Selasa, 06 Desember 2016

Puisi karya Syaiful Irba Tanpaka - penyair dari Lampung

Semua Berzikir untuk Cinta
karya Syaiful Irba Tanpaka

dan laut. dan ombak. dan riak. dan camar. dan nelayan.
dan perahu. dan bagan. dan ikan. dan karang. dan lumut
dan angin. dan langit. dan cakrawala. dan awan. dan
matahari. dan senja. dan pohon. dan daun. dan bukit.
dan lembah. dan sawah. dan ladang. dan kebun. dan buah.
dan bunga. dan belalang. dan kupu-kupu. dan burung.
dan aku. dan engkau. dan dia. dan semua…
    berzikir untuk cinta

           ya cintaMu
maha esa. maha perkasa. maha pemurah. maha pengasih.
maha penyayang. maha suci. maha melihat. maha
mendengar. maha pengampun. maha pelindung. maha
besar. maha penyabar. maha agung. maha mulia. maha
merindu. maha segala…
     di tubuh semesta

maka laut. maka ombak. maka riak. maka camar. maka
nelayan. maka perahu. maka bagan. maka ikan. maka
karang. maka lumut. maka angin. maka langit. maka
cakrawala. maka awan. maka matahari. maka senja. maka
pohon. maka daun. maka bukit. maka lembah. maka
sawah. maka ladang. maka kebun. maka buah. maka
bunga. maka belalang. maka kupu-kupu. maka burung.
maka aku. maka engkau. maka dia. maka semua…

                         berzikir untuk cinta

       ya cintaMu
                         juga maha airmata


Tentang Syaiful Irba Tanpaka
Syaiful Irba Tanpaka lahir di Telukbetung, 9 Desember 1961, alumnus FISIP unibersitas Saburai, Bandarlampung. Mulai mengakrabi dunia kepenulisan sejak tahun 1981. Kumpulan puisi tunggalnya: Mata-mata (1984) dan Buku Puisi (1996). Selain tentunya banyak termuat dalam antologi puisi bersama dan media massa. Pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta pada Forum Puisi Indonesia ’87. Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayu Tanam, Sumbar (1997), Kongres Cerpen II di Jembrana Bali (2002). Merupakan Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung dan Sekretraris Parfi cabang Lampung.

Sabtu, 03 Desember 2016

Puisi karya Hamid Jabbar - Wajahku dicermin tampak wajah Binatang ?

 Wajah Kita
                                                             karya : Hamid Jabbar

bila kita selalu berkaca setiap saat
dan di setiap tempat
maka tergambarlah:
alangkah bermacamnya
wajah kita
yang berderet bagai patung
di toko mainan di jalan braga
            wajah kita adalah wajah bulan
            yang purnama dan coreng moreng
            serta gradakan dan bopeng-bopeng
            wajah kita adalah wajah manusia
            yang bukan lagi manusia
            dan terbenam dalam wayang
            wajah kita adalah wajah rupawan
            yang bersolek menghias lembaran
            kitab suci dan kitab undang-undang
            wajah kita adalah wajah politisi
            yang mengepalkan tangan bersikutan
            menebalkan muka meraih kedudukan
           

bila kita selalu berkaca dengan kaca
yang buram tak sempurna
maka tergambarlah:
alangkah berperseginya:
wajah kita
yang berkandang bagai binatang
di kota di taman margasatwa
            wajah kita adalah wajah serigala
            yang mengaum menerkam mangsanya
            dengan buas, lahap dan gairahnya
            wajah kita adalah wajah anjing
            yang mengejar bangkai dan kotoran
            di tong sampah dan selokan-selokan
            wajah kita adalah wajah kuda
            yang berpacu mengelus bayu
            mendenguskan napas-napas napsu
            wajah kita adalah wajah babi
            yang menyeruduk dalam membuta
            menyembah tumpukan harta-benda
            wajah kita adalah wajah buaya
            yang menatap dalam riangnya
            dan tertawa dengan sedihnya

bila kita selalu berkaca dengan kaca
yang mengkilap dan rata
maka tergambarlah:
alangkah berseadanya
wajah kita
yang mendengar segala erang
berkerendahan hati dan berkelapangan dada:
            wajah kita adalah wajah
            yang kurang tambah
            serta selebihnya
            wajah kita adalah wajah
            yang sujud rebah
            bagi-Nya jua
            wajah kita adalah wajah
            yang bukan wajah
            hanya fatamorgana

