Menang
kerbau
- cerita rakyat -
Apa
yang kuinginkan, sebetulnya, hanyalah seperti yang ayah ceritakan; sebuah dunia
yang tenteram, suatu kehidupan yang sentosa. Tak ada perang, tiada tentara.
Suatu kerajaan, suatu pemerintahan, atau mungkin lebih tepat suatu organisasi
yang hanya memikirkan kesejahteraan bersama, menghilangkan sebutan bangsawan
atau rakyat biasa dan yang membedakan antara yang satu dengan yang lain
hanyalah peran masing masing dalam kebersamaan.
Tapi
aku bukanlah raja.
Dan
kakaku bukanlah sutan balun.
Bagaimanapun
telah berubahnya sutan marajo, Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa besar di
majapahit. Sebagai seorang yang pernah memegang jabatan panglima perang, logikanya
tak bisa dilepaskan dari tentara, dan senjata. Maka , ‘kau bermimpi, Dinda. Tak
ada kerajaan tanpa angkatan perang,’ katanya ketika suatu hari aku menyampaikan
apa yang ada dalam pikiranku.
‘aku
tak bermimpi, kakanda. Bila perang dihilangkan dari bahasa, orang pun takkan
mengerti cara melakukannya, pernahkah kanda dengar suatu daerah yang tak
memiliki kata dusta dalam bahasanyha? Itu karena mereka memang tak pernah
melakukan dusta.”
“Untuk
dusta mungkin saja. Tapi untuk perang tidak akan, Dinda. Sebelum orang lain
mendahului kita, akan lebih menguntungkan kalau kita mendahului mereka.”
“Tapi
logika itu bukankah bisa dibalik, kakanda? Jika kita tak menyerang orang lain,
orang lain pun tak punya alasan menyerang kita.”
“orang
akan membuat alasan. Selalu orang akan membuat alasan. Beribu ribu alasan, adinda.”
Begitulah.
Tapi kusadari, ini fasal yang sama sekali berbeda dari tarik balas. Dan akan
jauh lebih sulit. Berselisihnya dunia antara diriku dengan Aditiawarman atau Sutan
Marajo Basa adalah penyebab utama. Kondisi seperti ini, diperlihatkan oleh
sejarah, hanya bisa dipecahkan dengan masuk ke dunia pertama untuk kemudian
membawanya ke dunia kedua. Tapi, akan mampukah aku? Karena itu sama artinya
dengan lebih dulu masuk ke dunia kakakku. Sejarah penaklukan itu.
Hanya
ayahku cati bilang pandai yang bisa mengerti.
Hanya
... Hanya ibuku bundo kanduang yang mapu memahami.
Setiap
memandang bundo, setiap memandang adikku puti jamilan, setiap memandang
perempuan, perempuan mana saja di belahan dunia mana pun, aku selalu melihat
kekuasaan memporak porandakan mereka. Di daerah taklukan juga di daerah
kemenangan. Di daerah taklukan menjelma jeritan, di daaerah kemenangan menjelma
hiburan. Tak lebih dari benda, legitimasi dari apa yang orang laki laki sebut
keperkasaan.
***
Tapi,
rupanya, aku tak perlu masuk ke dunia Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa. Hanya
karena seekor kerbau.
Pada
masa itu, bersamaan dengan tumbuhnya Pagaruyung, di utara juga muncul sebuah
kerajaan yang karena lokasinya baik cepat menjadi besar. Orang orang
menyebutnya Pasei, atau kadang kadang samudera Pasei. Dan hari itu, muncullah
tiga orang utusanna ke Pagaruyung membawa sepucuk surat dari yang dipertuan di Pasei.
Setelah
membacanya, wajah kakakku menegang.
“apa
sinya, kanda?”Tanyaku.
Perang
Perang
kenapa harus berperang aku mendadak ingat kuntu punya hubunga dengan Pasei.
Apakah alasannya. Bukan mereka kitalah yang punya alasan.
Kita.
Aku tak mengerti, kakanda. Boleh kubaca apa yang tertulis di sana.
Kakaku
sutan marajo basa menyerahkan surat itu kepadaku. Setelah membacanya aku jadi tersenyum. Dan
kataku, kenapa ini kanda jadikan alasan. Kalau mereka hanya ingin mengadu
kerbau, tidakkah sebaiknya kita layani.
Dengan
kerajaan sebagai taruhannya. Jangan gila, adinda.
Nah,
kalu kanda tak setuju ya, tolak saja. Kenapa harus berperang.
Ini
penghinaan, adinda. Mereka pikir, apakah Pagaruyung tak punya angkata perang?
Tapi
bisa juga sebaliknya, kakanda. Karena mereka tahu bahwa Pagaruyung kuat
angkatan perangnya, mereka gunakan akal untuk menundukkan kita.
Akal.
Kakakku tertawa. Mereka pikir, apa itu akal. Beraninya mereka menawar Pagaruyung
hanya dengan sepotong akal.
Justru
itu, kanda. Kita harus tunjukkan bahwa kita lebih berakal daripada mereka.
Adinda.
Yang kita pertaruhkan, ingat, adalah kerajaan Pagaruyung.
Apakah
kanda takut kita akan kalah.
Kakakku
terdiam. Kubayangkan apa yang ia pikir. Tentulah ia ragu. Mengadu kerbau, dan
kerajaan taruhannya. Kalau orang Pasei itu kalah, apakah mereka takkan menyesal
menyerahkan kerajaannyha. Hanya karena seekor kerbau. Dan kalau kemudian
ternyata Pagaruyung yang kalah?
“akan
kita taklukkan mereka, kakanda,” lanjutku. “Kita buktikan bahwa kita tak hanya
punya angkatan perang yang kuat, tapi juga memiliki binatang ternak yang
terlatih. Lagi pula, kanda, dengan hanya mengadu kerbau, kita telah menghemat
banyak biaya. Dan yang lebih penting, telah menyelamatkan banyak nyawa.”
Lama
kakakku berpikir. Tentulah ia masih ragu. “Dinda,” katanya. “Kenapa kau begitu
yakin bahwa kita akan menang? Punyakah kau suatu rahasia, suatu taktik, untuk
mengalahkan orang orang Pasei itu?”
“Tentu
saja.” Aku tersenyum. Dan katakku segera pada pengawal, “Kita terima tantangan
itu. Katakan kepada mereka.”
“Tunggu
dulu, adinda. Kau harus sebutkan padaku, rahasia itu.”
“Kerbau
binatang yang tak tahan berjalan jauh, kakanda. Ia butih istirahat yang lama
untuk memulihkan tenaga. Dan selama itu, ia takkan punya nafsu bertarung.”
Kakaku
kembali terdiam. Beberapa saat kemudian ia mengangguk anggukkan kepala. Jadi,
katanya, pertarungan itu kita lakukan pada kesempatan pertama? Sesegera?”
“Ya,”
kataku. Dan kepada pengawal, “Katakan pada si utusan itu, kita tunggu mereka di
sini,” lalu kusebutkan waktunya. Lebih cepat dari jangka tempuh yang
kuperkirakan. Masih kutambah, jika mereka kalah, katakan kepada mereka, mereka
tak perlu menyerahkan Pasei.”
Adinda.
Kakakku terkejut mendengar kalimatku yang terkhir.
Maafkan
aku, kakanda. Seluruh daging, seluruh darah ini, kurelakah bagi Pagaruyung.
Kerajaan kita sudah demikian luas, kakanda, akan sukar bagi kita untuk
mengurusnya. Rakyat tentulah akan terlantar.
Berangkat
pulanglah si utusan. Kembali ke Pasei, menyampaikan jawaban dari Pagaruyung.
***
Kabar
itu pun menyebar. Kabar yang tentu saja lebih menggemparkan daripadi peristiwa
pengadilan diriku. Penduduk terjauh dari Pagaruyung, kulihat, bahkan ikut
berdatangan ke ibu negeri. Penduduk dari Muara Batanghari, dari Muara Sungai
Rokan, dari Indrapura, sampai dari Barus di utara, telah hadir di Pagaruyung
malahan beberapa hari sebelum waktu yang ditetapkan.
