Selasa, 24 Januari 2023

Kisah kesabaran seorang isteri pejuang

 kisah diangkat saat keruntuhan kerajaan Majapahit


Puri yang diberikan Ratu Kusumawardhani kepada abdi ksatrianya bernama Mahesa Curanggana sebagai hadiah pernikahan dengan istri keduanya Roro Lastri Sumira Dumilah, tetap terpelihara baik. Letaknya di utara pegunungan yang indah berpapasan langsung dengan kemegahan Gunung Welirang. Berulang kali diguncang gempa, Tuhan selalu melindunginya. Kekokohan Puri Wirabuana semakin teruji dan dihormati, justru ketika Perang Paregreg tengah berkobar sangat hebat saat ini.

Sejak kedatangan para pedagang dan saudagar muslim dari Cina, India, Arab, dan Persia di pelabuhan Tuban dan Gresik mulai abad ketujuh hingga sebelas lalu, semakin banyak pula penduduk yang beralih menjadi Islam, termasuk Mahesa Curanggana seorang laksamana Angkatan Laut Majapahit yang berinteraksi langsung di pelabuhan sebagai pejabat pajak.

"Berjual beli dengan pendatang muslim itu menyenangkan! Tak hanya berdagang, mereka datang dengan cerita-cerita menawan tentang negeri-negeri timur nan indah. Tak segan-segan mereka memberi hadiah cinderamata dari negeri mereka. Konon, dengan memberi hadiah berarti persahabatan dan kepentingan akan dapat terjaga baik," ujar Curanggana berbinar suatu ketika kepada Dumilah. Atas prakarsanya pula, ia membentuk Mahagotra Muslim Pratama yang menghimpun kaum muslim asal Majapahit asli karena terilhami oleh kisah Asabiqul Awalun.

 

Tetapi sekarang, situasi bagi Curanggana teramat sulit. Di satu sisi ia adalah abdi ksatria Ratu Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk, Ratu Majapahit. Artinya ia tetap bekerja sebagai perwira bagi pemerintahan Majapahit meskipun telah memeluk Islam. Namun kenyataannya, ia berseberangan dengan Wikramawardhana yang menyetir setiap kebijaksanaan pemerintahan. Rakyat tahu itu, tetapi segan mengritik. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang numpang takdir sebagai suami dari perempuan yang berkuasa bisa ikut jalan-jalan ke luar negeri membawa misi kenegaraan Majapahit? Para cendekiawan dan ahli hukum Majapahit sudah memperingatkan Kusumawardhani tentang bahaya fitnah yang akan jatuh ke jajaran pejabatnya, tetapi Kusumawardhani terlanjur menyerah dengan rasa cinta kepada sangv suami sehingga ia kerap digerenengi sebagai ratu tempelan.

Di pihak lain, pemerintahan Kusumawardhani harus menghadapi gempuran kelompok-kelompok yang ingin melepaskan diri dari Majapahit, terutama dari keluarga besarnya sendiri yakni Bhre Wirabhumi yang tak lain adalah saudara lelaki Kusumawardhani dari ibu selir. Selain itu juga kelompok priyayi pantai seperti Adipati Blambangan, atau pun pemberontak yang ingin membebaskan pelabuhan Tuban dan Gresik. Tapi sekali lagi bukan itu inti persoalan paling berat. Bukan itu!

Sudah menjadi rahasia umum kalau kedua kelompok bertika kerap meminta bantuan pihak netral, yang dalam hal ini adalah Islam, karena walau jumlahnya sangat sedikit, para pemimpin Islam dapat dipercaya dalam menengahi sengketa para bangsawan. Curanggana adalah seorang muslim, tetapi kemampuannya diabdikan kepada salah satu kelompok, yakni Kusumawardhani.

"Jadilah muslim yang utuh, Kangmas. Buatlah surat pengunduran diri kepada sang Ratu," saran Dumilah bijak.

Curanggana tertegun. "Ratu Kusumawardhani adalah Ratu yang baik. Ia tidak melarang aku memeluk agama Islam dan menganggap hal tersebut adalah urusan pribadiku. Bahkan juga terhadap dirimu. Ia tetap memandangku sebagai abdi ksatria yang tangguh bagimanapun latar belakangku."

Dumilah tersenyum. "Aku mengerti. Maksudku, kau harus berterus trang tentang posisi dilematismu. Mahagotra muslim pratama dipercaya kedua kelompok untuk perdamaian karena tidak mempunyai ambisi politik. Tetapi dengan mendukung Kusumawardhani berarti Kakang menghendaki sang Ratu tetap berkuasa, padahal seluruh rakyat sudah muak dengan pemerintahannya yang banyak menderita kegagalan," cela Dumilah.

Curanggana mendesah. Apa yang dikatakan Dumilah benar.

"Aku yakin, Ratu akan melarangku mengundurkan diri begitu mendengar alasanku yang inin bersikap tak memihak. Bahkan salah-salah, itu cuma alasan agar aku cuci tangan, atau yang paling ekstrim aku diangap mengritik kepemimpinan Kusumawardhani."

41"Jihad yang agung adalah mengatakan apa yang benar di depan penguasa yang zalim, Suamiku ..!"

Curanggana mengangguk. Ia seperti banyak pertimbangan.

