Senin, 26 Desember 2011

Bima - Torehkan Darah Rakyat di bumi Pertiwi

Tragedi berdarah kembali meledak di Indonesia. Demi membubarkan protes warga yang menduduki Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, aparat rela mengeluarkan peluru tajamnya. Tak ayal, sejumlah nyawa pun melayang. Sedangkan warga lainnya terluka.
Sepertinya, aksi kekerasan masih menjadi "jalan pintas" dan "solusi" untuk menyelesaikan masalah di Negeri ini. Terlebih, rakyat kecil selalu yang menjadi korban kekerasan aparat.
Insiden Bima pun menggugah simpati aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi. Ia pun kemudian memotretnya dalam sebuah puisi. Mari kita simak puisi Adhie Massardi berjudul Bima.


Adhie Massardi

Bima

Inilah Sabtu yang akan dicatat sejarah, sebagai hari terkutuk dan bersimbah darah
Pada siang yang panas menjelang natal, ketika langit hendak memamerkan kedamaian pada bumi di Teluk Sape
Rakyat menangis meratapi nasibnya, masa depan mereka dijarah penguasa tamak
Tapi, siapa mau mendengar ratapan mereka?
Sedang penguasa yang alpa mengurus negara sibuk menghitung dan membagi harta jarahan
Sambil bersulang anggur, mereka saling menegur.
"damai di langit ... "
"damai di kalangan elit  .... "

Sementara di bumi, di tempat rakyat hanya bisa mengumpat, sepasukan manusia tak berjiwa menerjang, menendang
dari senjata mereka yang sudah terkokang bermuntahan peluru, mendesing ke segala arah
Lalu, Teluk Sape bersimbah darah
Mesuji bersimbah darah
Papua bersimbah darah
di mana-mana tubuh tergolek tak berdaya, mereka bergelimpangan ditendang pasukan yang mereka biayai
Mereka bergelimpangan diterjang peluru yang mereka beli, para penjaga negara itu sudah berpaling!

Maka dengan pedang telanjang aku torehkan luka di dinding hati

Wahai rezim pembantai ...
Tingkah lakumu yang korup dan tak bermoral sungguh bikin aku semakin mual....
Tapi akan tiba saatnya rakyat mengumpulkan ranting dari hutan-hutan kerontang
Menumpuknya di lahan gersang karena telah kau hisap habis isinya
dengan amarah berkobar-kobar ranting pun menjadi unggun
Lidah apinya yang besar meliuk-liuk menjilat istana kebohongan, membakar kekuasaanmu sedang kamu hanya bisa merintih, terhina dan perih

Sejarah akan menguburmu dalam kubangan penuh nista
Seperti para penguasa sebelum kamu, yang lalai lagi penuh dusta