Pengantar
Cerita pendek ini berlatar kota Jakarta tahun 1951.
Ditulis oleh mantan tentara pelajar Republik Indonesia yang berpengalaman di
medan pertempuran. Ada beberapa istilah yang dipengaruhi bahasa Belanda yang
biasa dipakai oleh kaum pelajar saat itu. Suasana masa lalu terasa dengan
menyebut sekolah dasar dengan SR atau sekolah rakyat, (Agus Ahmad Hidayat- Guru Bahasa
Indonesia, SMA Negeri 2 Kotabumi Lampung
Utara)
VICKERS JEPANG
Karya Nugroho Notosusanto
Pada suatu
malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari sebuah pertemuan. Sepedaku merk "Philips" buatan
Surabaya, keadaannya sudah payah benar.
Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya
berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman.
Air hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke dalam via jas
hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak waterproof 100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu
"Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari
SR kelas 1.
Kota Jakart di
bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini, menmbulkan
bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal. Karena aku masuk laki-laki normal, aku
berusaha mengatasi bayangan-bayangan
seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu kota pada tahun 1951 belum
seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada jam 01.00.
Di dekat
emplasemen stasiun Senen, gelapnya seperti di dalam terowongan kereta api. Suara orang berlacur tidak ada di dala
gerbong-gerbong yang berserakan di atas ril,
Penjual sate Madura dan kueh putu juga semua lenyap. Jalanan sepi seperti kuburan.
Tiba-tiba aku
kaget seperti di dlam mimpi. Karena
gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda kendor tambah oleng dan rem depan
tanpa aku rem, mengerem sendiri. Dengan
kutukan jahanam aku terdiri ke dalam comberan yang dingin. Segala keributan itu hanya karena ada kucing
menyeberangi jalan. Seketika itu juga
aku insaf, bahwa hujan agak reda. Lain
daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang
gelap dingin seperti suasana. Karena
hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi besarr. Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat,
meskipun ratapnya tambah tak karuan.
Tapi kegelapan
seolah-olah enggan melepaskan aku.
Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku bertambah
sejuk. Rumah-rumah di tepi jalan
tertutup rapat-rapat dan hitam oleh ketiadaan cahaya. Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan
lampu jalan.
Aku tahu, masih
ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan yang ada lampunya. jalan itu sudah dekat. Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi
jalan. ya, ada tonggak hitam. Seesungguhnya terlalu besar untuk sebuah
tonggak. Apa tonggak betul ? Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?! Orang.
Tangan kanannya ditentangkan ke samping.
Dengan sendirinya aku melambatkan laju sepeda, pedal tak kukayuh lagi. Aku sudah dekat kepadanya. Ia bertolak pinggang besar.
"Stop!" katanya kemudian.
"Turun!" Aku menurut dengan patuh. Tiba-tiba tangannya menodong ke muka, suatu
gerakan yang tak berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup
melawan dia, karena tokohnya tokoh seorang Samson. Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi pet
yang dipakai seperti pet yang kupakai, model sport Inggris. Sosok tubuhnya yang ditekankan menutup mata,
persis bandit picisan.
Karena aku
orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti
onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak.
Bandit picisan itu tak banyak bicara.
Ia mendekat perlahan-lahan, seperti kucing mendekatii tikus. tangan kirinya maju, membuka kancing jas
hujanku. Tangan kanannya dengan senjata
dekat ke perutku. Ia mulai meraba-raba
saku celana. Aku begerak kegelian,
karena rabaannya sembarangan.
"Awas!" desisnya marah sambil
menyodokkan laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan
bunyi yang tak dapat kutirukan. Setelah
aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang
itu. Mau tak mau mataku tertrik kepada
senjata yang di benamkan ke dalam perutku.
Bukan revolver, tidk ada silindernya; pistol jadi. Merk apa ?
Aku terus mempelajari pistol itu, tak perduli dompetku berisi Rp. 12,25
pindah ke sakunya. Karena kami tak jauh
benar dari lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah
"Vickers Jepang". Apa nama
sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di Indonesia pistol itu terkenal dengan nama
itu.
Setelah selesai
menggeledah pakaiannya, ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji
tanganku. Karena melihat badanku yang
tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak. Ia menggenggam tangan kiriku untuk mencopot
arlojinya; sayang bannya agak sukar membukanya kalau dengan tangan satu. Karena itu tangan kanannya ikut maju. Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat
olehku popornya tidak ada wadah pelurunya.
Kosong melompong seperti teng bensin bocor.
Serta merta
mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah,
nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"
Ia terkejut,
sampai arlojiku yang sudah lepas, jatuh ke tanah. Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak
dan berkata. Kemudian ia mundur
selangkah.
"Apa ?
Kosong ? Mau rasa, apa ?" aksennya Jawa Tengah.
"Mau
diisi satu-stu dari atas, apa ? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga
pakai aksen Jawa Tengah. Dengan penuh
kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk
dan memungut arlojiku. Ia membiarkan
saja.
"Kok tahu
ini Vickers Jepang?" tanyanya. Dan
aku seperti sudah pernah kenal suara itu.
"Saya
pernah pakai kok!"
"Di
mana"
"Front
MKS."
"Hlo!
Front MKS!"
"Tahun
1947."
"Tahun
1947!"
"Agustus."
"Agustus?!"
"Pernah ke
puring apa?" tanyaku.
"Puring?!
Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali. Dan tiba-tiba aku tahu, siapa dia.
"Seksi
Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil
steling di muka waktu ada serbuan?"
"Mas
Nug!!"
"Ya, saya
ini." (bersambung)