Senin, 26 Agustus 2019

Membedakan Teks Cerita Sejarah dan Teks Sejarah

Cermatilah  teks berikut! Temukan ciri khas pada kedua teks itu!

Apa perbedaan  teks  cerita sejarah dan teks sejarah ?

Teks 1

Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda. Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya.
Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering  mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".
Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda.
Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo. Saran-saran Diponegoro tak digubris.

Teks 2
Ontowiryo, anak laki sepuluh tahun nan cakep ini- yang dikenal rakyat sekitar Tegalrejo sebagai Seh Ngabdulrohim dan kelak terkenal antero Nusantara sebagai Pangeran Diponegori-berlaki-lari keder di pematang sawah Mantra, setelah menyeberangi Kali Winongo, menuju ke puri tempat tinggal nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengku Buwono I yang biasa disebut Sultan Swargi.
Dari kejauhan Ratu Ageng yang mengasuh Ontowiryo sejak bayi, sudah melihat cucu-cicitnya berlari-lari begitu. Dalam caranya berlari, sang nenek menyimpulkan, bahwa ada hal istimewa yang pasti akan diperkatakan oleh cucunya itu.
Setiba di rumah, Ontowiryo mengempas badan, ndeprok, terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuh. Dan melihat itu, Ratu Ageng tertawa, juga merengut, merasa lucu.
Kata Ratu Ageng,"Kamu kenapa,Wir? Kailmu mana?Kok Kamu terbirit-birit seperti baru melihat setan.”
"Memang," sahut Ontowiryo bersemangat untuk meyakinkan nenek buyutnya."Aku memang baru melihat setan,Nek."
Ratu Ageng tertawa. Dalam hatinya berlangsung rasa maklum, bahwa anak-anak seusia Ontowiryo yang baru berusia sepuluh tahun pada 1795 ini, lumrah dibayang-bayangi oleh berbagai fantasi. Oleh karena itu berkata dia mencandai cucunya,"O ya?Kamu melihat setan ya?"
Ontowiryo merasa diremehkan. Katanya tawar namun tetap bersemangat untuk meyakinkan,"Kok Nenek tidak percaya?"
"Tidak," sangkal Ratu Ageng untuk menyenangkan hati Ontowiryo. Dan, kencati begitu, Ratu Ageng menggurauinya. "Tapi setannya seperti apa? Gundul apa gondrong, Wir?"
Merasa terus dicandai. Ontowiryo pun berkata gregetan, "Aku bersungguh-sungguh, Nek."
"Ya, ya, Nenek tahu," kata Ratu Ageng.
Ontowiryo makin serius. "Sungguh, Nek. Aku melihat setan di seberang sungai sana."



Kegiatan

Tunjukkan/temukan  kata atau kelompok kata yang menunjukkan  hal yang lampau?
Teks manakah yang menggunakan kalimat langsung?  Bisakah menemukan ciri kalimat langsung?
Adakah dialog pada teks itu? lebih banya pada teks 1 ataukah teks2; manakah yang teks cerita sejarah dan manakah yang teks sejarah?
Bisakah membedakan dan memberi contoh kata kerja tindakan dan kata kerja keinginan atau cita-cita?
Adakah hal yang dirasakan secara emosional pada teks itu? berikan contoh dengan mengutip kalimat yang menunjukkan hal yang dirasakan!
Berikan contoh kata penunjuk  waktu pada teks tersebut!



Cermati teks di bawah ini. Adakah ciri kebahasaan teks cerita sejarah pada teks di bawah ini? Tunjukkan hal itu!

Gedung inilah bekas kamar yang dihuni pejuang kemerdekaan. Dahulu  bangunan ini dijadikan penjara namun kini digunakan menyimpan arsip negara. Pemerintah mulai membangun bagian penting di dalamnya, agar generasi muda dapat merasakan betapa sulit untuk mencapai kemerdekaan. Suasa ketegaran pejuang yang menyatu dengan kesabaran dapat dibangkitkan melalui gedung ini. Pendahulu kita berkata, "Cintai pahlawah, hargai jasa mereka."


Struktur Cerita Sejarah

Struktur  Cerita  Sejarah

Cerita sejarah memiliki struktur yang sama dengan karya cerita yang lain, seperti plot atau alur novel, cerpen. Pada umumnya dimulai dengan pengenalan/orientasi dan diakhiri dengan penyelesaian. 

Novel sejarah termasuk genre teks cerita ulang.  Novel sejarah juga mempunyai struktur teks yang sama dengan struktur novel lainnya, yaitu 1)orientasi, 2)pengungkapan peristiwa, 3)menuju konflik, 4)puncak konflik, 5)penyelesaian, 6)koda

1 Pengenalan Situasi Cerita, Exposition, Orientasi
2 Pengungkapan Peristiwa
3 Menuju Konflik, Rising Action
4 Puncak Konflik, Turning Point, Komplikasi
5 Penyelesaian, Evaluasi, Resolusi
6 Koda

Penjelasan
1  Pengenalan Situasi Cerita, Exposition, Orientasi : pengarang mengenalkan, waktu tempat, peristiwa,tokoh, hubungan antartokoh
2  Pengungkapan Peristiwa: Disajikan peristiwa awal yang menimbulkan masalah/pertentangan
3  Menuju Konflik, Rising Action: Terjadi peningkatan kehebohan, keterlibatan situasi yang menyebabkan  kesulitan tokoh
4   Puncak Konflik, Turning Point, Komplikasi: Ini bagian cerita yang paling besar atau mendebarkan, bisa ada perubahan nasib beberapa tokoh atau, berhasil / gagal menyelesaikan masalah
5   Penyelesaian, Evaluasi, Resolusi: Penjelasan atau penilaian  tentang sikap, nasib  yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Wujud akhir dari kondisi itu.
6   Koda : Komentar keseluruhan isi cerita yang fungsinya sebagai penutup.



Pahlawan cerpen karya Mohtar Lubis berlatar peristiwa Permesta

Cerita Sejarah
Membaca cerita pendek berlatar kesejarahan
Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara  menginspirasi Mohtar Lubis untuk menulis cerpen berjudul  Pahlawan


Bagian 1
Sewaktu aku masih dalam tahanan rezim Soekarno di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta, telah kudengar namanya dan cerita kepahlawanannya. Mayor Lintang, seorang komandan pasukan Permesta yang gagah berani, seorang pemimpin perang gerilya yang licin dan mahir. Ceritanya saya dengar dari beberapa anggota Permesta yang ditahan di Rumah Tahanan Militer. Mereka mengatakan, setelah pasukan pasukan pusat mendarat di Minahasa, dan pasukan-pasukan Permesta mengundurkan diri ke pegunungan, Mayor Lintang membawa pasukannya ke daerah di sekeliling danau.
Di sana dia berhasil bertahan hampir dua tahun, dan tiap kali pasukan pusat mencoba masuk senantiasa terpukul mundur kembali oleh Mayor Lintang. Ada keistimewaan pasukan Mayor Lintang, cerita mereka pada saya, yaitu pasukan wanitanya. Terdiri dari putri berumur antara 18 hingga 25 tahun. Dan mereka benar-benar ikut berperang, bukan untuk jadi mainan pasukan lelaki. Aduh, jangan coba-coba main dengan mereka, pasti akan dihantam oleh komandan mereka, Letnan Nita. Aduh, galaknya bukan main, tidak takut pada siapa juga. Pandai menembak dengan pistol, senapan, main sangkur, bisa berkelahi dengan tangan kosong, malah dia lebih tahan jalan atau berlari, naik turun gunung daripada prajurit lelaki. Dan herannya dia tetap perempuan, menggairahkan, tetapi jangan coba-coba. Sudah banyak teman-teman yang coba-coba kena tempeleng dan tendangannya. Dia juga menjaga anak buahnya amat kuatnya. Pendeknya pasukan wanita itu tidak ada yang berani ganggu. Sekali waktu ada anak baru datang, dan mencoba mengganggu anak buahnya. Terus saja Letnan Nita menariknya dan tidak ada ampun Nita menendang anunya dengan sepatu raidernya. Anak itu jatuh pingsan. Dan mereka tertawa teringat pada kejadian yang begitu lucu di mata mereka.
Seandainya Mayor tidak tewas tertembak dalam satu pertempuran menghadang pasukan pusat, belum tentu seluruh Minahasa dapat direbut oleh pasukan pusat, kata mereka. Wah, kalau Pak Lintang memang jago Pak, hebat sekali. Pahlawan!
Cerita ini kudengar di tahun 60-an, dan kemudian aku dipindahkan ke berbagai tempat tahanan lain, lalu pecah pemberontakan Gestapu/PKI yang gagal, dan kami tahanan politik rezim Soekarno dibebaskan, dan aku penuh kesibukan baru, sering bekerja ke luar negeri, dan cerita kepahlawanan Mayor Lintang hilang dari ingatanku.

Bagian 2
Sejak semula perempuan muda itu memang suka datang main tenis di lapangan tenis tempat kami main, dan saya merasa senang padanya. Sikapnya baik. Orangnya periang, suka lelucon dan tertawa. Dia nyaris cantik, tetapi garis bibirnya yang terlalu lurus memberikan semacam kekerasan pada wajahnya, yang hanya hilang dan membuat muka menarik, jika dia teresenyum atau tertawa. Akan tetapi jika wajahnya biasa, maka garis bibirnya mengubah  wajahnya. Seakan ada dua orang dalam dirinya dengan pribadi yang saling berlainan. Yang satu keras, pendiam, sedang yang sebuah lagi lembut, periang, bergairah, matanya coklat tua, bundar dan besar, giginya putih dan kuat. Dan dia main tenis agresif seperti laki laki. Biasanya, dia tidak bertahan, tetapi menyerang senantiasa. Dia tidak menunggu bola, tetapi menyerang bola yang datang padanya, mengayunkan tangannya jauh ke belakang, dan memukul bola dengan tenaga ketika mengayunkan raketnya dalam pukulan drive tangan kenannya. Pukulan backhandnya juga menyerang, dipukulnya dengan keras dan tajam. Dia selalu bergerak di lapangan, seakan dia kelebihan tenaga , yang harus dipergunakan dan dikeluarkannya, kalau tidak dapat meledak dalam dirinya sendiri.
Aku senang main dengan dia, baik sebagai lawan maupun partnernya. Jika main dalam mixed double, tak ada pasangan lain dapat mengalahkan kami. Karena aku juga punya gaya main seperti dia. Lebih senang menyerang daripada bertahan, dan memukul bola dengan penuh tenaga. Dia kurang suka main volley, dan karena itu aku yang menjaga di depan jaring jika kami berpasangan, dan dia menjaga lapangan di belakang.
Beberapa bulan sejak dia ikut main dengan club kami, dia datang teratur, dan hubungan kami hanya sebagai sesama anggola club, dan senang main bersama. Baru perlahan-lahan dia mulai berbicara tentang dirinya. Yang pertama diceritakannya padaku adalah, bahwa dia keponakan kawan saya. Seorang kawan yang amat akrab dengan saya telah lama sekali.
“Aduh, Tina,” kataku, “mengapa tak kaukatakan dari semula. Saya berani bertaruh dari semula kau sudah tahu siapa aku.”
“Tentu saja,” katanya, “Waktu aku di SMA sudah harus baca buku Bapak.”
“Mengapa tidak mengatakan padaku kau ponakan dia?”
“Ah, malu, nanti Bapak menyangka saya mau dekat-dekat, minta diaku.”
“Saya senang kalau kau merasa dekat dengan saya. Pamanmu itu sudah sama seperti saudara saya. Nah, mulai sekarang jangan malu-malu atau segan-segan lagi,ya.”
Sejak itu dia jadi lebih dekat. Mulai mau menceritakan berbagai pengalamannya. Umpamanya dia menceritakan kurang senang dengan Aziz, anggota club tenis kami, orang muda, telah kawin, dan selalu ingin tiap main, dia dan partnernya harus menang. Diajuga menganggap dirinya seorang lelaki yang jantan, dan tak seorang wanita pun tua atau muda yang dapat menolaknya, jika dia mau mereka. “Aku gemas melihatnya, congkak benar dengan kelelakiannya”, kata Tina. “Dia sudah coba-coba memegang aku, memeluk bahuku. Sekali, pura—ura bercanda. Aku kesal, eh, muak melihat kelakuannya.”
“Kau mau aku bicara dengan dia, memberinya sedikit nasihat?” tanyaku.
“Ah, tak usahlah, biar aku sendiri yang menelesaikannya,” katanya.

cermati  dua bagian teks di atas
Tulislah di mana terjadinya peristiwa itu?
Siapa saja pelaku yang terlibat dalam cerita itu?
Kapankah peristiwa itu terjadi?


Kamis, 15 Agustus 2019

Sejarah Perang Diponegoro


Perang Diponegoro (tahun 1825 - 1830)


Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, -katanya-, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang
mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan "Gerebeg Maulid".

Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra  mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.

Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro  Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.

Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan. Pertempuran pun pecah.

Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga  kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru  memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat  pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.

Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu.

Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo. Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil  dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati
pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan.

Dalam pertempuran di Dekso, SentotAlibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos. Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk  sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.

Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."

De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan  pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal  1357  halaman.

Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong  Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.  (selesai)


Jumat, 02 Agustus 2019

Pramoedya Ananta Toer - Penulis produktif berlatar sejarah revolusi

Novel karya Pramoedya Ananta Toer menghantam tradisi Jawa yang feodalis

Sebut saja nama Pramoedya Ananta Toer, maka kontroversi akan lahir dengan sendirinya. Pram, demikian ia akrab disapa, memang pribadi yang bersegi-segi. Sejumlah kecaman dan segudang pujian, sejumlah kekesalan dan sejumlah keharuan, kehalusan dan kekeraskepalaan. Banyak suara berbeda, pendapat beragam, dialamatkan kepadanya. Namun satu hal adalah tidak mungkin menghadirkan sejarah sastra Indonesia tanpa menyertakan namanya.
Kemunculannya dalam khasanah sastra Indonesia ditandai oleh cerpen-cerpen dan novel-novelnya. Ketika ia kemudian menerbitkan novel "Keluarga Gerilya", tidak bisa tidak namanya tercantum dalam daftar sastrawan Indonesia terkemuka pada era revolusi kemerdekaan. Dalam rrevolusi kemerdekaan itu pula Pramoedya terlibat aktif bukan hanya sebagai pengarang, melainkan pula sebagai serdadu. Ia kemudian dijebloskan Belanda ke dalam tahanan. Novel Keluarga Gerilya lahir dari pengalamannya menjalani tahanan Belanda. Kelak di kemudian hari ia akan bertemu kembali dengan penjara. Namun, bukan penjara penjajah Belanda melainkan penjara negara Republik Indonesia. Di penjara ini pula kelak lahir novel-novelnya yang menggegerkan, yakni Bumi Manusia.
Novel-novel sejarah karya Pramoedya sebagai novelis sejarah terbesar di Indonesia, karena hingga kini tak banyak sastrawan Indonesia yang menulis novel dengan latar sejarah sebanyak dan seintensif Pramoedya. Pada gilirannya merupakan tantangan bagi ilmu sejarah dan kegiatan penelitian sejarah di Indonesia yang hingga kini belum menemukan hasil sekukuh dan semantap novel novel Pramoedya. Sejarah Indonesia sebagai fakta dan sebagai cerita masih merupakan wilayah yang belum dibuka untuk dipercakapkan dengan kritis dan sungguh-sungguh. Bahasa Indonesia Pramoedya masih terasa kemelayu-melayuan. Namun mengherankan, dengan bahasa Indonesia yang tidak semodern Chairil Anwar, Pramoedya dapat menulis novel tak putus-putus demikian banyaknya dengan tetap memikat dan mencuri hati pembaca.
Bagi kaum muda, Pramoedya bisa dijadikan teladan dalam produktivitas dan api kreativitas yang tak kunjung padam dihantam berbagai prahara. Lewat berbagai tokoh cerpen dan novel-novelnya, kita berhadapan juga dengan tokoh-tokoh yang tak putus dirundung malang, dihantam cobaan, digerus angin sejarah dan kekuasaan, namun selalu tegak bertahan bahkan beberapa di antara mereka dijemput kematian. Dalam kenyataan, sebagian besar tokohnya menyanyikan kecintaaan terhadap negerinya walaupun tak putus-putusnya bertepuk sebelah tangan. -Agus R Sarjono-

Masa kecil Pangeran Diponegoro

Ontowiryo  -   nama kecil  Pangeran  Diponegoro

Masa kecil  Pangeran  Diponegoro yang ditulis ulang oleh  Remy Sylado - sastrawan dari Menado, pernah mendapat hadiah  sastra dari   keluarga  Aburizal  Bakry


Ontowiryo, anak laki sepuluh tahun nan cakep ini- yang dikenal rakyat sekitar Tegalrejo sebagai Seh Ngabdulrohim dan kelak terkenal antero Nusantara sebagai Pangeran Diponegori-berlaki-lari keder di pematang sawah Mantra, setelah menyeberangi Kali Winongo, menuju ke puri tempat tinggal nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengku Buwono I yang biasa disebut Sultan Swargi.

Dari kejauhan Ratu Ageng yang mengasuh Ontowiryo sejak bayi, sudah melihat cucu-cicitnya berlari-lari begitu. Dalam caranya berlari, sang nenek menyimpulkan, bahwa ada hal istimewa yang pasti akan diperkatakan oleh cucunya itu.

Setiba di rumah, Ontowiryo mengempas badan, ndeprok, terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuh. Dan melihat itu, Ratu Ageng tertawa, juga merengut, merasa lucu.
Kata Ratu Ageng,"Kamu kenapa,Wir? Kailmu mana?Kok Kamu terbirit-birit seperti baru melihat setan."
"Memang," sahut Ontowiryo bersemangat untuk meyakinkan nenek buyutnya."Aku memang baru melihat setan,Nek."
Ratu Ageng tertawa. Dalam hatinya berlangsung rasa maklum, bahwa anak-anak seusia Ontowiryo yang baru berusia sepuluh tahun pada 1795 ini, lumrah dibayang-bayangi oleh berbagai fantasi. Oleh karena itu berkata dia mencandai cucunya,"O ya?Kamu melihat setan ya?"
Ontowiryo merasa diremehkan. Katanya tawar namun tetap bersemangat untuk meyakinkan,"Kok Nenek tidak percaya?"
"Tidak," sangkal Ratu Ageng untuk menyenangkan hati Ontowiryo. Dan, kencati begitu, Ratu Ageng menggurauinya. "Tapi setannya seperti apa? Gundul apa gondrong, Wir?"
Merasa terus dicandai. Ontowiryo pun berkata gregetan, "Aku bersungguh-sungguh, Nek."
"Ya, ya, Nenek tahu," kata Ratu Ageng.
Ontowiryo makin serius. "Sungguh, Nek. Aku melihat setan di seberang sungai sana."
Ratu Ageng tertawa lagi, memberi apresiasi terhadap sikap ngotot cucunya. "Ya," katanya. "Makanya tadi kan Nenek bertanya; setanya gundul apa gondrong?"
Jawab Ontowiryo, "Setannya putih. Jangkung. Membawa bedil."
Ratu Ageng tersenyum. Di mengerti. Katanya. "Yang kamu lihat itu pasti orang Belanda."
Ontowiryo menyerana. Dia menggumam. Tak terdengar oleh neneknya.
"Belanda?"
Ontowiryo memang belum pernah mellihat Belanda datang ke rumah neneknya. Tempat tinggal sang nenek jauh dari kraton, pusat kebudayaan, pusat kekuasaan. Ratu Ageng memilih tinggal di luar kraton karena alasan-alasan yang saling bertautan antara lahir dan batin. dan arkian di tempat seperti itulah Ontowiryo diasuh untuk menjadi cerdik dan cendekia serta menjadi satria dan jatmika.
Di usianya yang sekarang Ontowiryo dituntun untuk memahami Quran, menguasai bacaan-bacaan kebudayaan Jawa, primbon, dan suluk, serta kitab-kita kaweruh, tapi sekaligus dilatih untuk mahir melempar lembing, menganggar keris, berpacu dengan kuda.  Di mata Ratu Ageng, semua kepandaian itu berurusan dengan kewiraan, dan menjadi sisik meliknya kepemimpinan ketika kelak Ontowiryo menjadi hulubalang yang mengomando perang melawan Belanda.
Selama itu memang dia tahu, karena titurkan secara sekilas, baik oleh ayahnya Sultan Hamengku Buwono tentu saja terutama eyang buyutnya Ratu Ageng garwo Sultan Hamengku Buwono I yang mengasuhnya ini, bahwa Belanda jahat. Sungguh pun begitu dia sendiri belum pernah berhadapan langsung muka dengan muka Belanda, dan mengalami tindakan tindakan yang menyakitkannya.
Baru saja dia kaget melihat Belanda di seberang Kali Winongo. Dan, demi melihat ciri ciri sosok Belanda yang tidak sama dengan ciri ciri sosok bangsanya Jawa - yaitu bahwa Belanda berkulit putih, bertubuh jangkung, berambut pirang, dan bermata biru - maka sertamerta membuat Ontowiryo yang terbilang anak-anak ini, tanpa sengaja berfantasi dengan satu perkataan yang justru menyimpulkan seluruh peta kejahatan. Yakni; setan!
Sama sekali tidak dinyana, bahwa baru terjadi tiga puluh tahun mendatang Ontowiryo benar benar menemukan wujud dari perkataan yang baru diucapkannya di bawah fantasinya, yaitu ketika dalam keputusan perang, dia mengatakan dengan geram; "Belanda, setan!"
Tahun-tahun ke arah sana, ke kurun yang tidak akan mungkin lagi diredam oleh kata kata manis - kata kata yang identik dengan kelicikan Belanda - karena api di dalam sekam pada waktu itu sudah demikian panas, sehingga pasti terjadi perang, jauh jauh sudah disadari Ratu Ageng sebagai saat saat bersiaga bagi cucunya untuk menjadi pemimpin yang memimpin bangsanya Jawa melawan kejahatan Belanda.
Itu sebabnya dua pepandaian, pertama yang berurusan dengan batin, dan kedua yang berurusan dengan zahir, demikian tertib diarahkan oleh Ratu Ageng kepada Ontowiryo.

Ratu Ageng bertanggungjawab pada marhum suaminya Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengku Buwono I, karena pengasuhan Ontowiryo dipercayakan kepadanya sejak Pangeran Diponegori ini masih bayi.
Takkan dilupan oleh Ratu Ageng, bahwa menjelang azan magrib, ketika suaminya itu sedang duduk berselonjor di prabayasa, terdengan tangis bayi Ontowiryo di buaian bundanya, R.A.Mangkarawati. Suaranya nyaris meraung. Ibu membuat sang sultan terjaga.
Kata sultan kepada Ratu Ageng, "Diajeng, tangisan bayi itu terdengar seperti miris, lebih risau dari makna yang bisa dipahami dari kata kata tuah yang direka oleh seorang kawindra. Kenapa begitu?"
"Entahlah, suamiku raja."
"Coba, Diajeng, bawa ke sini, aku ingin berkata kata kepadanya."
Ratu Ageng masuk, meminta bayi Ontowiryo dari tangan ibunya, lalu membawanya kepada Sultan Hamengku Buwono I. Ketika Ratu Ageng menggendongnya, alih alih tangis bayi yang nyaris meraung itu, mendadak teduh. Ratu Ageng pun menciumnya sambil berjalan ke depan, membawanya ke tentat duduk suaminya. Dan, sebelum Ratu Ageng berkata apa apa, pas di hadapan duli baginda raja, sekonyong bayi itu tertawa riang, suaranya bulat , kering, lucu.
Sultan sendiri terkesima melihat cicitnya yang sulung dari cucunya Hamengku Buwono III yang asma dalem timurnya Raden Mas Suroyo. Berkata dia sambil mengulurkan kedua rangannya kepada Ratu Ageng agar bayi yang berada di gendongan istrinya itu diserahkan kepadanya, "Aneh, tiba tiba anak ini diam dan malah ketawa lucu begini."
"Ya, suamiku raja," kata Ratu Ageng seraya menyerahkan bayi itu kepada suaminya.
Tapi, aneh ula, gegitu bayi ini pindah tangan dari Ratu Ageng ke tangan sang eyang buyut, mendadak kembali Ontowiryo kecil menangis lagi seperti merauh-raun.
"Lo?"
Sultan tertawa. Lekas lekas dia serahkan bayi itu kembali ke tangan istrinya Ratu Ageng. Bersamaan dengan itu pula Ontowiryo kecil langsung berhenti menangis, berlanjut dengan ketawa yang membuat kakek dan neneknya merasa lucu. Sertamerta Sultan menyimpulkan, bahwa kenyataan ini mesti dianggap sebagai bagian dari isyarat alami akan ketentuan garis takdir yang mesti dijalani dengan tanggungjawab.
Kata sultan kepada Ratu Ageng." Akhirnya harus dikatakan, diajeng-lah yang ditentukan takdir untuk mengasuh Ontowiryo, membesarkannya, dan menjaganya baik baik agar menjadi manusia kamil. sebab, ketahuilah, aku mendapat petunjuk dari rohku sendiri, bahwa bayi itu kelak akan menjadi pemimpin bangsa yang paling dihormati di antara bangsa bangsa antero Nusantara. Dia akan menjadi orang besar yang diteladani pejuang-pejuang kebangsaan, mulai dari prajurit sampai perwira, sebagai lambang pembebab dari segala tekanan, penindasan, dan penjajahan bangsa terhadap bangsa, sesrta penghisapan manusia terhadap manusia. tapi juga, yang penting, menjadi panutan pribadi yang takwa, saleh, alim. Tidak sia-sia namanya adalah Ontowiryo; onto berarti yang terakhir, yang pengujunng, yang pamungkas, dan wiryo berarti keberanian, keberkuasaan, kesaktian, keluhuran jiwa. Aku ingin diajeng terus mengigat-ingat ini. Jangan lupa."
"Tentu, suamiku raja."
Ratu Ageng sadar, janjinya kepada raja, suaminya, adalah sumpah setia seorang istri. Demikian sepanjang hayat dia mesti melakukan semua ikhtiar, yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan Ontowiryo tersebut,


-pembelajaran Bahasa Indonesia  SMA-SMK  kelas   XII- Pelajaran kedua - Cerita  Sejarah-