Rabu, 13 September 2017

Pahlawan, siapakah mereka?



Pahlawan

Pengantar
Siapakah pahlawan menurutmu? Apakah mereka yang berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia itulah yang disebut pahlawan? Mengapa kita kenal pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, pahlawan buruh, pahlawan pers? Atas dasar apa mereka mengelompokkan pahlawan seperti itu? Bolehkan kita mengatakan orang yang berjasa pada kita lalu kita sebut dia pahlawan?
Marilah kita baca dan pelajari cerita pendek berjudul "Pahlawan" karya Mohtar Lubis, dan puisi berjudul "Ibu" yang ditulis oleh penyair Madura D.Zawawi Imron.
Dengan membaca dua karya sastra ini, kita bisa mengetahui sikap seorang sastrawan terhadap sesuatu, sikap sastrawan terhadap situasi saat itu sebagai tanggapan atau respons yang diberikan sebagai seorang seniman.


Tujuan Pembelajaran
Dalam pembelajaran  ini Kompetensi Dasar yang diinginkan adalah:
3.7   Menilai isi dua buku fiksi (kumpulan cerita pendek ataukumpulan puisi) dan satu buku pengayaan (nonfiksi) yang dibaca .

Kegiatan pertama
Perhatikan petikan bagian terakhir cerpen "Pahlawan" karya Mohtar Lubis".

Ketika saya pergi lagi main tenis setelah kembali dari Menado, kawan-kawan minta cerita tentang Tanah Toraja. Dan kemudian ketika giliran kami menunggu, Tina dan aku baru selesai main, aku berkata padanya, bahwa aku juga pergi ke Menado, dan aku ceritakan padanya perlawatanku ke Minahasa, dan tentang cerita-cerita yang kudengar tentang pahlawan Mayor Lintang, dan seorang pahlawan wanita, Letnan Nita. Aduh, cerita tentang dia tak kalah hebanya dari cerita tentang Lintang. Srikandi Permesta yang tidak dikenal. Aku coba mencarinya di sana, tetapi tak ada yang tahu di mana Nita sekarang.
Tiba-tiba aku melihat air muka Tina berubah. Bibirnya melurus, pandangannya menjauh, dan dia sendiri dengan pikirannya. “Bapak bertemu juga dengan anak Mayor Lintang?” Suaranya agak gemetar.
“Ah, tidak, saya cari, tetapi hanya betemu dengan ayah dan ibu Mayor Lintang. Mereka kelihatan amat sayang pada anak itu. Kata mereka dia mirip sekali dengan Mayor Lintang. Saya bertemu banyak orang yang masih berbicara tentang dua pahlawan Lintang dan Nita.”
“Pahlawan?” kata Tina, dan suaranya gemetar, dan matanya berkilau mengandung api kemarahan. “Bapak tahu siapa ibu anak pahlawan Lintang itu?”
“Saya! Sayalah Nita.”  “Dan mengapa saya mengandung anak Lintang? Karena pada suatu hari dia memperkosa saya. Dan mengapa orang menganggap Nita pahlawan gagah berani, tidak takut mati? Karena ketika saya tahu saya hamil, saya mau mati, karena saya tidak rela mengandung anak itu, hasil perkosaan diri saya. Tetapi tidak ada peluru yang mau singgah ke tubuh saya. Dan kemudian ketika terjadi pertempuran hebat menghadapi pasukan pusat, dan pasukan kami diperintahkan mundur dan Lintang tinggal dengan dua regu yang melindungi gerakan mundur, saya dekat dia, dan dia tewas bukan karena tembakan lawan. Saya yang bunuh dia …!”
Dengan terkejut aku memandang padanya. Dia tidak melihat padaku, pandangannya jauh entah ke mana, baginya lapangan tenis dan kawan-kawan yang sedang main sudah tidak ada. “Saya sengaja menembaknya dengan Bren saya di bawah perutnya, menghancurkan kelaki-lakiannya yang telah memperkosa saya. Di mataku dia seorang pengkhianat, telah mengkhianati anak buanya sendiri. Dan ketika perutku membesar, aku mengundurkan diri ke sebuah desa terpencil, dan setelah bayi lahir dan aku kuat berjalan kembali, aku antarkan bayi itu pada orang tuanya. Aku tinggalkan Minahasa. Aku ganti namaku dari Nita jadi Tina.”
Dan aku ingat kemarahannya pada Aziz yang selalu hendak memaksakan kelelakiannya padanya.
“Dan kini apakah Bapak muak melihatku setelah tahu?” katanya.
Saya pegang tangannya, “Tidak Tina,” kataku, “tiada manusia dapat menjadi hakimmu. Kau harus mencari damai dalam hatimu sendiri. Kejadian dahsyat itu telah lama berlalu. Biarkan tinggal jauh di masa lampau itu. Aku bertambah sayang padamu setelah mengetahui betapa dahsyatnya pengalaman hidupmu. Aku mengerti perasaanmu. Tetapi janganlah hidup dengan kebencian dalam hati seumur hidupmu. Hidup mengandung berbagai kemungkinan, yang buruk, tetapi juga yang indah.”
“Juga bagi saya?” tanyanya dengan suara kecil.
“Apalagi bagimu, umurmu berapa, tiga puluh tahun?”
Tina mengangguk, “Nah, hidup masih menunggumu.”
Apa benar demikian, itulah yang selalu menjadi tanya bagiku, dan matanya lebih jauh, entah ke mana. Apa lagi yang dapat kukatakan padanya?

Kegiatan kedua:
Perhatikan petikan lengkap puisi "Ibu" karya D.Zawawi Imron.

Ibu
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air air matamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempat kuberlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku

1966
Karya  D Zawawi  Imron
kumpulan puisi bantalku ombak selimutku angin halaman 20-21 pada judul Ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar