Rabu, 22 Mei 2019

Pencermatan Taufik Ismail terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia

Membaca sindiran  Taufik  Ismail  dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia melalui puisi

KOTAK SUARA

di sebuah kerajaan dilangsungkan pemilihan
di sebuah pemilihan dilakukan penghitungan
di sebuah penghitungan berlangsung keajaiban
di sebuah keajaiban semua mata ditutupkan

berbagai ilmu diterapkan mentabulasinya
matematika, statistika dan retorika
berbagai aplikasi adalah bukti sofistikasi
komputerisasi, telekomunikasi dan stikerisasi

inilah kisah tentang sebuah pohon misteri


di akarnya ada angka sejuta
naik ke batang jadi setengah juta
terus ke ranting jadi seratus ribu
sampai di puncak tinggal seribu saja
ajaib, kemana menguap itu angka


di akarnya ada angka seribu
naik ke batang jadi seratus ribu
terus ke ranting  jadi setengah juta
sampai di puncak jadi sejuta
ajaib, angka-angka beranaknya luar biasa


di dalam kotak suara
angka-angka saling bertanya asal-usul satu dan lainnya
mereka berselisih pendapat, dan berkelahi sesamanya
angka-angka sikut menyikut, pukul-memukul
angka-angka tampar-menampar, gebuk-menggebuk


mereka berkelahi berhari-hari
kotak itu bergoyang ke kanan dan ke kiri
angka-angka capek, tergeletak kini

Sumber :buku Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia, halaman 12-13, judul Kotak Suara

Rabu, 15 Mei 2019

Membaca puisi religius

Membandingkan dua karya puisi 

Membahas tentang puisi sama halnya dengan membahas tentang bait-bait indah yang ditulis pengarang untuk mengungkapkan perasaannya. Perasaan tersebut dapat berupa ungkapan suka ataupun duka. Sebagai seorang pengarang mampu mengekspresikan dan mengungkapkan makna yang tersembunyi melalui bait-bait yang telah ia tulis. Puisi ditulis seindah mungkin agar seorang pembaca dapat terjerumus ke dalam suasana yang ada dalam setiap barisnya.

Puisi yang indah adalah puisi yang memiliki makna. Begitupun juga puisi yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan terkenal yang ada di Indonesia. Banyak makna yang dapat dipetik dari karya yang mereka tulis. Mungkin sebagian orang awan menghiraukan tulisan puisi-puisi telah diciptakan. Karena sebagian dari mereka yang tidak menyukai sajak ataupun sejenisnya beranggapan bahwa tidak penting untuk membacanya. Namun, jika ditelusuri secara mendalam puisi sangat penting bagi semua kalangan masyarakat baik kalangan muda ataupun tua. Puisi mampu berkontribusi dalam membuat perasaan pembaca menjadi campur aduk.

Seperti halnya dengan puisi bertema religi atau keagamaan. Puisi bertemakan agama mampu membangkitkan seorang pembaca dalam mencintai Tuhannya. Seseorang yang menganggap bahwa mencintai hanya bisa dilakukan oleh seseorang kepada kekasihnya saja. Namun, ketika membaca puisi bertema agama mampu mengubah pemikiran seseorang lewat sajak baris demi baris untuk lebih mencintai Tuhannya. Sama halnya dengan puisi Amir Hamzah dan Taufik Ismail yang salah satu puisinya bertema religi. Amir Hamzah dan Taufik Ismail adalah salah satu sastrawan yang berbeda angkatan namun memiliki karya yang luar biasa. Karya mereka mampu mengubah dunia sastra menjadi berwarna dari zaman ke zaman.
Kutipan Puisi Amir Hamzah yang berjudul Padamu Jua yang berbunyi

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dalam lepas
Nanar aku hilang sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Puisi Padamu jua adalah puisi Amir Hamzah yang salah satu puisinya bertema keagamaan atau kecintaan, penasaran, dan kemarahan pada Tuhannya. Karena dalam puisi tersebut mengandung makna bahwa pengarang merasakan perasaan yang banyak secara tersirat pada puisi yang ditulis. Pengarang memiliki perasaan kecintaan pada Tuhannya yang telah melindunginya dari lahir hingga ia hidup di dunia. Namun tidak hanya itu, pengarang juga merasakan perasaan penasaran terhadap Tuhannya. Penasaran akan rupa Tuhannya dan juga penasaran keberadaan Tuhannya yang tidak ia ketahui. Perasaan kemarahan juga ditulis dalam puisi tersebut. Pengarang menulis perasaan kemarahan karena selalu dicengkram. Berbagai perasaan yang dituangkan pengarang ke dalam puisi menggambarkan bahwa sebuah puisi menjadi wadah untuk selalu mengeskpresikan perasaannya yang hendak pengarang utarakan.

Di samping itu, sastrawan terkenal Taufik Ismail juga memiliki segudang karya yang dapat mengharumkan citra dunia sastra. Salah satu puisi milik sastrawan Taufik Ismail yang sama bertema ketuhanan adalah kutipan puisi yang berjudul sajadah panjang.

Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar intrupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba

Puisi yang ditulis Taufik Ismail ini adalah salah satu puisi yang bertema ketuhanan. Dalam puisi tersebut penyair menggunakan kata sajadah sebagai judul yang melambangkan bahwa kecintaan kepada Tuhan adalah tunduk dan selalu melaksanakan ibadah. Penyair juga menyinggung tentang kematian dalam puisi tersebut sebagai pengingatnya dan pengingat semua manusia bahwa tanpa Tuhan manusia bukan apa-apa. Kecintaan terhadap Tuhan ditulis penyair baris demi baris untuk menyadarkan manusia bahwa kasih sayang Tuhan lebih berarti dalam hidup manusia. Penyair tidak lupa untuk menuliskan puisi sajadah panjang ini dengan pengalaman yang ada dihidup masyarakat sekitar agar mereka menyadari pentingnya beribadah kepada Tuhan.

Kesamaan puisi Taufik Ismail dan Amir Hamzah sama-sama menjadi renungan bagi semua manusia bahwa kecintaan kepada Tuhan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Kecintaan yang terikat bahwa pentingnya mendekatkan diri pada Tuhan adalah cara manusia mencintai Tuhannya. Tuhan yang selalu memberi ruang dan waktu untuk selalu dekat dengan manusia. Hanya seberapa pintar manusia dapat mengatur ruang dan waktu tersebut agar bisa bercengkrama dengan Tuhan. Melalui baris demi baris yang ditulis pengarang dapat menyadarkan manusia dalam bermuhasabah diri. Puisi tema keagamaan selalu memiliki makna yang dalam disetiap bait yang terkandung. Hanya saja sebagian orang awan tidak telaten untuk membaca baris demi baris puisi yang ditulis. Orang awam menganggap untuk membaca puisi dan memaknainya membutuhkan waktu luang. Padahal membaca puisi ataupun menciptakan puisi memberikan ekspresi ketenangan dalam mengungkapkan sebuah perasaan. Baik perasaan senang ataupun duka. Mengagungkan karya sastrawan juga menjadi pokok penting bagi
kehidupan bangsa. Karena sastrawan dapat memberikan karya yang luar biasa yang harus diapresiasikan seluruh generasi untuk terus berkarya.

Selain itu, perbedaan yang tipis antara kedua puisi karangan Taufik Ismail dan Amir Hamzah dapat menjadikan tolak ukur bahwa perbedaan diksi yang digunakan pengarang tidak dapat mempengaruhi persamaan makna yang terkandung dalam puisi yang tulis. Perbedaan zaman dan angkatan juga tidak mempengaruhi keindahan makna yang ada dalam puisi tersebut. Amir hamzah dan Taufik Ismail adalah sastrawan yang lahir dizaman yang berbeda namun karya yang diciptakan sama-sama dapat memberikan peluang bagi pembaca dalam mengintropeksi diri. Sedangkan bagi para penulis pemula juga memberikan wadah agar dapat menciptakan karya yang luar biasa seperti sastrawan terkenal.

Kesamaan dan perbedaan tidak menjadi penghalang dalam menciptakan sebuah karya yang luar biasa. Zaman tidak menjadi penentu bagi seorang sastrawan dalam mengharumkan citra dunia sastra. Karena menciptakan karya yang luar biasa seperti halnya puisi dapat memberikan makna yang mendalam bagi kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman. Karena berkarya tidak memandang dari segi manapun mereka berada.

dikutip dari tulisan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang bernama  Iim  Khoiria


Mari bersatu! Jangan sampai "VOC baru" menjajah Indonesia


Selamat pagi,
Saat ini saya berada di Holand, dan di belakang saya adalah replika kapal VOC yang dulu  pernah datang ke Indonesia yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen, lalu dijajahlah indonesia 350 tahun,  anda tahu hanya 15 kapal yang datang untuk menguasai Indonesia, mengapa karena kita terpecah belah, karena kita tidak bersatu, devide et impera. Inilah pelajaran besar!  Kalau bangsa kita tidak bersatu, bangsa kita terpecah belah lagi, maka VOC-  VOC dalam tanda kutip, kompeni-kompeni dalam tanda kutip akan datang kembali menguasai Indonesia, maka bersatulah, ingatlah pelajaran besar, supaya penjajahan -   tidak lagi terjadi kepada bangsa kita. Merdeka ! 


Membaca kisah Jan Pieterszoon Coen


Versi lain kematian Gubernur Jenderal VOC pertama, Jan Pieterszoon Coen.

MAKAM bermarmer merah muda terpuruk di tengah makam-makam kecil. Beringin raksasa melindunginya dari matahari dan hujan. Helaian daun kering dan batu-batu hitam memenuhi bagian tengah tempat peristirahatan terakhir itu. Warga Desa Keramat, Tapos (perbatasan Bogor-Depok) mengenalnya sebagai makam Nyimas Utari Sanjaya Ningrum.

“Sebenarnya nama beliau adalah Nyimas Utari Sandijayaningsih,” ujar Ustad Sukandi (42 tahun), tokoh masyarakat Desa Keramat.

Sukandi mendengar kisah dari orang-orang tua di Desa Keramat bahwa Nyimas Utari merupakan agen intelijen Kerajaan Mataram. Sultan Agung Hanyokrokusumo menugaskan dia untuk membunuh Gubernur Jenderal VOC pertama, Jan Pieterszoon Coen dalam penyerangan kedua Mataram ke Batavia.
“Tugas itu berhasil dia jalani. Leher Coen berhasil dipenggalnya dengan golok Aceh,” ungkapnya.
Keterangan Sukandi dibenarkan Ki Herman Janutama. Sembari mengutip Babad Jawa, sejarawan asal Yogyakarta itu menyebut bahwa pemenggalan kepala Coen merupakan misi rahasia yang sudah lama direncanakan dengan melibatkan grup intelijen Mataram, Dom Sumuruping Mbanyu (Jarum yang Dimasukan Air).

“Orang sekarang mungkin akan kaget kalau dikatakan militer Mataram memilik kesatuan telik sandi sendiri, tapi bagi kami yang akrab dengan manuskrip-manuskrip tua dan cerita-cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini tidak aneh,” ujar Ki Herman.

Infiltrasi telik sandi Mataram ke Batavia sudah dirancang sejak 1627. Dengan mengerahkan orang-orang Tumenggung Kertiwongso dari Tegal, komandan kelompok intel Mataram Raden Bagus Wonoboyo membangun basis di wilayah bantaran Kali Sunter di daerah Tapos. Untuk melengkapi kerja-kerja rahasia tersebut, Wonoboyo mengirimkan putrinya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, untuk bergabung dengan agen telik sandi asal Samudera Pasai, Mahmuddin.
“Dia memiliki nama sandi: Wong Agung Aceh. Dia kemudian menikahi Nyimas Utari,” kata Ki Herman.

Dari Aceh, kedua agen intelijen itu memasuki benteng VOC di Batavia dengan kamuflase sebagai pebisnis. Mereka memiliki kapal dagang yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Mereka lantas dipercaya Coen sebagai mitra bisnis VOC. Begitu dekatnya, hingga mereka memiliki akses ke kastil dan bergaul dengan Eva Ment, isteri Coen, dan anak-anaknya.
Pada 1629, balatentara Mataram menyerbu Batavia. Di tengah kekacauan dan kepanikan, Nyimas Utari membunuh Eva dan anak-anaknya dengan racun lewat minuman. Mahmuddin berhasil menyelinap ke ruangan Coen dan membunuhnya.
“Guna bukti kesuksesan misi mereka ke Sultan Agung, Nyimas Utari dengan menggunakan golok kepunyaan Mahmuddin memenggal kepala Coen,” ujar Ki Herman.

Sambil membawa kepala Coen, Mahmuddin dan Nyimas Utari diloloskan pasukan penyelundup Mataram dari dalam benteng VOC. Namun, saat pelarian tersebut mereka dihujani tembakan meriam yang menewaskan Nyimas Utari. Mahmuddin membopong jasad istrinya hingga wilayah Desa Keramat, tempat dia dimakamkan.

Kepala Coen diambil oleh Wonoboyo. Secara estafet, kepala itu dibawa lewat jalur Pantai Utara oleh tentara Mataram di bawah komandan Tumenggung Surotani. Sultan Agung memerintahkan untuk menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri.

“Hingga kini, para peziarah yang paham cerita ini akan melangsungkan ritual pengutukan terhadap jiwa Coen dengan cara menginjak-injak tangga ke-716 seraya mengeluarkan sumpah serapah dari mulut mereka,” ujar Ki Herman.
Kendati kematian Coen terkesan mendadak, namun secara resmi kalangan sejarawan Belanda meyakini kematiannya karena penyakit kolera. Menurut H.J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram, pada 17 September 1629, Coen masih terlihat segar bugar saat memeriksa kesiapsiagaan tentaranya untuk mempertahankan Batavia.

“Pada 20 September malam dia mendadak jatuh sakit dan sekitar jam satu malam dia meninggal dunia,” tulis De Graaf.

Dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi, sejarawan Alwi Shahab mengutip versi Belanda yang menyebut jasad Coen kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda yang kini menjadi Museum Wayang). Namun, sejarawan Sugiman MD dalam Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, meragukan bahwa makam itu berisi jasad Coen.
Terlebih menurut arkeolog Chandrian Attahiyyat, para arkeolog Belanda memastikan bahwa di makam itu tidak ditemukan jasad berupa tulang belulang saat mereka melakukan penggalian pada 1939. Supaya komprehensif, seharusnya penggalian pun dilakukan di Imogiri.

Membaca Puisi karya Amir Hamzah

Bahan bacaan puisi:


Amir  Hamzah

PADAMU JUA

Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.





















HANYA SATU

Timbul niat dalam kalbumu:
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Ditengah gelisah, swara sentosa
                               
Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat jelita bapaku iberahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bonda.

Kini kami bertikai pangkai
Diantara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa dipuncak tursina.


Membaca Puisi, menemukan makna dalam puisi


Sutardji Calzoum Bachri


TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah !

Oleh :Sutardji Calzoum Bachri
"Memahami Puisi, 1995"

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu

kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
dengan seribu perawan hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati
dengan seribu beringin ingin tak teduh.
Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai.
Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu

kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji ?





Amir Hamzah

DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas terik.

Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menayang pikir, membawa angan kebawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak.

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan
cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!