"Mbaky Dyah Hatin, istri pertamamu?" pancing Dumilah.

Curanggana menggeleng tidak mengerti.

"Ceraikanlah dia. Meski dia seorang perempuan yang baik dan aku tidak pernah berselisih paham dengannya, bukankah dia tetap berniat hidup dengan kehinduannya, dan gaya hidup kelas atas di ibukota? Namun demi menjaga kemurnian pekerjaanmu yang ingin mengakhiri perang saudara di Majapahit melalui jasa baikmu sebagai muslim, sebaiknya kau melupakan dia. Berikanlah rumah di ibukota, bahkan puri Wirabuana ini kepadanya," kata Dumilah lemah lembut.

Curanggana mendongakkan kepala. "Tidak! Puri ini adalah penghargaan Ratu atas hasil kerja kerasku."

"Majapahit itu penjajah, Suamiku...Aku khawatir kau akan sia-sia di mata muslim karena kau bersekutu dengan Kusumawardhani, pun di mata Kusumawardhani kau dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Terlebih kelompok Tuban dan Gresik...kau akan dianggap mata-mata muslim dan penguasa."

Wajah Curanggana memerah. Jemari Dumilah membelai kepala suaminya yang bingung.

"Dyah Hatin adalah istri yang baik meski dia tidak tertarik memeluk Islam. Dia pasti tidak mau kehilangan seluruh fasilitas hidup sebagai istri seorang laksamana istana," kelunya. "Ambil resiko terkecil. Kita bisa hidup sederhana apa adanya. Lahan pertanian di gunung Welirang ini cukup sebagai nafkah."

Curanggana menggerakkan kepala tanda tidak setuju. "Situasinya tidak semudah itu, Dinda Dumilah. Kaukira Kusumawardhani akan begitu saja meluluskan permintaanku di saat Angkatan Bersenjata Majapahit sedang terjepit?"

Kali ini wajah Dumilah yang berubah sendu. Ia membenarkan perkataan sang suami. Prajurit macam apa yang menolak menunaikan tugas negara di kala musuh kerap menyerang tiba-tiba?

"Kangmas Curanggana, sebaiknya Kakang tidak membebani diri dengan pikiran dan perasaan yang belum tentu benar. Cobalah utarakan baik-baik...Hati manusia tak ada yang tahu, bukan?" hiburnya seperti bermain dadu.

Curanggana mengetuk-ngetuk tempat duduknya dengan jari telunjuk. Ada ragu dan dorongan kuat untuk mengakhiri konflik batin ini selekasnya.

Majapahit di akhir abad ke-14 terancam runtuh. Kerajaan terbesar se-Asia Tenggara ini terlibat dalam peperangan saudara penuh nafsu dan semrawut. Para pemimpin Majapahit mengidap penyakit gila hormat. Akar budaya Jawa nan adiluhung diselewengkan tanpa malu. Tanpa ewuh-pekewuh sedikut pun, penggerogotan harta kekayaan negara melalui gaya hidup tinggi para pemimpin dan keluarganya dipertontonkan di depan rakyat yang semakin sengsara dan tidak puas.

Sedikit demi sedikit, pihak keluarga kerajaan dan para bangsawan pesisir seperti Tuban dan Gresik memberontak. Majapahit mati-matian mempertahankan kota pelabuhan itu. Jika tidak, di mana lagi mereka akan menguasai sendi perdagangan negeri di Pulau Jawa?

Konflik ini diperparah dengan perebutan kekuasaan sesama pemimpin di istana. Rakyat bertanya-tanya, apa yang sedang diperjuangkan para pemimpin mereka sebenarnya? Perasaan hanya 'numpang hidup' di sebuah negeri yang kacau terus menggejala di kalangan jelata.

Sudah diduga, surat pengunduran diri Curanggana ditolak! Majapahit masih memerlukan jasa Curanggana.

"Kau gila! Para priyayi asal Tuban dan Gresik terus menekan kita. Belum lagi gerilya Adipati Blambangan, atau bahkan Bhre Wirabhumi, kau malah mengundurkan diri! cela Pikatan Laya.

"Aku muslim! Aku lebih suka kalian berdamai daripada terus mendkukung pemimpin yang ..."

"Mereka adalah keturunan Dewa!" potong Pikatan Laya cepat. Matanya melotot. "Kau boleh menjadi muslim tapi kau dilarang menghina kepercayaan orang-orang Hindu Jawa bahwa para raja merupakan titisan Dewa," katanya agak melunak.

Curanggana mendesah sesal. "Kalau begitu, mengapa tidak kaubiarkan saja diriku hidup damai dan tak mencampuri persengketaan kalian."

Pikatan Laya tersenyum tawar. "Nyawamu sudah tergadai untuk kejayaan negeri."

"Tidak! Hidup matiku hanya untuk Allah!" Curanggana membantah agak keras. Dengan susah payah ia menghimpun keberanian yang berserak. "Mulai besok, aku tidak akan lagi bekerja di istana." katanya sambil berlalu.

"Janan nekat! Negara akan menyatakan kau penjahat!"

Tungkai kaki Curanggana seperti hendak patah.

Belum sempat kemuramannya berakhir, ia melihat beberapa tentara mengumpulkan kayu-kayu bakar dan tempayan kuningan besar. Benda-benda itu diangkut kuda-kuda menuju alun-alun kota. Curanggana segara tahu, sebuah eksekusi mati akan dilaksanakan.

"Buat apa itu semua? Sepengetahuanku, para tawanan perang akan dihukum pancung atau disandera untuk dicari denda."

Pikatan Laya menepuk bahu. "Jangan bodoh, hukuman rebus ini segera dijatuhkan kepada para pelacur yang kami tangkap di wilayah kekuasaan Tuban!"

"Apa?"

 "Hukum harus ditegakkan!"

"Aku tahu.Tetapi perempuan itu belum tentu penjual diri.Kalau pun iya, mereka melayani tentara Majapahit dengan terpaksa karena desakan perut atau di bawah ancaman pedang. Yang aku tahu, banyak tentara Majapahit memperkosa gadis-gadis di desa taklukan dan meninggalkan mereka seperti orang gila.Kusumawardhani tahu, tetapi ia lebih suka menutup aib ini demi kegemilangan nama kerajaan. Merekalah yang seharusnya direbus di alun-alun!" Curanggana memberikan alasan. Sebelum Pikatan Laya menimpali, mereka mendengar sorak sorai penduduk berlari-lari membawa batu. Gemuruhnya semakin keras berbarengan dengan datangnya kereta kuda berkerangkeng bambu yang di dalamnya terikat tiga perempuan dengan perutnya yang nampak membesar.

"Rebus! Hukum mati lonte!" caci maki penduduk membabi buta mengikuti para pejabat yang duduk duduk ongkang-ongkang kaki di atas singgasana seakan adegan ini sudah biasa.

"Masya Allah. Kalian memperlakukan perempuan wilayah musuh seperti ini? Tidak dapat suaminya, kalian menghancurkan hidup keluarganya! Lepaskan mereka! teriak Curanggana sambil mengibaskan pedang.

Melihat seorang pejabat berpangkat tinggi menenteng pedang kerajaan, kontan para pengendara gelagapan dan ketakutan. Penduduk bungkam meski api sudah terlanjur dinyalakan. Wajah ketiga perempuan ini pucat pasi.

"Aku bukan lonte, Tuan! Tentara-tentara Majaphit itu yang memperkosa hamba bergiliran! Kepada siapa hamba harus mengadu tentang ayah si jabang bayi ini?"

"Curanggana, apa yang kaulakukan?" teriak Pikatan Laya kaget. "Mereka itu bondon! Buktinya mereka hamil tapi menyebut ayah si bayi saja tidak tahu!"

Curanggana mengingatkan, "Hati-hati dengan ucapanmu, Pikatan Laya!"

"KIta tak punya banyak waktu! Orang-orang Tuban dan Gresik harus tahu resikonya jika ingin melepaskan diri dari negeri kesatuan Majapahit. Haram itu! Kalau pemberontaknya tidak atau belum bisa dikalahkan, ya sudah, perkosa saja perempuannya, jarah harta benda, keruk kekayaan alam, bunuhi dan teror warganya, biar Angkatan Bersenjata Majapahit selalu mempunyai peran dan menjadi pahlawan di mata rakyat, biar mereka tahu harga yang harus dibayar jika menentang penguasa yang sah!" Pikatan Laya beringas.

Curanggana tidak kalah murkanya. Pangkat Pikatan Laya lebih rendah dua tingkat, tetapi omongannya seperti sudah tidak punya sopan santun. "Patuhi aku, pemimpinmu! Kelakuanmu sama saja dengan penjahat perang! Dengar baik-baik, Pikatan Laya, walau bagaimanapun aku ini seorang muslim. Dan kalian percaya pada kredibiltas kaum muslim. Keputusanku membebaskan perempaun malang ini adalah demi perdamaian dan keadilan semata."

"Bohong! Kau bersimpati kepada musuh! Buktinya kau mau mengundurkan diri dari kancah Perang Paregreg!" hina Pikatan Laya terpaksa.

 

Pening sudah kepala Curanggana. Ketakutannya akan simalakama semakin menjadi-jadi. "Subhanallah! Kau tidak layak menyandang gelar ksatria! Kau keterlaluan!" bentak Curanggana memekakkan telinga.

Pikatan Laya tersudut. Di hadapan umum ini ia masih menyisakan malu. Dengan penuh ingin tahu, tatapan Curanggana diarahkan kepada ketiga perempuan Tuban yang terus sesunggukan.

"Bebaskan kami. Bebaskan kami, kami mau pulang, biarlah kami menanggung malu membesarkan anak tanpa ayah. Warga kami tidak pernah lupa bahwa pada suatu malam dalam sebuah penyerbuan tentara Majapahit melakukan penistaan terbesar dalam hidup kami karena gagal menangkap para pejuang."

Curanggana merasa ditampara dan malu. Namun, rasa kehilangan muka kian menyakitkan hati, manakala sebuah suara mengejutkan semuanya.

"Atas nama pemerintah kerajaan Majapahit, kalian dijatuhi hukuman rebut! Kalian lonte!"

"Menteri! teriak penduduk sambil menyembah-nyembah.

"Tidak! Kami tidak bersalah! suara parau tawanan itu menyayat hati.

Belum sempat Curanggana bergerak, kedua tangannya sudah diringkus.

"Kau! Kau tidak boleh berlaku semena-mena terhadap rakyatmu."

"Rakyat? Rakyat yang mana? Rakyat Majapahit dididik manut, tidak pernah protes karena beras sudah swasembada, dan setia kepada para pemimpin. Lidah mereka terjaga jika berbicara dengan para rajanya, mereka memelihara segan dan hormat dalam jiwanya," potong Menteri Kerajaan sinis.

Curanggana menitikkan air mata tidak tega.

"Tolong kami, Gusti Muslim! Tolong kami, Gusti Muslim!"

Perempuan-perempuan malang itu dipaksa menaiki tangga.

"Hentikan!" teriak Curanggana putus asa.

Terlambat! Menteri Kerajaan yang diyakini mewarisi darah Tuhan oleh rakya Majapahit menatap dingin eksekusi yang dianggapnya sebagai simbol kemenangan terhadap wilaya-wilayah separatis.

"Aaa...! Aaa...!" teriak perempuan-perempuan malang itu yang sengaja disuntrungkan untuk mengakhiri hidupnya. Tubuh mereka berkelojotan, menggelembung, lalu melepuh bersama isi perut dan keluarnya janin-janin dalam kubangan air panas yang sekejap saja berubah menjadi merah darah.

"Subhanallah! Allahu Akbar! Tidak! Kalian binatang! Kalian pemimpin keji! teriak Curanggana sambil mencium tanah, tak tahan menyaksikan para penduduk dipaksa turut menyaksikan dan melempari tempayan dengan bebatuan.

"Pikirkan baik-baik keputusan mengundurkan diri itu, Curanggana! Kau adalah prajurit Majapahit! Jangan sampai Kerajaan kehilangan kesabaran menghadapimu! ungkap pejabat kerajaan itu angkuh sambil menghela kuda.

"Maafkan aku," kata Pikatan Laya bergetar mencoba bersimpati. "Orang-orang yang mencoba melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit harus diberangus. Kita tidak pernah melakukan kejahatan. Majapahit adalah negara kesatuan. Biarlah Negara yang akan menutup aib para prajurit dan pejabat. Negara akan membangun kembali Tuban dan harapan rakyat Tuban melunak. Kita akan mengadakan dialog-dialog dengan wilayah-wilayah yang tidak puas dengan pemerintahan Kusumawardhani. Sebab jika mereka lepas, Majapahit akan menjadi negara miskin!"

"Kalian munafi! Kalian memerintah tanpa nurani! Kalian menghancurkan negeri kalian sendiri tanpa harus menunggu musuh menyerang. Kalian menciptakan petaka! Gunung Merapi meletus, banjir bandang melanda, kalian semakin jauh dari pengamalan ajaran agama kalian!" kritik Curanggana keras. Namun suaranya dianggap seonggok gema di tenhah hiruk-pikuk yang menyakitkan. Seluruh soca memandang Curanggana dengan acuh tak acuh, bahkan saat kakinya dilangkahkan pulang.

"Minggir!" katanya sambil mendorong bahu Pikatan Laya. Pikatan Laya mengalah. Saat kedua teman itu berpandangan, masing-masing dapat menyaksikan bagaimana bola-bola mata mereka berair membasah, tetapi penyebabnya berbeda.

"ya Allah Ya Rabbi ... tentara Kusumawardhani menuju kemari" teriak Dumilah agak panik.

Roro Lastri Sumira Dumilah berusaha menenangkan diri sebab ia yakin posisinya sebagai muslim akan dipercaya pihak Kusumawardhani maupun bangsawan pesisir.

"Ada apa, Pikatan Laya?" tanya Dumilah heran menyaksikan anak buah suaminya datang dengan beberapa orang pengawal.

Piktan Laya nampak gugup. Dari tangannya tersetlip surat dari bahan  kulit kayu berikat akar.

"Akan Negara tugaskan ke mana Kangmas Curanggana?" tanya Dumilah mencium firasat buruk.

Pikatan Laya menggeleng. "Pemerintah memanggilnya atas insiden kemarin," katanya lemah.

"Dia hanya menyuarakan hati nuraninya. Apakah dia salah?" ungkap Dumilah semakin penasaran.

"Dengar, kami adalah keluarga penguasa Majapahit. Negara tidak boleh mencelakakan laksamana setangguh suamiku!" protes Dumilah terasa menekan.

Curanggana yang mendengar dan melihat ribut-ribut segera keluar dengan pakaian lengkap.

"Tak usah cemas, Dinda. Tugas Negara mendadak sudah biasa. Aku berangkat!" katanya singkat sambil menaiki kuda.

"Kangmas, ini jebakan!" kata Dumilah memperingatkan. "Kalian mencoba-coba menghalangi rencana suamiku untuk mengundurkan diri dari pekerjaanya. Benar, bukan? tanya Dumilah memancing.

Pikatan Laya terdiam, sementara jemari Curanggana menutup rapat bibirnya pertanda agar istrinya diam.

"Jangan bersedih, Dinda Dumilah. Kita berjumpa karena Allah maka berpisah pun karena Allah ..."

Kata-kata suaminya menyejukkan meski sebenaranya terasa pedih. Lambat laun ia menyaksikan langkah kuda Curanggana yang dijaga rapat para pengawal Kusumawardhani dengan tetesan air mata dalam diam. lenyap dari cakrawala bukit.

Tujuh hari, empat belas hari, 21 hari bahkan hingga 120 hari, tanda-tanda Curanggana akan pulang semakin sirna.

Tujuh hari, empat belas hari, 21 hari bahkan hingga 120 hari, tanda-tanda Curanggana akan pulang semakin sirna. Bahkan Dumilah kerap mendengar bagaimana serangan-serangan priyayi pesisir, dan semua tokoh wilayah yang sduah sangat kecewa pada pemerintahan pusat Majapahit bertambah gencar. Yang menyayat, gelombang pengungsi yang nota bene adalah rakyat Majapahit sendiri, yang tidak menghendaki perang, dianggap dosa yang harus ditanggung sendiri oleh kawula.

“Negara macam apa ini? Apakah suamiku dilibatkan di seluruh pertempuran?” keluh Dumilah sedih. “Pidato para pejabat tak lebih dari hari-hari omong kosong. Kepada rakyat dianjurkan agar kian mendekatkan diri kepada Tuhan atas segala bencana dan cobaan yang diklaim sebagai ujian bagi orang yang percaya pada kebesaran-Nya. Padahal sumber bencana di Majapahit adalah mental para pemimpin yang mementingkan dunia,” kata Dumilah membatin.

Dumilah tidak mempunyai kekuasaan mengubah negara amburadul ini. Apalah artinya peran sebagai garwa anggara dari seorang ksatria bagi negara seluas Majapahit? Sia-sia sudah seluruh surat, uang, utusan, bahkan saat berkunjung ke ibukota dan menginap di kediaman Dyah Hatin guna mencari suaminya. Nihil! Semua orang menggelengkan kepala jika ditanya ada di mana, atau siapakah yang tahu nasib Curanggana? Ia berusaha menyingsingkan dugaan orang yang mengatakan jika suaminya termasuk kelompok orang hilang.

“Mustahil! Tidak mungkin negara menghilangkan nyawa

Rakyatnya sendiri. Curanggana orang baik. Berbeda pendapat adalah hal biasa dalam mengurus kerajaan. Tapi apakah benar pendapatku ini di hadapan pemimpin yang sudah terputus syaraf malu dan risihnya? Yang membuatku lebih aneh, Pikatan Laya sendiri bahkan tidak mengetahui keberadaan Curanggana,” geram Dumilah terpukul.

Hatinya semakin hancur manakala akhir-akhir ini, berita-berita buruk dari ibukota kian santer disebarluaskan para pamongpraja, berikut uar-uar pelepah kulit yang disayat serta dipaku di tembok ataupun di pepohonan. Isi beritanya sangat menyedihkan:

“Dyah Hatin, janda sekaligus istri pertama Mahesa Curanggana, mendadak gila manakala pengadilan Majapahit menyita seluruh harta kekayaan Curanggana di Kediri, dan memangkas habis seluruh gelar dan fasilitas utama sebagai pejabat negara disebabkan pengunduran diri Curanggana sebagai perwira kerajaan. Negara hanya menyisakan Wirabuana sebagai penghormatan kebaikan Gusti Ratu.”

Dyah Hatin tidak bisa menerima sebuah rumah berukuran sepetak sawah. Air mata Dumilah menetes deras. Seperti ranai-ranai saja seluruh daya yang dikerahkan selam ini, berbenturan dengan kekuasaan penguasa yang laim namun dengan penampilan penuh pesona dan kebaikan sepuhan.

 

Malam itu, kekacauan Majapahit telah menyentuh sekujur gerak urat nadi setiap rakyatnya. Dari atas puri, Dumilah terbiasa menyaksikan gelombang penduduk berlari mengungsi.

“Apakah karena aku seorang muslim? Apakah karaena penguasa Majapahit masih bisa menghargai Mahagotra Muslim Pratama ing Majapahit hingga kami dibiarkan hidup damai?” tanya hatinya kemrusuh tak mengerti.

Belum tuntas kelopak hendak menutup mata, telinganya dikejutkan suara riuh rendah yang memekakkan sekaligus menyayat pedih.

“Gusti Dumilah! Tolong kami! Selamatkan kami! Garwa Anggara Curanggana, lihatlah kami! Bukakan gerbang puri ini! Jangan biarkan mereka mengejar! Kami hendak dibunuh tentara Kusumawardhani hanya karena wilayah kami termasuk wilayah pendukung Blambangan!” teriak orang ramai-ramai parau mencekam sambil menggedor-gedor, atau memukul-mukul pintu jati bertulang besi dengan alat apa pun berharap agar segera dibuka.

Dumilah tidak membuang-buang waktu, sebab ia pun melihat jelas iringan-iringan obor tentara Kusumawardhani yang sangat bernafsu membabat nyawa.

Begitu pintu gerbang dibuka, “Aa..! Aa..! Tolong, Gusti! Ampuun!  Teriak penduduk yang semakin panik.

Setiap derap langkah akan dihitung mencabut nyawa atau tidak. Tak urung meski pintu gerbang berhasil ditutup kembali, beberapa di antara mereka masuk dalam keadaan tersungkur terkena panah atau tombak.

“Buka! Atas nama pemerintah Kusumawardhani, buka gerbangmu ini, Garwa Anggara Curanggana!” teriak Pikatan Laya emosi.

Dumilah menampakkan wajah di atas puri. “Masuklah kalian sebagai tamu. Aku hanya mau menerima tiga orang!”

Tangannya memerintahkan para penduduk untuk berlindung di balik pembatas ruang kayu jati berukiran Jawa. Sayang, para anggota serdadu sama sekali tidak mempunya adab. Sambil berkacak pinggang, kecuali Pikatan Laya, salah seorang di antara merek berkata, “Jangan pernah mencampuri urusan Majapahit, Dumilah!”

 “Siapa dia, Pikatan Laya? Sepertinya dia tidak mempunyai pengetahuan secuil pun tentang jasa-jasa orang Islam mendamaikan kalian!”sergah Dumilah tidak tanggung-tanggung.

Pikatan Laya maklum. Ia memandang tajam bola mata prajurit tadi dengan tatapan menghardik.

“Kami hendak menangkap pemberontak!”

“Dusta! Kami bukan pemberontak. Kami rakyat biasa yang menghindari Perang Paregreg! Teriak warga berlomba-lomba.

Dumilah merasa menang.

“Hati-hati, Pikatan Laya! Mereka adalah rakyat Majapahit biasa! Yang mereka butuhkan adalah kedamaian hidup, pemimpin welas asih, tidak haus kekuasaan, apalagi berbasa-basi kepada rakyat. Ratu kalian mengatakan prihatin, tetapi tetap saja kebijaksanaan pemerintahannya mencekik. Akibat perang, rakyat sampai harus makan keong, labu  busuk, bongkol batang pisang, bahkan nasi basi yang dikeringkan! Seluruh rakyat tahu kalau jajaran punggawa mempunyai tanah luas dan perbekalan di gudang sejaibun. Kalian berimpati kepada rakyat sementara perut kalian kenyang lebih dulu! Kalian menitikkan air mata di depan umum padahal itu hanya sebuah cara mencari dukungan! Kalian tak ada bedanya dengan leluhur kalian, Ken Arok! Kalian tahu dia seorang penjahat tetapi kalian hormati dalam candi dan menggelarinya Sri Rajasa! Padahal tangannya berlumur darah Gandring, Ametung dan Kebo Ijo. Bahkan kehidupan pribadi Ken Arok memalukan! Juga Ken Dedes dan Ken Umang. Perempuan Jawa macam apa yang mau menikah dengan pembunuh suaminya? Mereka melahirkan anak-anak yang direcoki dendam dan kebanggaan singgasana! Tak peduli nasib rakyat yang kelaparan atau setengah usia hidupnya tak mengalami kemajuan berarti dari segi harta benda, pendidikan, dan keimanan! Semestinya di masa sulit sekarang, kalianlah yang harus lebih dulu mengantri makanan dan bahan bakar di pasaran. Kalau anggaran negara habis untuk berperang maka harus kalian dulu yang rumahnya gelandangan. Jangan pernah membuat sengsara rakyat. Bodohnya lagi, sekarang kalian berperang dengan membawa-bawa nama rakyat, tetapi nyatanya kalian sedang mempertahankan jabatan dan gelar di pundak! Umpat Dumilah panjang lebar.

Para prajurit pendukung Kusumawardhani tertegun malu! Kalau saja yang berbicara seorang Hindu, mereka akan langsung menebasnya. Tetapi, orang yang berkata demikian adalah seorang Islam, agama baru dengan kesantunan luhur yang tak pernah menimbulkan maslah ataupun reputasi buruk sebagai penjajah.

“Tak sepantasnya kau melindungi para pengkhianat apalagi mengritik pemerintahan Gusti Kanjeng Ratu Kusumawardhani dan Wiramawardhana!” teriak seorang prajurit yang telah lupa pada hardikan Pikatan Laya seraya mencabut sebilah keris.

“Aku mengatakan yang haq di depan orang yang zhalim. Dan jangan lupa, meskipun kami mahagotra muslim namun kami juga merupakan rakyat Majapahit. Siapa pun yang masuk ke dalam puriku maka dia adalah tamu!” tegas Dumilah berani.

Pikatan Laya merasa segan. Ia teringat para ulama pernah menyelamatkan gudang beras Kerajaan ketika dibakara para perampok dalam suatu kerusuhan masal dulu. Bersama-sama menyingsingkan lengan, mengumpulkan air dari sungai, meski tak sempat mengejar para penjahat. Pikatan Laya menghela napas. Ia harus mengendalikan anggota pasukannya.

“Sarungkan kerismu atau akan aku laporkan kau menentang
Ratu!” ancam Pikatan Laya.

“Rayi Pikatan Laya, kau harus melihaat dengan nuranimu, apakah orang-orang seperti ini yang kalian sebut pengkhianat Kusumawardhani?” tantang Dumilah. Jemarainya menunjuk sekumpulan nenek-kakek, para orang tua, perempuan dan anak-anaknya yang berjumlah sekitar dua ratus orang lebih berdesak-desakan, dan nampak sangat ketakutan bersembunyi di balik jendela ukir Jawa sebagai pembatas ruang.

Pikatan Laya membenarkan. Mereka hanyalah manusia-manusia yang ingin hidup damai dan mencari perlindungan, akunya dalam hati. Ada anggukan yang dapat ditangkap jelas oleh Dumilah.

Dumilah tersenyum. “Aku meminta perwakilan di antara kalian kemari!” perintah Dumilah berwibawa. Orang-orang itu saling menunjuk. Namun akhirnya sepasang suami istri yang nampaknya seperti kuwu desa mendekat.

“Sekarang saat tepat untuk mengutarakan pendapatmu di hadapan para wakulmu di Kerajaan!” kata Dumilah. “Katakan apa mau kalian sebagai rakyat?”

“Kami ingin Majapahit tetap damai,tetap utuh dan tak ada perang saudara. Kami ingin hidup tenteram tanpa pertikaian.

Jangan buat rakyat sengsara. Kami sedih menyaksikan pemimpin kami bertengkar, tetapi juga muak melihat pemimpin-pemimpin yang tidak punya malu berbicara, berbohong dan tidak mau mundur. Mengajari moral mulia padahal perilaku mereka penuh dosa.  Mengajarkan hidup sederhana padahal anak istrinya biss  bertamasya atau berbelanja ke Campa, Syangka, Maruta, atau Tumasik. Mengorbarkan semangat hidup sahaja padahal kekayaan emasnya terkumpul dari Negeri Malaya hingga Madagaskar. Llu apakah salah kami? Kami tidak ingin ribut-ribut. Sumber kekacauan Majapahit adalah nafsu kalian. Syetan berwujud manusia!” teriak kakek itu menggetarkan dinding puri.

Pikatan Laya terpaku. Kalau dulu ia merasa wajib menghukum mati tiga perempuan Tuban, maka sekarang ia seperti singa ompong yang kehilangan nyali.

“Pulanglah, Pikatan Laya. Biarkan rakyat dari wilayah yang kau sebut musuh menyelamatkan diri mencari perlindungan.”

Dada Pikatan Laya bergetar hebat, nuraninya memberontak lebih kuat daripada kemamuan bermain pedang. Tanpa banyak cakap ia membalikkan badan dan memerintahkan seluruh pesukannya mudur.

“Aku menjamin keamanan pengungsian ini, Dumilah. Taruhannya adalah kepalaku!” tegas Pikatan Laya tetapi wajahnya tak dipalingkan seujung kuku pun ke arah Dumilah, hingga berlalu seorah tidak pernah terjadi apa-apa.

Seluruh orang menghela napas lega.

“Gusti Muslim,” teriak mereka sambil menyembah-nyembah mengucapkan beribu terima kasih, menciumi tangan dan kaki Dumilah bergantian. Dumilah terharu, tetapi ia merasa sia-sia menggagalkan penghormatan menyembah manusia yang dalam ajaran Islam adalah sebuah kesalahan besar.

 “Kami adalah rakyat wilayah bergolak karena para pemuda kami berjuang hendak memisahkan diri dari Majapahit. Sekarang kami semua akan meneruskan pengungsian ini,” kata mereka seolah memohon pendapat ke mana kawasan tujuan yang aman.

“Pergilah kalian ke timur pulau Jawa. Di sana kalian akan menemukan selat. Berlayarlah ... Hiduplah kalian di pulau timur itu. Aku mendengar, banyak seniman istana melarikan diri ke pulau seribu candi. Di sana mereka dapat memelihara adat istiadat serta ajaran Hindu dengan baik, “ kata Dumilah bergetar.

Seluruh mata terharu, tak menyangka seorang perempuan muslim menyarankan jalan keluar yang sangat adil, bahkan tak mempengaruhi apalagi mencampuri sedikit pun tentang gerbang keimanan mereka.

“Oh, Dewi Dumilah ... Para dewa telah mengutus kebaikanmu untuk kami. Kami mempercayai keluhuran budi pekertimu. Tetapi bagaimanapun juga, kami ini adalah orang-orang Jawa. Biarlah sebagian pelarian Perang Paregreg mengungsi ke Bali, tetapi kami tetap ingin hidup dan mati di Tanah Jawa. Namun sungguh, kami tidak tahu harus pergi ke mana. Tinggal bersamamu justru akan mempersulit keudukanmu,” kata seorang perempuan baya yang kerepotan menggembol bakul kain batiknya sekaligus menggendong bayinya yang terus menerus menangis.

Jantung Dumilah serasa diserabut bara. Pedihnya menusuk hingga kepala. Sekarang, ia berdiri sebagai juru damai bagi dua

Kelompok Majapahit yang terpecah. Di depannya, bergerombol lebih ari 200 orang yang mencari selamat, korban dari kenistaan nafsu para pemimpin Majapahit yang mengumbar ambisi Ken Arok. Tiba-tiba ia teringat kisah yang pernah disampaikan suaminya tentang telaga Tiga Warna yang sangat indah di puncak sebuah gunung yang dinginnya menyejukkan, dan keindahan telaga rineka warnanya menakjubkan bila ditimpa surya.

“Kalau keinginan kalian begitu, mengungsilah ke belahan timur kerajaan Majapahit. Dakilah jengkal demi jengkal tanah Gunung Bromo. Hiduplah kalian dengan iklim dingin. Semoga ketentramannya menjadikan kalian orang-orang yang tetap mencintai perdamaian. Pergilah kalian ke Tengger.”

Beberapa ibu menitikkan air mata penuh haru. Gunung itu sangat jauh dari puri ini. Tetapi hanya itulah pilihan paling baik di antara yang paling sulit. Hidup dan mati di Tanah Jawa sebagai orang Jawa, dan bertanggung jawab memelihara kultur Hindu Jawa.

“Gusti Dumilah, terima kasih! Terima kasih!” teriak orang-orang yang trenyuh dan langsung menciumi kembali tangan Dumilah seakan tak pernah puas memberi penghormatan.

Setelah shalat Subuh, Dumilah menghibahkan ratusan kain batik bercarik-carik kepada pengungsi, lalu mereka melilitkan ke sekujur tubuh. Ditemani dua orang abdi puri, Dumilah mengantar iring-iringan panjang penduduk yang membawa harta benda tak seberapa, termasuk hewan-hewan ternak dan pedati berisi bahan makanan hingga perbatasan.

“Selamat jalan, Sudaraku,” ucap Dumilah melambaikan tangan.

Ada gurat tidak tega dan tatapan membasah di mata penduduk saat dilepas dalam suasana mengharukan. Entah angin apa yang membenturkan aroma senyap ke kepala Dumilah, perempuan malang itu secara tiba-tiba bertanya,

“Tunggu, adakah di antara kalian mengetahui di mana dan bagimana nasib suamiku Mahesa Curanggana?” tanyanya memelals.

Seluruh kepala menggeleng lesu, bersimpati, dan membalas arah paras Dumilah dengan penuh luka.

“Gusti Dumilah, sebaiknya kau mengikhlaskan. Percuma saja. Jangan pernah mengharap suamimu akan kembali. Jangan pernah, “ jawab penduduk dengan berat hati.

Air mata Dumilah berjatuhan bak hujan tanpa suara. Ia menggigit bibir, sementara kedua tangannya terus melambai kepada iring-iringan obor yang semakin redup hingga fajar akan memadamkannya.

 

Sepanjang hidup, garwa Anggara Curanggana masih berharap dalam doa jia suatu hari sang suami pulang dan membuka pintu gerbang. Hari-harinya diisi dengan menghiasi taman, membersihkan puri, dan menyenandungkan kalam-kalam Ilahi menyambut pujaan hati kelak menghampiri jiwa raganya. Hayat Dumilah turut menyaksikan dengan hati pedih laksana disodet ujung belati. Imperium Majapahit yang dibangun para raja Jawa ratusan tahun akhirnya rontok seperti kerak lumut yang mengelupas garing begitu Raja Wikramawardhana meninggal dunia pada tahun 1429 Masehi. Sang Raja mati dengan hujan caci maka dan hujatan rakyaat setelah separuh usianya dipenuhi dengan kebiasaan sembah puja dari para pendukungnya. Menjelang gelar mendiang akan diraih, ia malah dijauhi para sekutu yang dulu selalu datang, hanya untuk memanfaatkan kekuasaan karena sekarang ia dipandang tak lelbih sebagai aib besar. Cukup mereka yang mempunyai perasaan utang budi yang tetap setia kepadanya dengan menciptakan lagu, puisi, serta arca sebagai simbol orang berjasa.

“Hanya dengan persamaan akidah dan menjalankan syariat Islam saja, aku yakin negeri ini akan kembali bersatu kelak,” gumam Dumilah seraya membayangkan bila suatu ketika sebuah kerajaan Islam akan berdiri dan menggantikan kekuasaan Majapahit. Keterharuannya membuncah melalui air mata lalu jatuh ke sehelai daun jatai kuning kering yang ia pungut.

Atas perintah Dumilah untuk mengenang syahitnya sang suami, ia memerintahkan seorang pemahat menorehkan pisau tempa ke dinding bagu pintu gerbang bertuliskan:

Sampun dalem tenggo panjenengan

Ingkang ical sadangunipun kawula gesang

Ingkang katah raos bingah

Boten nate kraos keicalan sededik kemawon

Sebab kawula pitados

Menawi panjenengan tansah gesang langgeng

Soho mangayu bagyo wonten ngarsanipun Gusti Allah

 

Setiap hari Dumilah membacanya dengan penuh harap. Naluri wanitanya tetaplah terluka, namun ia berusaha keras menyembunyikan. Hingga sebatang kayu jati berwarna kuning gading membantu menyangga tubuhnya, dan rambut putih kerap menyembul dari kerudung rapatnya. Ia masih diberi kesempatan Allah untuk mendengar dan menyaksikan dengan dada bergetar hebat, di bekas wilayah Majapahit, yang pemimpin dan mayoritas rakyatnya sudah berbulat tekad mengikrarkan syahadat, dengan penuh kebanggaan mereka mengibarkan sebuah bandana besar bertuliskan aksara Arab, Allah, menandai berdirinya sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa pada tahun 1500 Masehi. Demak ...!

 

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

Sudah saya tunggu anda

Yang hilang selama saya hidup

yang banyak merasa bahagia

tidak pernah merasa kehilangan sedikit pun

sebab saya percaya

jika anda senantiasa hidup abadi

serta ikut berbahagia, ikut bersyukur kepada Tuhan Allah

 

diketik ulang oleh Agus Ahmad Hidayat pada bulan Desember 2022


judul:  Garwa Anggara Curanggana

penulis: Agustrijanto



Bersumber kumpulan cerita pendek  Lingkar Pena