Lokasi
di mana kerbau itu akan berlaga, sebuah padang rumput yang cukup luas, telah
pula kami bangun sedemikian rupa. Dibutuhkan beribu ribu batang bambu untuk
membuat pagar, dinding pembatas, tangga tangga dan bangku agar rakyat bisa
dengan teratur menyaksikan tanpa harus berdesakan. Di sebelah utara, arah
keluar Pagaruyung, kami buatkan pula semacam tribun untuk yang dipertuan di Pasei
dan para pengawalnya. Suatu hal yang kuharap akan mengesankan. Aku bahkan ingin
Pagaruyung terlihat sepeti tuan rumah yang tengah menyambut tamunya dengan
ramah lalu menyuguhkan sebuah tontonan untuk sama dinikmati dalam keriangan. Di
gelanggang itu tak kubiarkan ada kesan pertarungan, apalgi kesan bahwa kerajaan
tengah dipertaruhkan. Tak ada tentara atau prajurit atau apa pun namanya yang
lalu lalang berkeluaran, bahkan juga nanti pada
hari perlagaan karena memang begitulah yang kuinginkan.
Tapi,
apakah memang sesuai dengan apa yang kuperhitungkan?
Ternyata
tidak.
Ketika
rombongan yang dipertuan di Pasei muncul memasuki Pagaruyung, kami tercengang
dan kaget. Betapa tidak. Ternyata kerbau mereka tidaklah ditarik atau dihela
oleh beberapa orang berkuda seperti yang kubayangkan. Melainkan berada dalam
kandang kayu kokoh yang ditating dan dibawa
oeleh empat ekor gajah. Dan penampilannya demikian kekar dan gempal dan
juga ganas, dan tampaknya tengah amat marah.
Dibandingkan
dengan kerbau yang kami punya, jelaslah kerbau orang orang Pasei itu unggul
segalanya. Ketika kandang itu diturunkan, si kerbau malah menyeruduk nyeruduk,
emgnantamkan tanduknya yang besar mencuat dan menerjang nerjang ke seluruh
penjuru kandang. Kakakku jadi gelisah.
Apa
akal kita, adinda. Cemas sekali suara Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa.
Aku
tak bisa dengan segera menjawab. Bagaimanapun ini mamang di luar perkiraanku.
Dan bagimanapun pula walau dipanggul oleh empat ekor gajah, takkan mungkin
kerbau itu tak merasa capek dan lelah. Pastilah orang orang Pasei itu telah
memberikan sesuatu kepada kerbaunya sehingga si kerbau berada dalam kondisi
yang demikian rupa.
Mereka
telah menggunakan akalnya, kanda, kataku. Tentulah kerbau mereka telah diberi
semacam obat perangsang atau entah apa.
Jadi?
Akan
kita pergunakan cara yang sama. Kalau aturan mereka membolehkan hal hal yang
tak lahiriah dipunyao oleh seekor kerbau, kenapa kita tidak?
Sudah
kautemukan caranya?
Aku
butuh waktu, kanda. Untuk sementara kita perlakukan mereka layaknya benar benar
tamu. Kita persilakan mereka istirahat. Takkan mencurigakan. Mereka atentulah
lelah.
Dan
sepanjang hari itu sampai siangnya aku memeras pikiran dan tak keluar keluar
dari kamar. Barulah setelah hari beranjak sore kudapakan jalan keluarnya dan
segera kutemui Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa.
Bagaimana,
adinda. Sambut kakaku. Bersamanya telah berkumpul para pemuka dan pembesar
istana. Juga ayahku cati bilang pandai.
Sudah
kutemukan, kanda
Apa
yang akan kaulakukan. Bagaimanakah caranya
Kubutuhkan
seorang pandai besi yang benar benar ahli.
O,
kalau itu, adinda jelas kita punya. Seluruh senjata angkatan perang dari dialah
ketajamannya. Aku panggilkan ia menghadap?
Tak
usah, kanda. Biarkan aku sendiri yang ke tempatnya, nanti, lanjutku, selain
pandai besi, aku juga butuh beberapa tenaga; mencari seekor anak kerbau yang
masih menyusu dengan rakusnya.
Semua
yang hadir mengerutkan dahi. ‘seekor ... Anak kerbau?”
“Ya,
kakanda. Seekor anak kerbau yang belum berpisah dari induknya. Masih menyusu
tapi sudah tumbuh bakal tanduknya.”
Hanya
seekor, adinda?
Sebaiknya
beberapa ada. Biar nanti kita bisa memilihnya.
Kuperintahkan
segera, kata baginda. Masih adakah keperluan lainnya?
“Sudah
cukup, Kanda.”
Setelah
memberi perintah untuk mencarikan apa apa yang kuperlu, tak sabar kakaku
mendekatkan wajahnya.
“Ceritakan
segera, tentang kau punya rencana.”
***
Dan
memang, tak ada yang mempertanyakan kenapa adu kerbau belum mulai juga. Pihak
tamu, yang dipertuan di Pasei bersama rombongan, malah merasa amat senang.
Betapa tidak? Selama dua hari di Pagaruyung, mereka diperlakukan lebih dari
yang mereka harapkan. Bahkan mereka tak percaya; orang Pagaruyung ternyata amat
ramah dan tentulah sangat berbeda dari yang mereka dengar.
Pada
hari ketiga barulah diumumkan, bahwa besoknya diselenggarakan aduan. Maka pada
sepanjang sore hari ketiga sampai malamnya kusaksikan rakyata telah berebutan
ke arena. Mereka mencari tempat duduk, bahkan ada yang hanya tempat tegak,
karena amat ramainya. Dan di tempat masing masing itu mereka tak mau lagi
beranjak, sampai hari berikutnya.
Agak
siang, masing masing raja telah berada pada tempatnya.
Tak
ada teriakan perang, tiada ayunan senjata. Hanya suara terompet.
Tiupan
pertama pun menggema, panjang dan lama. Itu adalah tanda masing masing pihak
sudah harus menyiapkan kerbaunya. Tak lama sesudahnya, terdengar tiupan kedua,
pendek dan terturut turut, pertanda kerbau sudah haru dibawa ke pinggir arena.
Karena
mungkin memang sudah lama disiapkan, kerbau yang dipertuan di Pasei tampil
lebih dulu. Seekor kerbau yang sungguh luar biasa. Untuk mempertahnkan gerak
dan geliatnya, ada sepuluh prajurit yang berkutetan menjaga. Hidungnya
mendengus dengus dan mulutnya berbusa. Dan tanduknya yang besar mencuat,
berkilat kilat, selalu direndeng rendengkannya. Apakah yanga telah mereka
berikan pada kerbau itu?
Kubayangkan
bahwa diam diam tentulah rakyat sudah meramal kerbau orang asing itu akan
mengalahkan kerbau baginda mereka Sri Maharaja Diraja. Aku yakin, tak seorang
pun di antara mereka, rakyat Pagaruyung, pernah melihat kerbau sebesar dan
seberingas itu di malayapura. Apalagi mereka tahu bahwa Baginda Sri Maharaja
Diraja tak pernah tertarik kepada, jangankan memelihara, seekor pun hewan
selain kuda.
Telah
sejak tadu aku berada di antara mereka, di tengah rakyat Pagaruyung. Alangkah
gaduh. Dari kerbau yang dipertuan di Pasei, mata mereka beralih mencari kerbau Baginda
Sri Maharaja Diraja. Alangkah kagetnya orang orang, dan tak percaya, bahkan ada
yang mengerjap ngerjapkan atau menggosok gosok mata, begitu menyaksikan para
pengawal baginda di seberang yang lain menuntun seekor kerbau kecil- tak lebih
dari seekor anak kerbau – memasuki lapangan.
