kisah diangkat saat keruntuhan kerajaan Majapahit
Puri yang
diberikan Ratu Kusumawardhani kepada abdi ksatrianya bernama Mahesa Curanggana
sebagai hadiah pernikahan dengan istri keduanya Roro Lastri Sumira Dumilah,
tetap terpelihara baik. Letaknya di utara pegunungan yang indah berpapasan
langsung dengan kemegahan Gunung Welirang. Berulang kali diguncang gempa, Tuhan
selalu melindunginya. Kekokohan Puri Wirabuana semakin teruji dan dihormati,
justru ketika Perang Paregreg tengah berkobar sangat hebat saat ini.
Sejak
kedatangan para pedagang dan saudagar muslim dari Cina, India, Arab, dan Persia
di pelabuhan Tuban dan Gresik mulai abad ketujuh hingga sebelas lalu, semakin
banyak pula penduduk yang beralih menjadi Islam, termasuk Mahesa Curanggana
seorang laksamana Angkatan Laut Majapahit yang berinteraksi langsung di
pelabuhan sebagai pejabat pajak.
"Berjual
beli dengan pendatang muslim itu menyenangkan! Tak hanya berdagang, mereka
datang dengan cerita-cerita menawan tentang negeri-negeri timur nan indah. Tak
segan-segan mereka memberi hadiah cinderamata dari negeri mereka. Konon, dengan
memberi hadiah berarti persahabatan dan kepentingan akan dapat terjaga
baik," ujar Curanggana berbinar suatu ketika kepada Dumilah. Atas
prakarsanya pula, ia membentuk Mahagotra Muslim Pratama yang menghimpun kaum
muslim asal Majapahit asli karena terilhami oleh kisah Asabiqul Awalun.
Tetapi
sekarang, situasi bagi Curanggana teramat sulit. Di satu sisi ia adalah abdi
ksatria Ratu Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk, Ratu Majapahit. Artinya ia
tetap bekerja sebagai perwira bagi pemerintahan Majapahit meskipun telah
memeluk Islam. Namun kenyataannya, ia berseberangan dengan Wikramawardhana yang
menyetir setiap kebijaksanaan pemerintahan. Rakyat tahu itu, tetapi segan
mengritik. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang numpang takdir sebagai
suami dari perempuan yang berkuasa bisa ikut jalan-jalan ke luar negeri membawa
misi kenegaraan Majapahit? Para cendekiawan dan ahli hukum Majapahit sudah
memperingatkan Kusumawardhani tentang bahaya fitnah yang akan jatuh ke jajaran
pejabatnya, tetapi Kusumawardhani terlanjur menyerah dengan rasa cinta kepada
sangv suami sehingga ia kerap digerenengi sebagai ratu tempelan.
Di pihak
lain, pemerintahan Kusumawardhani harus menghadapi gempuran kelompok-kelompok
yang ingin melepaskan diri dari Majapahit, terutama dari keluarga besarnya
sendiri yakni Bhre Wirabhumi yang tak lain adalah saudara lelaki Kusumawardhani
dari ibu selir. Selain itu juga kelompok priyayi pantai seperti Adipati
Blambangan, atau pun pemberontak yang ingin membebaskan pelabuhan Tuban dan
Gresik. Tapi sekali lagi bukan itu inti persoalan paling berat. Bukan itu!
Sudah
menjadi rahasia umum kalau kedua kelompok bertika kerap meminta bantuan pihak
netral, yang dalam hal ini adalah Islam, karena walau jumlahnya sangat sedikit,
para pemimpin Islam dapat dipercaya dalam menengahi sengketa para bangsawan.
Curanggana adalah seorang muslim, tetapi kemampuannya diabdikan kepada salah
satu kelompok, yakni Kusumawardhani.
"Jadilah
muslim yang utuh, Kangmas. Buatlah surat pengunduran diri kepada sang
Ratu," saran Dumilah bijak.
Curanggana
tertegun. "Ratu Kusumawardhani adalah Ratu yang baik. Ia tidak melarang
aku memeluk agama Islam dan menganggap hal tersebut adalah urusan pribadiku.
Bahkan juga terhadap dirimu. Ia tetap memandangku sebagai abdi ksatria yang
tangguh bagimanapun latar belakangku."
Dumilah
tersenyum. "Aku mengerti. Maksudku, kau harus berterus trang tentang
posisi dilematismu. Mahagotra muslim pratama dipercaya kedua kelompok untuk
perdamaian karena tidak mempunyai ambisi politik. Tetapi dengan mendukung
Kusumawardhani berarti Kakang menghendaki sang Ratu tetap berkuasa, padahal
seluruh rakyat sudah muak dengan pemerintahannya yang banyak menderita
kegagalan," cela Dumilah.
Curanggana
mendesah. Apa yang dikatakan Dumilah benar.
"Aku
yakin, Ratu akan melarangku mengundurkan diri begitu mendengar alasanku yang
inin bersikap tak memihak. Bahkan salah-salah, itu cuma alasan agar aku cuci
tangan, atau yang paling ekstrim aku diangap mengritik kepemimpinan Kusumawardhani."
41"Jihad
yang agung adalah mengatakan apa yang benar di depan penguasa yang zalim,
Suamiku ..!"
Curanggana
mengangguk. Ia seperti banyak pertimbangan.
"Mbaky
Dyah Hatin, istri pertamamu?" pancing Dumilah.
Curanggana
menggeleng tidak mengerti.
"Ceraikanlah
dia. Meski dia seorang perempuan yang baik dan aku tidak pernah berselisih
paham dengannya, bukankah dia tetap berniat hidup dengan kehinduannya, dan gaya
hidup kelas atas di ibukota? Namun demi menjaga kemurnian pekerjaanmu yang
ingin mengakhiri perang saudara di Majapahit melalui jasa baikmu sebagai
muslim, sebaiknya kau melupakan dia. Berikanlah rumah di ibukota, bahkan puri
Wirabuana ini kepadanya," kata Dumilah lemah lembut.
Curanggana
mendongakkan kepala. "Tidak! Puri ini adalah penghargaan Ratu atas hasil
kerja kerasku."
"Majapahit
itu penjajah, Suamiku...Aku khawatir kau akan sia-sia di mata muslim karena kau
bersekutu dengan Kusumawardhani, pun di mata Kusumawardhani kau dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Terlebih kelompok Tuban dan
Gresik...kau akan dianggap mata-mata muslim dan penguasa."
Wajah
Curanggana memerah. Jemari Dumilah membelai kepala suaminya yang bingung.
"Dyah
Hatin adalah istri yang baik meski dia tidak tertarik memeluk Islam. Dia pasti
tidak mau kehilangan seluruh fasilitas hidup sebagai istri seorang laksamana
istana," kelunya. "Ambil resiko terkecil. Kita bisa hidup sederhana
apa adanya. Lahan pertanian di gunung Welirang ini cukup sebagai nafkah."
Curanggana
menggerakkan kepala tanda tidak setuju. "Situasinya tidak semudah itu,
Dinda Dumilah. Kaukira Kusumawardhani akan begitu saja meluluskan permintaanku
di saat Angkatan Bersenjata Majapahit sedang terjepit?"
Kali ini
wajah Dumilah yang berubah sendu. Ia membenarkan perkataan sang suami. Prajurit
macam apa yang menolak menunaikan tugas negara di kala musuh kerap menyerang
tiba-tiba?
"Kangmas
Curanggana, sebaiknya Kakang tidak membebani diri dengan pikiran dan perasaan
yang belum tentu benar. Cobalah utarakan baik-baik...Hati manusia tak ada yang
tahu, bukan?" hiburnya seperti bermain dadu.
Curanggana
mengetuk-ngetuk tempat duduknya dengan jari telunjuk. Ada ragu dan dorongan
kuat untuk mengakhiri konflik batin ini selekasnya.
Majapahit di
akhir abad ke-14 terancam runtuh. Kerajaan terbesar se-Asia Tenggara ini
terlibat dalam peperangan saudara penuh nafsu dan semrawut. Para pemimpin
Majapahit mengidap penyakit gila hormat. Akar budaya Jawa nan adiluhung
diselewengkan tanpa malu. Tanpa ewuh-pekewuh sedikut pun, penggerogotan harta
kekayaan negara melalui gaya hidup tinggi para pemimpin dan keluarganya
dipertontonkan di depan rakyat yang semakin sengsara dan tidak puas.
Sedikit demi
sedikit, pihak keluarga kerajaan dan para bangsawan pesisir seperti Tuban dan
Gresik memberontak. Majapahit mati-matian mempertahankan kota pelabuhan itu.
Jika tidak, di mana lagi mereka akan menguasai sendi perdagangan negeri di
Pulau Jawa?
Konflik ini
diperparah dengan perebutan kekuasaan sesama pemimpin di istana. Rakyat
bertanya-tanya, apa yang sedang diperjuangkan para pemimpin mereka sebenarnya?
Perasaan hanya 'numpang hidup' di sebuah negeri yang kacau terus menggejala di
kalangan jelata.
Sudah
diduga, surat pengunduran diri Curanggana ditolak! Majapahit masih memerlukan
jasa Curanggana.
"Kau
gila! Para priyayi asal Tuban dan Gresik terus menekan kita. Belum lagi gerilya
Adipati Blambangan, atau bahkan Bhre Wirabhumi, kau malah mengundurkan diri!
cela Pikatan Laya.
"Aku
muslim! Aku lebih suka kalian berdamai daripada terus mendkukung pemimpin yang
..."
"Mereka
adalah keturunan Dewa!" potong Pikatan Laya cepat. Matanya melotot.
"Kau boleh menjadi muslim tapi kau dilarang menghina kepercayaan
orang-orang Hindu Jawa bahwa para raja merupakan titisan Dewa," katanya
agak melunak.
Curanggana
mendesah sesal. "Kalau begitu, mengapa tidak kaubiarkan saja diriku hidup
damai dan tak mencampuri persengketaan kalian."
Pikatan Laya
tersenyum tawar. "Nyawamu sudah tergadai untuk kejayaan negeri."
"Tidak!
Hidup matiku hanya untuk Allah!" Curanggana membantah agak keras. Dengan
susah payah ia menghimpun keberanian yang berserak. "Mulai besok, aku
tidak akan lagi bekerja di istana." katanya sambil berlalu.
"Janan
nekat! Negara akan menyatakan kau penjahat!"
Tungkai kaki
Curanggana seperti hendak patah.
Belum sempat
kemuramannya berakhir, ia melihat beberapa tentara mengumpulkan kayu-kayu bakar
dan tempayan kuningan besar. Benda-benda itu diangkut kuda-kuda menuju
alun-alun kota. Curanggana segara tahu, sebuah eksekusi mati akan dilaksanakan.
"Buat
apa itu semua? Sepengetahuanku, para tawanan perang akan dihukum pancung atau
disandera untuk dicari denda."
Pikatan Laya
menepuk bahu. "Jangan bodoh, hukuman rebus ini segera dijatuhkan kepada
para pelacur yang kami tangkap di wilayah kekuasaan Tuban!"
"Apa?"
"Hukum harus ditegakkan!"
"Aku
tahu.Tetapi perempuan itu belum tentu penjual diri.Kalau pun iya, mereka
melayani tentara Majapahit dengan terpaksa karena desakan perut atau di bawah
ancaman pedang. Yang aku tahu, banyak tentara Majapahit memperkosa gadis-gadis
di desa taklukan dan meninggalkan mereka seperti orang gila.Kusumawardhani
tahu, tetapi ia lebih suka menutup aib ini demi kegemilangan nama kerajaan.
Merekalah yang seharusnya direbus di alun-alun!" Curanggana memberikan
alasan. Sebelum Pikatan Laya menimpali, mereka mendengar sorak sorai penduduk
berlari-lari membawa batu. Gemuruhnya semakin keras berbarengan dengan
datangnya kereta kuda berkerangkeng bambu yang di dalamnya terikat tiga
perempuan dengan perutnya yang nampak membesar.
"Rebus!
Hukum mati lonte!" caci maki penduduk membabi buta mengikuti para pejabat
yang duduk duduk ongkang-ongkang kaki di atas singgasana seakan adegan ini
sudah biasa.
"Masya
Allah. Kalian memperlakukan perempuan wilayah musuh seperti ini? Tidak dapat
suaminya, kalian menghancurkan hidup keluarganya! Lepaskan mereka! teriak
Curanggana sambil mengibaskan pedang.
Melihat
seorang pejabat berpangkat tinggi menenteng pedang kerajaan, kontan para
pengendara gelagapan dan ketakutan. Penduduk bungkam meski api sudah terlanjur
dinyalakan. Wajah ketiga perempuan ini pucat pasi.
"Aku
bukan lonte, Tuan! Tentara-tentara Majaphit itu yang memperkosa hamba
bergiliran! Kepada siapa hamba harus mengadu tentang ayah si jabang bayi
ini?"
"Curanggana,
apa yang kaulakukan?" teriak Pikatan Laya kaget. "Mereka itu bondon!
Buktinya mereka hamil tapi menyebut ayah si bayi saja tidak tahu!"
Curanggana
mengingatkan, "Hati-hati dengan ucapanmu, Pikatan Laya!"
"KIta
tak punya banyak waktu! Orang-orang Tuban dan Gresik harus tahu resikonya jika
ingin melepaskan diri dari negeri kesatuan Majapahit. Haram itu! Kalau
pemberontaknya tidak atau belum bisa dikalahkan, ya sudah, perkosa saja
perempuannya, jarah harta benda, keruk kekayaan alam, bunuhi dan teror
warganya, biar Angkatan Bersenjata Majapahit selalu mempunyai peran dan menjadi
pahlawan di mata rakyat, biar mereka tahu harga yang harus dibayar jika
menentang penguasa yang sah!" Pikatan Laya beringas.
Curanggana
tidak kalah murkanya. Pangkat Pikatan Laya lebih rendah dua tingkat, tetapi
omongannya seperti sudah tidak punya sopan santun. "Patuhi aku,
pemimpinmu! Kelakuanmu sama saja dengan penjahat perang! Dengar baik-baik,
Pikatan Laya, walau bagaimanapun aku ini seorang muslim. Dan kalian percaya
pada kredibiltas kaum muslim. Keputusanku membebaskan perempaun malang ini
adalah demi perdamaian dan keadilan semata."
"Bohong!
Kau bersimpati kepada musuh! Buktinya kau mau mengundurkan diri dari kancah
Perang Paregreg!" hina Pikatan Laya terpaksa.
Pening sudah
kepala Curanggana. Ketakutannya akan simalakama semakin menjadi-jadi.
"Subhanallah! Kau tidak layak menyandang gelar ksatria! Kau
keterlaluan!" bentak Curanggana memekakkan telinga.
Pikatan Laya
tersudut. Di hadapan umum ini ia masih menyisakan malu. Dengan penuh ingin
tahu, tatapan Curanggana diarahkan kepada ketiga perempuan Tuban yang terus sesunggukan.
"Bebaskan
kami. Bebaskan kami, kami mau pulang, biarlah kami menanggung malu membesarkan
anak tanpa ayah. Warga kami tidak pernah lupa bahwa pada suatu malam dalam
sebuah penyerbuan tentara Majapahit melakukan penistaan terbesar dalam hidup
kami karena gagal menangkap para pejuang."
Curanggana
merasa ditampara dan malu. Namun, rasa kehilangan muka kian menyakitkan hati,
manakala sebuah suara mengejutkan semuanya.
"Atas
nama pemerintah kerajaan Majapahit, kalian dijatuhi hukuman rebut! Kalian lonte!"
"Menteri!
teriak penduduk sambil menyembah-nyembah.
"Tidak!
Kami tidak bersalah! suara parau tawanan itu menyayat hati.
Belum sempat
Curanggana bergerak, kedua tangannya sudah diringkus.
"Kau!
Kau tidak boleh berlaku semena-mena terhadap rakyatmu."
"Rakyat?
Rakyat yang mana? Rakyat Majapahit dididik manut, tidak pernah protes karena
beras sudah swasembada, dan setia kepada para pemimpin. Lidah mereka terjaga
jika berbicara dengan para rajanya, mereka memelihara segan dan hormat dalam
jiwanya," potong Menteri Kerajaan sinis.
Curanggana
menitikkan air mata tidak tega.
"Tolong
kami, Gusti Muslim! Tolong kami, Gusti Muslim!"
Perempuan-perempuan
malang itu dipaksa menaiki tangga.
"Hentikan!"
teriak Curanggana putus asa.
Terlambat!
Menteri Kerajaan yang diyakini mewarisi darah Tuhan oleh rakya Majapahit
menatap dingin eksekusi yang dianggapnya sebagai simbol kemenangan terhadap
wilaya-wilayah separatis.
"Aaa...!
Aaa...!" teriak perempuan-perempuan malang itu yang sengaja disuntrungkan
untuk mengakhiri hidupnya. Tubuh mereka berkelojotan, menggelembung, lalu
melepuh bersama isi perut dan keluarnya janin-janin dalam kubangan air panas
yang sekejap saja berubah menjadi merah darah.
"Subhanallah!
Allahu Akbar! Tidak! Kalian binatang! Kalian pemimpin keji! teriak Curanggana
sambil mencium tanah, tak tahan menyaksikan para penduduk dipaksa turut
menyaksikan dan melempari tempayan dengan bebatuan.
"Pikirkan
baik-baik keputusan mengundurkan diri itu, Curanggana! Kau adalah prajurit
Majapahit! Jangan sampai Kerajaan kehilangan kesabaran menghadapimu! ungkap
pejabat kerajaan itu angkuh sambil menghela kuda.
"Maafkan
aku," kata Pikatan Laya bergetar mencoba bersimpati. "Orang-orang
yang mencoba melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit harus diberangus. Kita
tidak pernah melakukan kejahatan. Majapahit adalah negara kesatuan. Biarlah
Negara yang akan menutup aib para prajurit dan pejabat. Negara akan membangun
kembali Tuban dan harapan rakyat Tuban melunak. Kita akan mengadakan
dialog-dialog dengan wilayah-wilayah yang tidak puas dengan pemerintahan
Kusumawardhani. Sebab jika mereka lepas, Majapahit akan menjadi negara
miskin!"
"Kalian
munafi! Kalian memerintah tanpa nurani! Kalian menghancurkan negeri kalian
sendiri tanpa harus menunggu musuh menyerang. Kalian menciptakan petaka! Gunung
Merapi meletus, banjir bandang melanda, kalian semakin jauh dari pengamalan
ajaran agama kalian!" kritik Curanggana keras. Namun suaranya dianggap
seonggok gema di tenhah hiruk-pikuk yang menyakitkan. Seluruh soca memandang
Curanggana dengan acuh tak acuh, bahkan saat kakinya dilangkahkan pulang.
"Minggir!"
katanya sambil mendorong bahu Pikatan Laya. Pikatan Laya mengalah. Saat kedua
teman itu berpandangan, masing-masing dapat menyaksikan bagaimana bola-bola
mata mereka berair membasah, tetapi penyebabnya berbeda.
"ya
Allah Ya Rabbi ... tentara Kusumawardhani menuju kemari" teriak Dumilah
agak panik.
Roro Lastri
Sumira Dumilah berusaha menenangkan diri sebab ia yakin posisinya sebagai
muslim akan dipercaya pihak Kusumawardhani maupun bangsawan pesisir.
"Ada
apa, Pikatan Laya?" tanya Dumilah heran menyaksikan anak buah suaminya
datang dengan beberapa orang pengawal.
Piktan Laya
nampak gugup. Dari tangannya tersetlip surat dari bahan kulit kayu berikat akar.
"Akan
Negara tugaskan ke mana Kangmas Curanggana?" tanya Dumilah mencium firasat
buruk.
Pikatan Laya
menggeleng. "Pemerintah memanggilnya atas insiden kemarin," katanya
lemah.
"Dia
hanya menyuarakan hati nuraninya. Apakah dia salah?" ungkap Dumilah
semakin penasaran.
"Dengar,
kami adalah keluarga penguasa Majapahit. Negara tidak boleh mencelakakan
laksamana setangguh suamiku!" protes Dumilah terasa menekan.
Curanggana
yang mendengar dan melihat ribut-ribut segera keluar dengan pakaian lengkap.
"Tak
usah cemas, Dinda. Tugas Negara mendadak sudah biasa. Aku berangkat!"
katanya singkat sambil menaiki kuda.
"Kangmas,
ini jebakan!" kata Dumilah memperingatkan. "Kalian mencoba-coba
menghalangi rencana suamiku untuk mengundurkan diri dari pekerjaanya. Benar,
bukan? tanya Dumilah memancing.
Pikatan Laya
terdiam, sementara jemari Curanggana menutup rapat bibirnya pertanda agar
istrinya diam.
"Jangan
bersedih, Dinda Dumilah. Kita berjumpa karena Allah maka berpisah pun karena
Allah ..."
Kata-kata
suaminya menyejukkan meski sebenaranya terasa pedih. Lambat laun ia menyaksikan
langkah kuda Curanggana yang dijaga rapat para pengawal Kusumawardhani dengan
tetesan air mata dalam diam. lenyap dari cakrawala bukit.
Tujuh hari,
empat belas hari, 21 hari bahkan hingga 120 hari, tanda-tanda Curanggana akan
pulang semakin sirna.
Tujuh hari,
empat belas hari, 21 hari bahkan hingga 120 hari, tanda-tanda Curanggana akan
pulang semakin sirna. Bahkan Dumilah kerap mendengar bagaimana
serangan-serangan priyayi pesisir, dan semua tokoh wilayah yang sduah sangat
kecewa pada pemerintahan pusat Majapahit bertambah gencar. Yang menyayat,
gelombang pengungsi yang nota bene adalah rakyat Majapahit sendiri, yang tidak
menghendaki perang, dianggap dosa yang harus ditanggung sendiri oleh kawula.
“Negara
macam apa ini? Apakah suamiku dilibatkan di seluruh pertempuran?” keluh Dumilah
sedih. “Pidato para pejabat tak lebih dari hari-hari omong kosong. Kepada
rakyat dianjurkan agar kian mendekatkan diri kepada Tuhan atas segala bencana
dan cobaan yang diklaim sebagai ujian bagi orang yang percaya pada
kebesaran-Nya. Padahal sumber bencana di Majapahit adalah mental para pemimpin
yang mementingkan dunia,” kata Dumilah membatin.
Dumilah
tidak mempunyai kekuasaan mengubah negara amburadul ini. Apalah artinya peran
sebagai garwa anggara dari seorang ksatria bagi negara seluas Majapahit?
Sia-sia sudah seluruh surat, uang, utusan, bahkan saat berkunjung ke ibukota
dan menginap di kediaman Dyah Hatin guna mencari suaminya. Nihil! Semua orang
menggelengkan kepala jika ditanya ada di mana, atau siapakah yang tahu nasib
Curanggana? Ia berusaha menyingsingkan dugaan orang yang mengatakan jika
suaminya termasuk kelompok orang hilang.
“Mustahil!
Tidak mungkin negara menghilangkan nyawa
Rakyatnya
sendiri. Curanggana orang baik. Berbeda pendapat adalah hal biasa dalam
mengurus kerajaan. Tapi apakah benar pendapatku ini di hadapan pemimpin yang
sudah terputus syaraf malu dan risihnya? Yang membuatku lebih aneh, Pikatan
Laya sendiri bahkan tidak mengetahui keberadaan Curanggana,” geram Dumilah
terpukul.
Hatinya
semakin hancur manakala akhir-akhir ini, berita-berita buruk dari ibukota kian
santer disebarluaskan para pamongpraja, berikut uar-uar pelepah kulit yang
disayat serta dipaku di tembok ataupun di pepohonan. Isi beritanya sangat
menyedihkan:
“Dyah Hatin,
janda sekaligus istri pertama Mahesa Curanggana, mendadak gila manakala
pengadilan Majapahit menyita seluruh harta kekayaan Curanggana di Kediri, dan
memangkas habis seluruh gelar dan fasilitas utama sebagai pejabat negara
disebabkan pengunduran diri Curanggana sebagai perwira kerajaan. Negara hanya
menyisakan Wirabuana sebagai penghormatan kebaikan Gusti Ratu.”
Dyah Hatin
tidak bisa menerima sebuah rumah berukuran sepetak sawah. Air mata Dumilah
menetes deras. Seperti ranai-ranai saja seluruh daya yang dikerahkan selam ini,
berbenturan dengan kekuasaan penguasa yang laim namun dengan penampilan penuh
pesona dan kebaikan sepuhan.
Malam itu,
kekacauan Majapahit telah menyentuh sekujur gerak urat nadi setiap rakyatnya.
Dari atas puri, Dumilah terbiasa menyaksikan gelombang penduduk berlari
mengungsi.
“Apakah
karena aku seorang muslim? Apakah karaena penguasa Majapahit masih bisa
menghargai Mahagotra Muslim Pratama ing Majapahit hingga kami dibiarkan hidup
damai?” tanya hatinya kemrusuh tak mengerti.
Belum tuntas
kelopak hendak menutup mata, telinganya dikejutkan suara riuh rendah yang
memekakkan sekaligus menyayat pedih.
“Gusti
Dumilah! Tolong kami! Selamatkan kami! Garwa Anggara Curanggana, lihatlah kami!
Bukakan gerbang puri ini! Jangan biarkan mereka mengejar! Kami hendak dibunuh
tentara Kusumawardhani hanya karena wilayah kami termasuk wilayah pendukung
Blambangan!” teriak orang ramai-ramai parau mencekam sambil menggedor-gedor,
atau memukul-mukul pintu jati bertulang besi dengan alat apa pun berharap agar
segera dibuka.
Dumilah
tidak membuang-buang waktu, sebab ia pun melihat jelas iringan-iringan obor
tentara Kusumawardhani yang sangat bernafsu membabat nyawa.
Begitu pintu
gerbang dibuka, “Aa..! Aa..! Tolong, Gusti! Ampuun! Teriak penduduk yang semakin panik.
Setiap derap
langkah akan dihitung mencabut nyawa atau tidak. Tak urung meski pintu gerbang
berhasil ditutup kembali, beberapa di antara mereka masuk dalam keadaan
tersungkur terkena panah atau tombak.
“Buka! Atas
nama pemerintah Kusumawardhani, buka gerbangmu ini, Garwa Anggara Curanggana!”
teriak Pikatan Laya emosi.
Dumilah
menampakkan wajah di atas puri. “Masuklah kalian sebagai tamu. Aku hanya mau
menerima tiga orang!”
Tangannya
memerintahkan para penduduk untuk berlindung di balik pembatas ruang kayu jati
berukiran Jawa. Sayang, para anggota serdadu sama sekali tidak mempunya adab.
Sambil berkacak pinggang, kecuali Pikatan Laya, salah seorang di antara merek
berkata, “Jangan pernah mencampuri urusan Majapahit, Dumilah!”
“Siapa dia, Pikatan Laya? Sepertinya dia tidak
mempunyai pengetahuan secuil pun tentang jasa-jasa orang Islam mendamaikan
kalian!”sergah Dumilah tidak tanggung-tanggung.
Pikatan Laya
maklum. Ia memandang tajam bola mata prajurit tadi dengan tatapan menghardik.
“Kami hendak
menangkap pemberontak!”
“Dusta! Kami
bukan pemberontak. Kami rakyat biasa yang menghindari Perang Paregreg! Teriak
warga berlomba-lomba.
Dumilah
merasa menang.
“Hati-hati,
Pikatan Laya! Mereka adalah rakyat Majapahit biasa! Yang mereka butuhkan adalah
kedamaian hidup, pemimpin welas asih, tidak haus kekuasaan, apalagi
berbasa-basi kepada rakyat. Ratu kalian mengatakan prihatin, tetapi tetap saja
kebijaksanaan pemerintahannya mencekik. Akibat perang, rakyat sampai harus
makan keong, labu busuk, bongkol batang
pisang, bahkan nasi basi yang dikeringkan! Seluruh rakyat tahu kalau jajaran
punggawa mempunyai tanah luas dan perbekalan di gudang sejaibun. Kalian
berimpati kepada rakyat sementara perut kalian kenyang lebih dulu! Kalian
menitikkan air mata di depan umum padahal itu hanya sebuah cara mencari
dukungan! Kalian tak ada bedanya dengan leluhur kalian, Ken Arok! Kalian tahu
dia seorang penjahat tetapi kalian hormati dalam candi dan menggelarinya Sri
Rajasa! Padahal tangannya berlumur darah Gandring, Ametung dan Kebo Ijo. Bahkan
kehidupan pribadi Ken Arok memalukan! Juga Ken Dedes dan Ken Umang. Perempuan Jawa
macam apa yang mau menikah dengan pembunuh suaminya? Mereka melahirkan
anak-anak yang direcoki dendam dan kebanggaan singgasana! Tak peduli nasib
rakyat yang kelaparan atau setengah usia hidupnya tak mengalami kemajuan
berarti dari segi harta benda, pendidikan, dan keimanan! Semestinya di masa
sulit sekarang, kalianlah yang harus lebih dulu mengantri makanan dan bahan
bakar di pasaran. Kalau anggaran negara habis untuk berperang maka harus kalian
dulu yang rumahnya gelandangan. Jangan pernah membuat sengsara rakyat. Bodohnya
lagi, sekarang kalian berperang dengan membawa-bawa nama rakyat, tetapi
nyatanya kalian sedang mempertahankan jabatan dan gelar di pundak! Umpat Dumilah
panjang lebar.
Para
prajurit pendukung Kusumawardhani tertegun malu! Kalau saja yang berbicara
seorang Hindu, mereka akan langsung menebasnya. Tetapi, orang yang berkata
demikian adalah seorang Islam, agama baru dengan kesantunan luhur yang tak
pernah menimbulkan maslah ataupun reputasi buruk sebagai penjajah.
“Tak
sepantasnya kau melindungi para pengkhianat apalagi mengritik pemerintahan
Gusti Kanjeng Ratu Kusumawardhani dan Wiramawardhana!” teriak seorang prajurit
yang telah lupa pada hardikan Pikatan Laya seraya mencabut sebilah keris.
“Aku
mengatakan yang haq di depan orang yang zhalim. Dan jangan lupa, meskipun kami
mahagotra muslim namun kami juga merupakan rakyat Majapahit. Siapa pun yang
masuk ke dalam puriku maka dia adalah tamu!” tegas Dumilah berani.
Pikatan Laya
merasa segan. Ia teringat para ulama pernah menyelamatkan gudang beras Kerajaan
ketika dibakara para perampok dalam suatu kerusuhan masal dulu. Bersama-sama
menyingsingkan lengan, mengumpulkan air dari sungai, meski tak sempat mengejar para
penjahat. Pikatan Laya menghela napas. Ia harus mengendalikan anggota
pasukannya.
“Sarungkan
kerismu atau akan aku laporkan kau menentang
Ratu!” ancam Pikatan Laya.
“Rayi
Pikatan Laya, kau harus melihaat dengan nuranimu, apakah orang-orang seperti ini
yang kalian sebut pengkhianat Kusumawardhani?” tantang Dumilah. Jemarainya
menunjuk sekumpulan nenek-kakek, para orang tua, perempuan dan anak-anaknya
yang berjumlah sekitar dua ratus orang lebih berdesak-desakan, dan nampak
sangat ketakutan bersembunyi di balik jendela ukir Jawa sebagai pembatas ruang.
Pikatan Laya
membenarkan. Mereka hanyalah manusia-manusia yang ingin hidup damai dan mencari
perlindungan, akunya dalam hati. Ada anggukan yang dapat ditangkap jelas oleh
Dumilah.
Dumilah
tersenyum. “Aku meminta perwakilan di antara kalian kemari!” perintah Dumilah
berwibawa. Orang-orang itu saling menunjuk. Namun akhirnya sepasang suami istri
yang nampaknya seperti kuwu desa mendekat.
“Sekarang
saat tepat untuk mengutarakan pendapatmu di hadapan para wakulmu di Kerajaan!”
kata Dumilah. “Katakan apa mau kalian sebagai rakyat?”
“Kami ingin
Majapahit tetap damai,tetap utuh dan tak ada perang saudara. Kami ingin hidup
tenteram tanpa pertikaian.
Jangan buat
rakyat sengsara. Kami sedih menyaksikan pemimpin kami bertengkar, tetapi juga
muak melihat pemimpin-pemimpin yang tidak punya malu berbicara, berbohong dan
tidak mau mundur. Mengajari moral mulia padahal perilaku mereka penuh
dosa. Mengajarkan hidup sederhana
padahal anak istrinya biss bertamasya
atau berbelanja ke Campa, Syangka, Maruta, atau Tumasik. Mengorbarkan semangat
hidup sahaja padahal kekayaan emasnya terkumpul dari Negeri Malaya hingga
Madagaskar. Llu apakah salah kami? Kami tidak ingin ribut-ribut. Sumber
kekacauan Majapahit adalah nafsu kalian. Syetan berwujud manusia!” teriak kakek
itu menggetarkan dinding puri.
Pikatan Laya
terpaku. Kalau dulu ia merasa wajib menghukum mati tiga perempuan Tuban, maka
sekarang ia seperti singa ompong yang kehilangan nyali.
“Pulanglah,
Pikatan Laya. Biarkan rakyat dari wilayah yang kau sebut musuh menyelamatkan
diri mencari perlindungan.”
Dada Pikatan
Laya bergetar hebat, nuraninya memberontak lebih kuat daripada kemamuan bermain
pedang. Tanpa banyak cakap ia membalikkan badan dan memerintahkan seluruh
pesukannya mudur.
“Aku
menjamin keamanan pengungsian ini, Dumilah. Taruhannya adalah kepalaku!” tegas
Pikatan Laya tetapi wajahnya tak dipalingkan seujung kuku pun ke arah Dumilah,
hingga berlalu seorah tidak pernah terjadi apa-apa.
Seluruh
orang menghela napas lega.
“Gusti
Muslim,” teriak mereka sambil menyembah-nyembah mengucapkan beribu terima
kasih, menciumi tangan dan kaki Dumilah bergantian. Dumilah terharu, tetapi ia
merasa sia-sia menggagalkan penghormatan menyembah manusia yang dalam ajaran
Islam adalah sebuah kesalahan besar.
“Kami adalah rakyat wilayah bergolak karena
para pemuda kami berjuang hendak memisahkan diri dari Majapahit. Sekarang kami
semua akan meneruskan pengungsian ini,” kata mereka seolah memohon pendapat ke
mana kawasan tujuan yang aman.
“Pergilah
kalian ke timur pulau Jawa. Di sana kalian akan menemukan selat. Berlayarlah
... Hiduplah kalian di pulau timur itu. Aku mendengar, banyak seniman istana
melarikan diri ke pulau seribu candi. Di sana mereka dapat memelihara adat
istiadat serta ajaran Hindu dengan baik, “ kata Dumilah bergetar.
Seluruh mata
terharu, tak menyangka seorang perempuan muslim menyarankan jalan keluar yang
sangat adil, bahkan tak mempengaruhi apalagi mencampuri sedikit pun tentang
gerbang keimanan mereka.
“Oh, Dewi
Dumilah ... Para dewa telah mengutus kebaikanmu untuk kami. Kami mempercayai
keluhuran budi pekertimu. Tetapi bagaimanapun juga, kami ini adalah orang-orang
Jawa. Biarlah sebagian pelarian Perang Paregreg mengungsi ke Bali, tetapi kami
tetap ingin hidup dan mati di Tanah Jawa. Namun sungguh, kami tidak tahu harus
pergi ke mana. Tinggal bersamamu justru akan mempersulit keudukanmu,” kata
seorang perempuan baya yang kerepotan menggembol bakul kain batiknya sekaligus
menggendong bayinya yang terus menerus menangis.
Jantung
Dumilah serasa diserabut bara. Pedihnya menusuk hingga kepala. Sekarang, ia
berdiri sebagai juru damai bagi dua
Kelompok
Majapahit yang terpecah. Di depannya, bergerombol lebih ari 200 orang yang
mencari selamat, korban dari kenistaan nafsu para pemimpin Majapahit yang
mengumbar ambisi Ken Arok. Tiba-tiba ia teringat kisah yang pernah disampaikan
suaminya tentang telaga Tiga Warna yang sangat indah di puncak sebuah gunung
yang dinginnya menyejukkan, dan keindahan telaga rineka warnanya menakjubkan bila
ditimpa surya.
“Kalau
keinginan kalian begitu, mengungsilah ke belahan timur kerajaan Majapahit.
Dakilah jengkal demi jengkal tanah Gunung Bromo. Hiduplah kalian dengan iklim
dingin. Semoga ketentramannya menjadikan kalian orang-orang yang tetap
mencintai perdamaian. Pergilah kalian ke Tengger.”
Beberapa ibu
menitikkan air mata penuh haru. Gunung itu sangat jauh dari puri ini. Tetapi
hanya itulah pilihan paling baik di antara yang paling sulit. Hidup dan mati di
Tanah Jawa sebagai orang Jawa, dan bertanggung jawab memelihara kultur Hindu
Jawa.
“Gusti
Dumilah, terima kasih! Terima kasih!” teriak orang-orang yang trenyuh dan
langsung menciumi kembali tangan Dumilah seakan tak pernah puas memberi
penghormatan.
Setelah
shalat Subuh, Dumilah menghibahkan ratusan kain batik bercarik-carik kepada
pengungsi, lalu mereka melilitkan ke sekujur tubuh. Ditemani dua orang abdi
puri, Dumilah mengantar iring-iringan panjang penduduk yang membawa harta benda
tak seberapa, termasuk hewan-hewan ternak dan pedati berisi bahan makanan
hingga perbatasan.
“Selamat
jalan, Sudaraku,” ucap Dumilah melambaikan tangan.
Ada gurat
tidak tega dan tatapan membasah di mata penduduk saat dilepas dalam suasana
mengharukan. Entah angin apa yang membenturkan aroma senyap ke kepala Dumilah,
perempuan malang itu secara tiba-tiba bertanya,
“Tunggu,
adakah di antara kalian mengetahui di mana dan bagimana nasib suamiku Mahesa
Curanggana?” tanyanya memelals.
Seluruh
kepala menggeleng lesu, bersimpati, dan membalas arah paras Dumilah dengan
penuh luka.
“Gusti
Dumilah, sebaiknya kau mengikhlaskan. Percuma saja. Jangan pernah mengharap
suamimu akan kembali. Jangan pernah, “ jawab penduduk dengan berat hati.
Air mata
Dumilah berjatuhan bak hujan tanpa suara. Ia menggigit bibir, sementara kedua
tangannya terus melambai kepada iring-iringan obor yang semakin redup hingga
fajar akan memadamkannya.
Sepanjang
hidup, garwa Anggara Curanggana masih berharap dalam doa jia suatu hari sang
suami pulang dan membuka pintu gerbang. Hari-harinya diisi dengan menghiasi taman,
membersihkan puri, dan menyenandungkan kalam-kalam Ilahi menyambut pujaan hati
kelak menghampiri jiwa raganya. Hayat Dumilah turut menyaksikan dengan hati
pedih laksana disodet ujung belati. Imperium Majapahit yang dibangun para raja
Jawa ratusan tahun akhirnya rontok seperti kerak lumut yang mengelupas garing
begitu Raja Wikramawardhana meninggal dunia pada tahun 1429 Masehi. Sang Raja
mati dengan hujan caci maka dan hujatan rakyaat setelah separuh usianya
dipenuhi dengan kebiasaan sembah puja dari para pendukungnya. Menjelang gelar
mendiang akan diraih, ia malah dijauhi para sekutu yang dulu selalu datang,
hanya untuk memanfaatkan kekuasaan karena sekarang ia dipandang tak lelbih
sebagai aib besar. Cukup mereka yang mempunyai perasaan utang budi yang tetap
setia kepadanya dengan menciptakan lagu, puisi, serta arca sebagai simbol orang
berjasa.
“Hanya
dengan persamaan akidah dan menjalankan syariat Islam saja, aku yakin negeri
ini akan kembali bersatu kelak,” gumam Dumilah seraya membayangkan bila suatu
ketika sebuah kerajaan Islam akan berdiri dan menggantikan kekuasaan Majapahit.
Keterharuannya membuncah melalui air mata lalu jatuh ke sehelai daun jatai
kuning kering yang ia pungut.
Atas
perintah Dumilah untuk mengenang syahitnya sang suami, ia memerintahkan seorang
pemahat menorehkan pisau tempa ke dinding bagu pintu gerbang bertuliskan:
Sampun dalem
tenggo panjenengan
Ingkang ical
sadangunipun kawula gesang
Ingkang
katah raos bingah
Boten nate
kraos keicalan sededik kemawon
Sebab kawula
pitados
Menawi
panjenengan tansah gesang langgeng
Soho mangayu
bagyo wonten ngarsanipun Gusti Allah
Setiap hari
Dumilah membacanya dengan penuh harap. Naluri wanitanya tetaplah terluka, namun
ia berusaha keras menyembunyikan. Hingga sebatang kayu jati berwarna kuning gading
membantu menyangga tubuhnya, dan rambut putih kerap menyembul dari kerudung
rapatnya. Ia masih diberi kesempatan Allah untuk mendengar dan menyaksikan
dengan dada bergetar hebat, di bekas wilayah Majapahit, yang pemimpin dan
mayoritas rakyatnya sudah berbulat tekad mengikrarkan syahadat, dengan penuh
kebanggaan mereka mengibarkan sebuah bandana besar bertuliskan aksara Arab,
Allah, menandai berdirinya sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa pada
tahun 1500 Masehi. Demak ...!
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia
Sudah saya
tunggu anda
Yang hilang
selama saya hidup
yang banyak
merasa bahagia
tidak pernah
merasa kehilangan sedikit pun
sebab saya
percaya
jika anda
senantiasa hidup abadi
serta ikut
berbahagia, ikut bersyukur kepada Tuhan Allah
diketik ulang
oleh Agus Ahmad Hidayat pada bulan Desember 2022
judul: Garwa
Anggara Curanggana
penulis: Agustrijanto
Bersumber
kumpulan cerita pendek Lingkar Pena