Pada cerita berikut, yang saya kutip dari dunia maya - saya tidak tahu siapa penulisnya - kita disuguhkah bagaimana seorang memandang kemulyaan seorang menantu, ada yang mengukur kemulyaannya berdasarkan pendidikan dan pekerjaan. Bagaimana kita memandang mulia seseorang, dan bagaimana kita selayaknya menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang. Dan kita bisa tahu, bagaimana nasib dalam kehidupan ini. Masih ingatkah kita dengan keputusan Allah dan bagaimana kita menyikapi dalam kehidupan ?
Bacalah cerpen berikut!
Jawablah:
1) Sebutkan pelaku cerita dan bagaimana karakter masing-masing!
2)Bagaimana menurutmu, jika seorang mahasiswa menikah tanpa memberitahu orang tuanya?
3)Bagaimana menurutmu, seorang ibu membawa anaknya, lalu memperkenalkannya kepada bapak ibu mertuanya, "anak ini cucumu". Termasuk sopankah? ataukah tindakan pengecut? Berikan argumentasimu!
4)Seorang yang disengsarakan dan kurang diperhatikan oleh ibu mertua, tetapi di masa mertua sakit dialah yang mau untuk merawatnya, bagaimana menurutmu tindakan ini? Adakah pikiranmu untuk mencurigainya, bahwa tindakan itu dilakukan karena mengharapkan warisan dari sang mertua? Berikan alasanmu!
Ini naskah ceritanya;
Seusai Sholat Shubuh aku
dikejutkan oleh Bunda
“Ari, Nenek kamu masuk
Rumah Sakit. Bunda harus datang melihatnya“
Kulihat wajah bunda nampak
sedih.
Tentu aku harus
mendampingi bunda, karena tempat tinggal nenek tidak di Jakarta tapi Sumatera.
Sementara aku hampir tidak
mungkin meninggalkan kesibukanku di Jakata, Apalagi mitra bisnisku dari luar
negeri sedang ada di Jakarta untuk menjajaki kerjasama pembelian produksi
pabrikku.
kulihat Bunda sedang sibuk
mengemas pakaiannya di kamar.
“Bunda, apa enggak bisa
berangkatnya lusa aja”
kataku dengan lembut.
“Bunda enggak mau ganggu
kamu, bunda bisa pergi sendiri kok, antar saja Bunda ke Bandara ya"
kata bunda sambil
memasukan pakaiannya kedalam koper.
“Baru minggu lalu bunda ke
Dokter dan sekarang masih harus istirahat“
Kataku dengan tetap lembut
sambil memegang tas kopernya untuk mencoba menahannya pergi. “Lusa aja ya, aku
temanin“
“Tidak !!! “
mata Bunda melotot. Kalau
sudah begini aku hanya bisa menghela napas panjang.
Sepeti biasanya aku harus
mengalah untuk mengikuti kata Bunda. Istriku juga punya sifat sama denganku
untuk mengikuti kehendak Bunda“
"Baiklah, kita pergi
sama-sama". Seperti biasanya pula Bunda tersenyum cerah, dia memelukku.
Didalam pesawat aku menuju
kota kelahiran ayahku,
lamunanku terbang kemasa
kanak kanaku. ....................
Dalam usia 5 tahun, aku
sudah yatim. Karena ayah meninggal akibat sakit.
Menurut cerita Bunda,
ketika Ayah meninggal status ayah masih mahasiswa di Yogya. Bunda bukanlah dari
keluarga kaya.
Bunda juga seorang Yatim,
beda dengan Ayah yang terlahir dari keluarga Pajabat tinggi di Sumatera.
Sehingga walau Ayah
berstatus mahasiswa namun kiriman uang dari orang tuanya masih cukup untuk
menanggung hidupnya berkeluarga.
Ayah sengaja merahasiakan
perkawinan itu kepada keluarga besarnya. Namun dua tahun setelah ayah
meninggal, bunda datang ke keluarga ayah sambil membawaku.
Aku masih ingat ketika itu
usiaku 7 tahun.
Aku tidak begitu ingat
persis bagaimana suasana ketika Bunda memperkenalkan dirinya sebagai menantu dan
aku sebagai cucu kepada kakek dan nenekku.
Yang aku tahu setiap tahun
bunda selalu membawaku kerumah kakek dan nenek.
Setiap tahun, setiap
lebaran, Bunda mengajakku pergi kerumah kakek dan nenek. Dengan berlelah lelah
naik bus melewati pulau Jawa dan Sumatera untuk sampai.
Tak pernah aku antusias
datang ke rumah kekek dan nenek. Sebagai anak kecil aku tahu bahwa kakek nenek
tidak pernah hangat dengan kehadiranku dan Bunda.
Beda sekali dengan
perlakuannya kepada saudara sepupuku yang lain, seperti Adi, Rini, Bobi, Anto,
Dedi. Setiap lebaran, kulihat para sepupuku datang dari Jakarta, Bandung,
Surabaya dengan pakaian bagus.
Beda sekali denganku. Bila
semua Istri Om sibuk berdandan di kamar atau bermalasan di taman belakang rumah
kakek yang luas itu, Bunda malah sibuk di dapur memasak , seperti pembantu.
Ayahku adalah anak tertua
diantara empat bersaudara. Semua saudara ayah laki laki. Tidak ada perempuan.
Istri Om semua memang
cantik-cantik. Menurut yang kutahu dari nenek, yang selalu diulang-ulang dihadapan
Bunda, bahwa semua Istri Om dari kalangan keluarga terhormat. Seakan
merendahkan keberadaan Bunda. Tapi kulihat Bunda tak pernah tersinggung.
Selama membesarkan ku,
Bunda tak pernah mendapat bantuan satu senpun dari keluarga Ayah. Juga Bunda
tidak pernah memohon bantuan dari mereka.
Bunda bekerja keras di
perusahaan Swasta sebagai tenaga administrasi. Bundapun tak pernah terpikir
untuk menikah kembali. Ketika aku sudah remaja, aku sudah bisa beralasan bila
Bunda mengajakku lebaran di rumah kakek.
“aku males ke rumah kakek
dan nenek. Mereka enggak sayang sama aku. Kenapa kita harus ke rumah mereka?“
Demikian alasanku. Tapi
Bunda dengan segala sifatnya yang keras memaksaku untuk ikut. akupun tak
berdaya.
Ketika aku tamat SMU, aku
tidak kuliah. Aku memilih bekerja di bengkel.
“Saya tak ada uang untuk
mengirim Ari ke universtas, Yah". Demikian kata ibu kepada kakek ketika
menanyakan mengapa aku tidak kuliah.
Kakek dan nenek nampak
tersenyum sinis ketika mengetahui keadaanku.
Tahun-tahun berikutnya
ketika lebaran. Kakek dengan kebanggaannya bercerita tetang sepupuku yang
berangkat ke luar negeri untuk kuliah. Ada juga yang masuk perguruan tinggi
swasta bergengsi di Jakarta. Aku maklum karena Om ku semua mempunyai posisi
sebagai Pejabat dan ada juga yang jadi pengusaha.
Aku dan Bunda hanya diam
mendengar cerita itu. Tapi, tak pernah mengurangi niat Bunda untuk datang ke
rumah kakek dan nenek.
Dan aku semakin bosan
dengan sikap keluarga ayahku.
Yang pasti bi idznillaah,
izin Allaah SWT ditambah kerja kerasku, aku bisa menanggung Bunda dan Bunda tak
perlu lagi berkerja keras.
Berjalannya waktu, yang
tadinya aku sebagai pekerja bengkel, akupun sudah bisa mandiri dengan membuka
usaha bengkel sendiri.
Lambat laun, aku mendapat
mitra untuk membuat komponen bodi kendaraan sebagai pemasok pabrikan otomotif.
Usaha ini ku geluti dengan kerja keras siang malam dan akhirnya berkembang. Ini
semua tidak bisa dilepaskan peran Bunda yang tak henti mendoa' kan ku.
Akupun dapat hidup mapan.
Namun, kewajiban setiap lebaran datang berkunjung ke rumah kakek nenek tetap
saja dilakukan oleh Bunda dan aku harus ikut.
Tapi belakangan keluarga
yang berkumpul di rumah kakek dan nenek tidak lagi utuh. Yang lain hanya
menelphone mengucapkan selamat lebaran kepada kakek dan nenek. Sepupuku pun tak
semua datang. Mereka bersikap sama dengan orang tuanya, mengucapkan selamat
lebaran via SMS, telpon atau WA. Tapi Hb dan nenek tetap bangga dengan mereka.
Aku tak pernah cerita
tentang keadaanku karena kakek dan nenek tak pernah bertanya tentangku.
Walaupun mereka tahu aku dan Bunda tidak lagi datang dengan bus tapi
menggunakan pesawat terbang.
.........
Tak terasa roda pesawat
sudah menyentuh landasan. Kulihat Bunda tersentak dari tidur lelapnya. Dia
melirik kearahku dan entah kenapa dia menciumku keningku. ”Ada apa Bunda ?“
tanyaku dengan tesenyum
“Bunda ingat akan
ayahmu". Bunda nampak berlinang air mata. Aku hanya diam “Ayahmu pria yang
sangat baik. Sangat baik". Dia pria yang Sholeh. Ayahmu berencana bila dia
selesai kuliah dan dapat pekerjaan maka dia akan membawa Bunda dan kamu ke
keluarga besarnya.
Bunda tahu kok, Ayahmu
dalam posisi lemah ketika melamar Bunda. Di samping itu dia sadar karena
pilihannya kepada bunda membuat dia berbeda dengan Ayahnya.
Ayahmu mencintai bunda karena
dia lebih mencintai Allaah dari apapun” Sambung Bunda.
“Maksud Bunda apa?"
“Ayahmu memilih Bunda
karena Agama". Dia tidak melihat Bunda karena kecantikan, karena keturunan
orang kaya, karena apa-apa. Dihadapan Ayahmu, Bunda adalah muslimah yang baik,
yang miskin. Dan itu pasti akan ditentang habis oleh keluarganya”
Air mata Bunda berlinang
dan akhirnya air mata itu jatuh membasahi pipinya“
“kamu adalah putra
ayahmu". Anak yang berbakti, Sholeh dan pekerja keras. "Benarlah
kalau niat baik karena Allaah maka yang akan datang juga kebaikan“
Aku terdiam. Ada yang
mengganjal dalam pikiranku. Ini momen yang tepat untuk bertanya ...
“Kenapa Bunda selalu
menaruh hormat kepada kakek dan nenek.
Padahal mereka sangat acuh
dan tidak peduli dengan kita"
Bunda menatapku dengan
tersenyum
“Ketika Ayahmu pulang ke
Sumatera dalam keadaan sakit, dia berpesan kepada Bunda , bila dia meninggal
agar Bunda menjalin silahturahim dengan keluarganya dan mendidik mu untuk dekat
kepada kedua orang tuanya”
Bunda terdiam sebentar
sambil mengusap airmatanya. "Kamu tahu, setelah Ayahmu meninggal, butuh
dua tahun Bunda untuk mengambil keputusan untuk bertemu dengan kakek dan
nenekmu.
Walau karena itu tidak ada
rasa hormat kepada Bunda, dan Bunda juga menyaksikan betapa kamu tidak
diperlakukan sama seperti cucu yang lain, tapi Bunda ingat kata kata Ayahmu
“Cintailah sesuatu karena
karena Allah. Tak penting rasa hormat dan imbalan dari manusia,
ya kan, anakku”
“Ya, Bunda" Terlontar
begitu saja dari mulutku.
Entah kenapa kedatangan ku
bersama Bunda kali ini disambut dengan air mata berlinang oleh kakek.
Dia peluk aku ketika
sampai di kamar nenek dirawat.
Yang datang menjenguk
hanya "aku dan Ibu". Sementara Om dan sepupuku tidak ada yang datang.
Kulihat nenek dalam keadaan tertidur.
Dari kakek kutahu bahwa
nenek terkena stroke tapi keadaanya cepat tertolong. Mungkin setelah itu nenek
akan lumpuh. Kakek mengajakku keluar dari ruangan. Kami bicara di taman Rumah
sakit.
“Dua tahun lalu Om mu yang
pejabat di Jakarta, terkena kasus Korupsi. Dia dalam pemeriksaan oleh aparat
yang berwajib".
Sebelumnya Om mu yang di
Surabaya perusahaannya disita oleh Bank karena bankrut.
Om kamu yang di Bandung
bercerai dengan istrinya karena soal perselingkuhan dan akhirnya terkena PHK
sebagai PNS.
Semua anak-anak mereka
tumbuh menjadi anak yang liar. Kuliah tidak selesai, dan terjebak dalam
pergaulan bebas.
“aku terkejut, karena baru
kali ini aku tahu" Mungkin karena hubunganku dengan keluarga ayahku tidak
begitu dekat maka tak banyak kutahu soal mereka.
“Kakek tahu bahwa nenekmu
punya penyakit darah tinggi dan jantung"
Makanya kakek berusaha
menyimpan rapat rahasia tentang Om kamu yang tersangkut kasus karupsi.
"Tapi kemarin, ada
yang memberi tahu bahwa Om kamu sudah di vonis penjara enam tahun atas tindakan
korupsinya. Seketika itu pula nenekmu jatuh pingsan...”
Aku hanya diam untuk
menjadi pendengar yang baik.
“Ari, kami tahu bahwa
selama ini perlakuan kami kepada kamu dan ibu mu kurang baik"
Bahkan kami biarkan ibu mu
menderita membesarkan kamu, membesarkan anak dari putra sulung kami, cucu kami.
Kami menyesal karena sikap
kami selama ini. Belakangan ini, nenekmu selalu menyebut nama kamu......setiap
dia menyebut namamu, seketika itu juga dia menangis.
Kini dimasa tua kami, kami
resah karena tak tahu siapa yang akan mengurus kami.
"Nenekmu mungkin
setelah ini akan lumpuh. Kakek sudah uzur dan lemah...”
Ku genggam tangan kakek.
“Aku yang akan merawat
kakek dan nenek" Izinkan aku untuk membawa kakek dan nenek ke Jakarta,
tinggal bersamaku. "Beri kesempatan aku untuk berbakti kepada kakek dan
nenek, ya kek“
Seketika itu juga kakek
memelukku erat.
Terasa pundakku basah, "aku tahu kakek menangis"
Harta yang ada jual saja lah kek. Untuk bantu Om dan Adik-adiknya.
"Dalam situasi ini
tentu mereka sangat membutuhkannya. Dan sisanya kakek sedekahkan untuk Panti
asuhan agar kakek punya bekal ke akhirat, setuju kan kek." kataku.
Kakek semakin erat
pelukannya. "Maha suci Allaah SWT, sifatmu tak jauh beda dengan Ayahmu,
yang begitu bijak menyikapi kami"
Bertahun-tahun aku di
didik oleh Bunda untuk memahami makna cinta.
_*"Bahwa Cinta adalah
tindakan memberi karena Allah", bukan mengharap balasan dari manusia.*_
akupun harus memahami
hakikat cinta dalam kehidupan ini, termasuk menggantikan posisi ayahku untuk
berbakti kepada kakek dan nenek, orangtua ayahku.
......
Bunda nampak bahagia
sekali ketika melihatku mendorong kursi roda Nenek menuju tangga pesawat dengan
di samping kakek yang berjalan sambil memegang lenganku. kami semua ke Jakarta.