Benar-benar
seekor anak kerbau! Hanya saja, kerbau itu lebih punya tanduk dibanding karebau
kerbau seumurnya. Tanduk? Seperti bukan tanduk. Kilauya lain ditimpa cahaya.
Besi? Ya dua potong besi yang mencuat menyerupai tanduk. Dan kerbau kecil itu,
akan kerbau itu, demi melihat ada seekor kerbau di seberang yang lain ia segera
meronta ronta seraya melenguh lenguh serupa memanggil induknya.
Saat
orang masih terheran heran, tercengang cengang terdengar gema terompet ketiga,
pendek berturut turut kemudian ditutup oleh suatu tiupan yang panjang. Itulah
tanda bahwa kerbau sudah harus diadu.
Sisi
di seberang yang satu, pihak yang dipertuan di Pasei masih juga terbengong
bengon belum bereaksi atas aba aba. Satu dua orang malah masih celingukan
mencari cari kalau kalau lanan dari kerbau mereka kerbau lain dan bukan kerbau
kecil itu. Tapi tak ada.
Sisi
di seberang yang lain, kubu Pagaruyung, segera melepaskan kerbau mereka sesaat
setelah tiupan terompet terkahir. Dan kerbau kecil itu, anak kerbau itu, serta
merta melompat menuju kerbau yang dipertuan di Pasei.
Walau
ragu-ragu, para prajurit yang dipertuan di Pasei melelpaskan juga kerbau
mereka. Kerbau besar itu serta merta menghambur, melompat mendengus dengus dan
berputar putar sejenak mencari sasaran, tapi mendadak tertegun ketika melihat
seekor anak kerbau melompat seperti riang ke arahnya.
Tak
ada pertarungan. Tak ada perlagaan. Yang orang orang saksikan kemudian, kerbau
kecil itu menyeruduk ke selangkangan si kerbau besar layaknya seekor anak
kerbau kehausan ingin menyusu pada induknya.
Kerbau
yang dipertuan di Pasei belum juga menyadari. Tapi ketika anak kerbau Baginda
Sri Maharaja Diraja menyeruduk nyeruduk bagai kesetanan karena tak menemukan
semacam ambing di sana, barulah kerbau besar itu terlompat lompat. Kesakitan.
Berkali
kali besi runcing yang dibentuk menyerupai tanduk itu menusuk perut kerbau yang
dipertuan Pasei. Berkali kali kerbau besar terlompat lompat melengguh lenguh
berlainan kian kemari. Tapi, ke mana pun kerbau besar itu lari berusaha menghindarkan
diri, selalu saja disusul dan diseruduk oleh kerbau Baginda Sri Maharaja Diraja.
Tak ayal, kerbau besar itu pun roboh. Berkelejotan.
Beberapa
saat orang orang masih kelihatan terpana.
Tak
ada yang cukup sadar bahwa segalnya telah selesai.
Lalu,
entah dari sisi mana yang memulai, riuh tepuk tanan dan tempik sorak tiba tiba
meledak seperti hendak merengkah angkasa. “Hidup Baginda Sri Maharaja Diraja!
Hidup Baginda Sri Maharaja Diraja! Hidup Baginda Sri Maharaja Diraja! Hidup Baginda
Sri Maharaja Diraja!
Pada
sebuah tempat, di tengah tengah lonjakan rakyat, aku tersenyum lega. Anak
kerbau yang kupisahkan menyusu selama tiga hari, tentulah amat haus dan lapara.
Pada
bagian lain, di tengah lampiasan kemenangan para pemuka dan pembesar Pagaruyung,
kakakku tampak celingukan. Mancari cari diriku.
Ditulis
ulang oleh Agus Ahmad Hidayat, guru SMAN 2 Kotabumi Lampung Utara, bersumber dari Bab 7 Menang Kerbau halaman 38-47 buku Tambo sebuah Pertemuan ditulish oleh Gus TF Sakai, penerbit Grasindo, Jakarta 2000