia sastra," katanya.
sumber: Viva co id
penulis:  Siti Nuraisyah Dewi, Syaefullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar