Selasa, 18 Juni 2019

Kuda bisa merusak rumah tangga

Konflik Karena Kebohongan

Kebohongan itu tidak akan bisa bertahan lama. Pasti akan terbongkar juga nanti pada waktunya. Sepandai apa pun suami atau istri menyimpan kebohongan, pada saatnya akan ketahuan. Kisah Bagus dan Ayu berikut ini sudah sering kita baca karena sudah banyak di posting di berbagai media. Saya ingin menghadirkannya kembali untuk menjadi pengantar tema bahasan kali ini bahwa seekor kuda bisa merusak kebahagiaan keluarga.

Pada suatu pagi, Bagus tengah duduk bersantai di teras depan rumahnya sambil membaca koran. Tiba-tiba Ayu, istrinya, datang dan memukul kepala Bagus dengan panci. Tentu Bagus kaget dan marah.

Bagus: “Kenapa kamu memukulku?”
Ayu: ”Tadi ada kertas dengan tulisan Julia di saku bajumu.”
Bagus: “Oh, itu waktu nonton pacuan kuda, ada kuda namanya Julia, Indah sekali kudanya. Supaya enggak lupa, aku tulis namanya.”
Ayu : “Aduh, maaf ya, Bang. Aku salah paham.”

Hari berikutnya, saat Bagus sedang menonton TV tiba-tiba Ayu muncul dan kembali memukul Bagus dengan panci.

Bagus: “Kenapa kamu memukulku lagi.”
Ayu : “Tuh kudamu tadi nelepon.”

Nah, tuh, jangan suka bohong ya ... Membohongi kuda saja tercela, apalagi membohongi pasangan kita.

Sebuah kebohongan selalu menuntut adanya kebohongan berikutnya demi menutupi kebohongan yang pertama. Hal seperti ini kalau dituruti tidak akan pernah selesai. Seseorang yang berbohong harus menyediakan diri untuk terus-menerus berbohong agar kebohongannya itu tidak terungkap. Justru karena itulah maka kebohongan pasti ada batasnya. Kebenaran akan terungkap pada masanya karena orang tidak akan bisa konsisten dalam kebohongannya.

Coba jika kita panjangkan kisah kebohongan Bagus dan Ayu di atas. Ketika Ayu penasaran ingin mengetahui siapa Julia

Ayu: “Siapa itu Julia?”
Bagus: “Sudah aku bilang tadi. Julia adalah nama kuda yang bentuknya sangat indah ( bohong 1 karena Julia adalah nama perempuan). Aku terkagum dengan keelokan kuda tersebut. ( bohong 2, karena memang bukan kuda).”
Ayu: “Memang Julia itu kuda punya siapa?”
Bagus: “Kata temanku, (bohong 3)  itu kuda milik keluarga sultan  (bohong 4)  makanya bagus banget (bohong 5)”
Ayu: “Apa memang Julia sering ikut pacuan kuda?”
Bagus:”Iya  ( bohong 6)  setiap  kali ada lomba pacuan kuda di stadion, Julia selalu diikutkan (bohong 7)”
Ayu : “Berarti sering jadi juara dong.”
Bagus: “Iya (bohong 8), beberapa kali Julia berhasil menjadi juara (bohong 9).”

Dalam suatu kebohongan, ada kebohongan lain yang harus dilakukan demi menutupi kebohongan pertama. Maka ketika Ayu kembali marah di hari kedua, Bagus memiliki pilihan untuk mengakui saja kebohongannya yang kemarin atau menambah kebohongan baru.

Ayu: “Kamu bilang Julia itu nama kuda, tapi tadi menelepon melalui HP-mu.”
Bagus: “Oh, itu Julia yang lain, bukan yang aku ceritakan kemarin (bohong 10)”
Ayu: “ Memang kuda zaman sekarang bisa menelepon ya?”
Bagus : “Sudah aku bilang, ini Julia yang berbeda (bohong 11).  Ini teman kerjaku (bohong 12)”
Ayu: “Awas ya Bang, kalau kamu bohong!”
Bagus: “Aku tidak bohong, Dik  ( bohong 13). Aku katakan apa adanya (bohong 14)”

Nah jika Bagus bertahan dengan kebohongannya maka ia akan selalu bergelut dengan aneka kebohongan baru agar kebohongan awal tidak terkuak. Tetapi  sampai berapa lama Bagus bisa bertahan dalam kebohongan? Pasti tidak lama. Ada masa di mana kebohongan akan terungkap.

Dikutip dari buku berjudul Wonderful  Couple – Menjadi Pasangan Paling Bahagia – karya Cahyadi Takariawan, catatan ketiga,   Bijak Menyikapi Konflik, halaman 119-122, dikutip ulang oleh Agus Ahmad Hidayat- SMAN 2  Kotabumi Lampung Utara -  18 Juni 2019 -


Selasa, 11 Juni 2019

SEPARUH JIWA PERGI - renungan ketika pasangan kita meninggal lebih dahulu

SEPARUH JIWA PERGI

ditulis
oleh  Satria hadi lubis

Saya terharu melihat foto-foto dan video yang beredar di medsos tentang Pak SBY yang sangat sedih kehilangan istri tercintanya, Ibu Ani Yudhoyono. Seakan separuh jiwanya pergi bersama dengan pulangnya ibu Ani ke haribaan-Nya (Allahummaghfirlaha...).

Kejadian serupa juga saya lihat ketika Bapak Habibie ditinggal pergi istrinya, ibu Ainun Habibie. Bahkan beliau sampai membuat buku yang kemudian difilmkan dan menjadi box office beberapa tahun yang lalu untuk mengabadikan kisah cinta sejatinya dengan Ibu Ainun.

Panutan kita, Nabi Muhammad saw juga sangat sedih ketika ditinggalkan istri tercintanya, Khadijah ra. Beliau selalu mengenang kebaikan Khadijah jauh setelah istrinya itu meninggal, sampai-sampai istri beliau yang lain, Aisyah ra menjadi cemburu. "Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku. Dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku. Dia menyokongku dengan hartanya ketika orang-orang memboikotku. Dan Allah mengaruniakan anak bagiku dari (rahim)-nya. Padahal dengan (istri-istriku) yang lain, aku tak mendapatkannya”(HR. Ahmad), ujar beliau saw mengenang kebaikan Khadijah ra.

Beberapa orang yang saya kenal juga mengalami hal serupa, sangat sedih ketika kehilangan istri atau suaminya. Diantara mereka ada yang tak kuat dengan kesendiriannya. Lalu dalam waktu berdekatan meninggal dunia juga menyusul separuh jiwanya yang telah pergi lebih dulu.

Walau kita mengetahui takdir kematian adalah hal yang pasti dan cepat atau lambat kita akan berpisah dengan pasangan kita, namun jika mengalaminya sendiri belum tentu kita bisa setegar mereka yang belum mengalaminya.

Disini kita bisa mengambil hikmah, betapa penting dan berharganya waktu-waktu yang kita lalui bersama pasangan kita. Seringkali ketika pasangan masih hidup dan ada di sisi kita, yang kita lihat darinya hanya hal yang biasa-biasa saja, yang rutin, bahkan menjemukan.

Bahkan sebagian suami atau istri malah teliti melihat dan MEMBESAR-BESARKAN kekurangan pasangan. Lupa untuk bersyukur dengan kebaikan dan kelebihan pasangannya.

Padahal boleh jadi kekurangannya yang "kecil" itulah yang nanti akan membuat kita kangen ketika suami atau istri kita pergi. Seorang suami mungkin akan kangen dengan kecerewetan istrinya yang selalu mengingatkannya tentang berbagai hal-hal kecil, misalnya. Rumah terasa sepi tanpa suara istrinya yang cerewet yang kini telah tiada.

Sebaliknya, boleh jadi seorang istri akan rindu dengan bau "gas" atau bau badan suaminya yang telah tiada. Yang sewaktu hidupnya selalu dikeluhkannya karena baunya yang luar biasa. Saya pernah mendengar ada seorang istri yang suka tidur sambil memeluk dan menciumi baju suaminya yang telah tiada saking kangennya dengan suaminya.

Akhirnya, kematian adalah pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Sebelum separuh jiwa kita pergi selamanya, mari kita nikmati dan syukuri kebersamaan kita dengan pasangan. Jadilah pecinta sejati yang pandai melihat kelebihan pasangan, bukan kekurangannya.

"Ketidaksempurnaan (kecil) pasangan yang justru membuat ia menjadi sempurna di mata kita".