Rabu, 13 September 2017

Cerpen Karya Nugroho Notosusanto "Vicker Jepang"



Pengantar
Cerita pendek ini berlatar kota Jakarta tahun 1951. Ditulis oleh mantan tentara pelajar Republik Indonesia yang berpengalaman di medan pertempuran. Ada beberapa istilah yang dipengaruhi bahasa Belanda yang biasa dipakai oleh kaum pelajar saat itu. Suasana masa lalu terasa dengan menyebut sekolah dasar dengan SR atau sekolah rakyat,  (Agus Ahmad Hidayat- Guru Bahasa Indonesia,  SMA Negeri 2 Kotabumi Lampung Utara)

VICKERS JEPANG
Karya Nugroho Notosusanto

    Pada suatu malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari sebuah pertemuan.  Sepedaku merk "Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar.  Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman.  Air hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak waterproof 100%.  Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.
    Kota Jakart di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini, menmbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal.  Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan  seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat.  Memang situasi ibu kota pada tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada jam 01.00.
    Di dekat emplasemen stasiun Senen, gelapnya seperti di dalam terowongan kereta api.  Suara orang berlacur tidak ada di dala gerbong-gerbong yang berserakan di atas ril,  Penjual sate Madura dan kueh putu juga semua lenyap.  Jalanan sepi seperti kuburan.
    Tiba-tiba aku kaget seperti di dlam mimpi.  Karena gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda kendor tambah oleng dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri.  Dengan kutukan jahanam aku terdiri ke dalam comberan yang dingin.  Segala keributan itu hanya karena ada kucing menyeberangi jalan.  Seketika itu juga aku insaf, bahwa hujan agak reda.  Lain daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang gelap dingin seperti suasana.  Karena hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi besarr.  Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak karuan.
    Tapi kegelapan seolah-olah enggan melepaskan aku.  Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku bertambah sejuk.  Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh ketiadaan cahaya.  Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.
    Aku tahu, masih ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan yang ada lampunya.  jalan itu sudah dekat.  Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi jalan.  ya, ada tonggak hitam.  Seesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak.  Apa tonggak betul ?  Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?!  Orang.  Tangan kanannya ditentangkan ke samping.  Dengan sendirinya aku melambatkan laju sepeda, pedal tak kukayuh lagi.  Aku sudah dekat kepadanya.  Ia bertolak pinggang besar.
    "Stop!" katanya kemudian.  "Turun!" Aku menurut dengan patuh.  Tiba-tiba tangannya menodong ke muka, suatu gerakan yang tak berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup melawan dia, karena tokohnya tokoh seorang Samson.  Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi pet yang dipakai seperti pet yang kupakai, model sport Inggris.  Sosok tubuhnya yang ditekankan menutup mata, persis bandit picisan.
    Karena aku orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak.  Bandit picisan itu tak banyak bicara.  Ia mendekat perlahan-lahan, seperti kucing mendekatii tikus.  tangan kirinya maju, membuka kancing jas hujanku.  Tangan kanannya dengan senjata dekat ke perutku.  Ia mulai meraba-raba saku celana.  Aku begerak kegelian, karena rabaannya sembarangan.
    "Awas!" desisnya marah sambil menyodokkan laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan bunyi yang tak dapat kutirukan.  Setelah aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang itu.  Mau tak mau mataku tertrik kepada senjata yang di benamkan ke dalam perutku.  Bukan revolver, tidk ada silindernya; pistol jadi.  Merk apa ?  Aku terus mempelajari pistol itu, tak perduli dompetku berisi Rp. 12,25 pindah ke sakunya.  Karena kami tak jauh benar dari lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah "Vickers Jepang".  Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di Indonesia pistol itu terkenal dengan nama itu.
    Setelah selesai menggeledah pakaiannya, ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji tanganku.  Karena melihat badanku yang tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak.  Ia menggenggam tangan kiriku untuk mencopot arlojinya; sayang bannya agak sukar membukanya kalau dengan tangan satu.  Karena itu tangan kanannya ikut maju.  Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat olehku popornya tidak ada wadah pelurunya.  Kosong melompong seperti teng bensin bocor.
   Serta merta mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah, nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"
    Ia terkejut, sampai arlojiku yang sudah lepas, jatuh ke tanah.  Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak dan berkata.  Kemudian ia mundur selangkah.
     "Apa ? Kosong ? Mau rasa, apa ?" aksennya Jawa Tengah.
     "Mau diisi satu-stu dari atas, apa ? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga pakai aksen Jawa Tengah.  Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku.  Ia membiarkan saja.
    "Kok tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya.  Dan aku seperti sudah pernah kenal suara itu.
    "Saya pernah pakai kok!"
    "Di mana"
    "Front MKS."
    "Hlo! Front MKS!"
    "Tahun 1947."
    "Tahun 1947!"
    "Agustus."
    "Agustus?!"
    "Pernah ke puring apa?" tanyaku.
    "Puring?! Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali.  Dan tiba-tiba aku tahu, siapa dia.
    "Seksi Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil steling di muka waktu ada serbuan?"
    "Mas Nug!!"
    "Ya, saya ini." (bersambung)

Pahlawan, siapakah mereka?



Pahlawan

Pengantar
Siapakah pahlawan menurutmu? Apakah mereka yang berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia itulah yang disebut pahlawan? Mengapa kita kenal pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, pahlawan buruh, pahlawan pers? Atas dasar apa mereka mengelompokkan pahlawan seperti itu? Bolehkan kita mengatakan orang yang berjasa pada kita lalu kita sebut dia pahlawan?
Marilah kita baca dan pelajari cerita pendek berjudul "Pahlawan" karya Mohtar Lubis, dan puisi berjudul "Ibu" yang ditulis oleh penyair Madura D.Zawawi Imron.
Dengan membaca dua karya sastra ini, kita bisa mengetahui sikap seorang sastrawan terhadap sesuatu, sikap sastrawan terhadap situasi saat itu sebagai tanggapan atau respons yang diberikan sebagai seorang seniman.


Tujuan Pembelajaran
Dalam pembelajaran  ini Kompetensi Dasar yang diinginkan adalah:
3.7   Menilai isi dua buku fiksi (kumpulan cerita pendek ataukumpulan puisi) dan satu buku pengayaan (nonfiksi) yang dibaca .

Kegiatan pertama
Perhatikan petikan bagian terakhir cerpen "Pahlawan" karya Mohtar Lubis".

Ketika saya pergi lagi main tenis setelah kembali dari Menado, kawan-kawan minta cerita tentang Tanah Toraja. Dan kemudian ketika giliran kami menunggu, Tina dan aku baru selesai main, aku berkata padanya, bahwa aku juga pergi ke Menado, dan aku ceritakan padanya perlawatanku ke Minahasa, dan tentang cerita-cerita yang kudengar tentang pahlawan Mayor Lintang, dan seorang pahlawan wanita, Letnan Nita. Aduh, cerita tentang dia tak kalah hebanya dari cerita tentang Lintang. Srikandi Permesta yang tidak dikenal. Aku coba mencarinya di sana, tetapi tak ada yang tahu di mana Nita sekarang.
Tiba-tiba aku melihat air muka Tina berubah. Bibirnya melurus, pandangannya menjauh, dan dia sendiri dengan pikirannya. “Bapak bertemu juga dengan anak Mayor Lintang?” Suaranya agak gemetar.
“Ah, tidak, saya cari, tetapi hanya betemu dengan ayah dan ibu Mayor Lintang. Mereka kelihatan amat sayang pada anak itu. Kata mereka dia mirip sekali dengan Mayor Lintang. Saya bertemu banyak orang yang masih berbicara tentang dua pahlawan Lintang dan Nita.”
“Pahlawan?” kata Tina, dan suaranya gemetar, dan matanya berkilau mengandung api kemarahan. “Bapak tahu siapa ibu anak pahlawan Lintang itu?”
“Saya! Sayalah Nita.”  “Dan mengapa saya mengandung anak Lintang? Karena pada suatu hari dia memperkosa saya. Dan mengapa orang menganggap Nita pahlawan gagah berani, tidak takut mati? Karena ketika saya tahu saya hamil, saya mau mati, karena saya tidak rela mengandung anak itu, hasil perkosaan diri saya. Tetapi tidak ada peluru yang mau singgah ke tubuh saya. Dan kemudian ketika terjadi pertempuran hebat menghadapi pasukan pusat, dan pasukan kami diperintahkan mundur dan Lintang tinggal dengan dua regu yang melindungi gerakan mundur, saya dekat dia, dan dia tewas bukan karena tembakan lawan. Saya yang bunuh dia …!”
Dengan terkejut aku memandang padanya. Dia tidak melihat padaku, pandangannya jauh entah ke mana, baginya lapangan tenis dan kawan-kawan yang sedang main sudah tidak ada. “Saya sengaja menembaknya dengan Bren saya di bawah perutnya, menghancurkan kelaki-lakiannya yang telah memperkosa saya. Di mataku dia seorang pengkhianat, telah mengkhianati anak buanya sendiri. Dan ketika perutku membesar, aku mengundurkan diri ke sebuah desa terpencil, dan setelah bayi lahir dan aku kuat berjalan kembali, aku antarkan bayi itu pada orang tuanya. Aku tinggalkan Minahasa. Aku ganti namaku dari Nita jadi Tina.”
Dan aku ingat kemarahannya pada Aziz yang selalu hendak memaksakan kelelakiannya padanya.
“Dan kini apakah Bapak muak melihatku setelah tahu?” katanya.
Saya pegang tangannya, “Tidak Tina,” kataku, “tiada manusia dapat menjadi hakimmu. Kau harus mencari damai dalam hatimu sendiri. Kejadian dahsyat itu telah lama berlalu. Biarkan tinggal jauh di masa lampau itu. Aku bertambah sayang padamu setelah mengetahui betapa dahsyatnya pengalaman hidupmu. Aku mengerti perasaanmu. Tetapi janganlah hidup dengan kebencian dalam hati seumur hidupmu. Hidup mengandung berbagai kemungkinan, yang buruk, tetapi juga yang indah.”
“Juga bagi saya?” tanyanya dengan suara kecil.
“Apalagi bagimu, umurmu berapa, tiga puluh tahun?”
Tina mengangguk, “Nah, hidup masih menunggumu.”
Apa benar demikian, itulah yang selalu menjadi tanya bagiku, dan matanya lebih jauh, entah ke mana. Apa lagi yang dapat kukatakan padanya?

Kegiatan kedua:
Perhatikan petikan lengkap puisi "Ibu" karya D.Zawawi Imron.

Ibu
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air air matamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempat kuberlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku

1966
Karya  D Zawawi  Imron
kumpulan puisi bantalku ombak selimutku angin halaman 20-21 pada judul Ibu