1972

Puisi Lautan Massa di Pusat Jakarta - catatan peristiwa 2 Desember 2016

ZIKIR MONAS 3
:Untukmu Laskar Ciamis

laskar ciamis, siapakah engkau?
langkah-langkah kecil kakimu
menempuh beratus kilo jarak
melintasi berpuluh kota
melewati bukit, lembah, ngarai
dan jalan berliku
sungguh telah menggetarkan hati-hati kami.

laskar ciamis, siapakah engkau?
koyak terompahmu
bengkak betismu
pecah kulit tapak kakimu
baja semangatmu
sungguh telah mengguncang kalbu iman kami: apa arti mencinta.

laskar ciamis, siapakah engkau?
tekadmu pantang dihalang
ghirohmu tinggi menjulang
tak peduli terik
tak peduli hujan
tak peduli angin
tak peduli rintang
engkau terus melangkah
melangkah....
dan melangkah
tapakmu pasti: tinggikan kalam robbmu.

"kami cuma setitik air yang ingin berhimpun dengan saudara-saudara kami agar menjadi laut, lalu bertasbih menggemakan cinta."

"beri kami jalan
izinkan kami melangkah
biar kami terus belajar
dan bisa lebih belajar
apa arti dekat dan mencinta qur'an, lalu kami sampaikan pesan pada sang penista, jaga mulut dan lidahmu agar tak rusak ini negeri oleh ulah busukmu."

laskar ciamis
derap kecil langkah-langkah kakimu
sungguh mengguncang dada iman kami.
biarkan kami belajar dari langkah-langkah kakimu, bagi segenggam cinta para pecinta!

Monas, 2 Desember 2016


ZIKIR MONAS 4
:Tertabal Iman Itu

itu hari sungguh beda
bermula doa singkat
lalu munajat panjang.

"Ya Robbi, di sini kurasa sentuhan-Mu
di sini kulihat jejak-Mu
di sini kucecap kuasa-Mu
setelah lama hilang dari mata batinku."

tak pernah kulihat manusia sebanyak itu, tak pernah kualami berkumpul dengan anak-anak adam sebesar itu, memutih lantunkan takbir, tinggikan pujian kepada-Mu.

tak pernah kualami
tak pernah kulihat
bahkan di tanah haram sekalipun.

apa yang menggerakkan mereka
siapa kuasa menghimpun mereka
datang dari aneka daerah
penuh senyum dan tawa ikhlas
walau sebagian harus berpeluh ria
berbengkak betis
berpecah tapak kaki
menempuh beratus kilo jarak
hanya berjalan kaki
untuk sampai ke sini
ke Monas di Jumat pagi.

menyatu mereka dalam girah
bercucur air mata
menyemut doa
berjuta mereka
siapa kuasa.

"Ya Allah,
tumbuhkan benih di hati mereka"
lamat terdengar olehmu
lirih doa seorang ibu.

kau lihat ia terus titikkan air mata
lama ekspresikan kata
buncahkan hati
luapkan rindu.

kau lihat ia bersyukur
tunduk, sujud, gembira
hadir membela agama.

lalu....,
makin dalam berdoa.

Mona, begitu engkau, duduk terdiam
bersimpuh di samping wanita itu
engkau mulai merasakan cinta
lalu batinmu mulai mencatat
Monas punya peristiwa.

Mona, engkau datang bukan sebagai pembela, berbeda dengan mereka
engkau pengamat belaka
engkau sekadar ingin merekam
engkau sebatas ingin mencatat
hanya nyamarmu sebagai pembela.

tatkala mereka berdoa
kau pura berdoa
ketika mereka takbir
kau pura bertakbir
saat mereka zikir
kau pura berzikir
waktu mereka sholat
kau pura bersholat
itu mulamu, maksudmu sandiwara belaka.

namun ini Monas punya cerita
engkau Mona, di Monas engkau temui jalan
hidayah terkirim menghunjam mata batinmu
engkau lihat jalan pulang,
engkau tak bisa berpaling
engkau terketuk
jiwamu terguncang.

engkau coba menepis
kiranya ilusi belaka
tapi itu doa begitu kuat
terus terngiang
semakin menggoda:
"Ya Allah tumbuhkan benih di hati mereka."

batinmu berkecamuk
hatimu mengharu biru
remuk redam jiwa yang rindu
terkulai lemah getar-getar kalbu.

"Ya Allah,
tumbuhkan benih di hati mereka."

lalu engkau coba mengeja hati
engkau sebut kembali nama itu
nama yang lama hilang dari sanubarimu yang mula gersang.

"Allah, Allah, Allah
ampunkan hamba ya Allah."

hatimu membara
terus menyala
terang dalam lirih doa
bersama deras hujan mengucur
engkau tak bisa lagi berpura-pura.

Mona, perempuan yang mula bukanlah pembela, melihat angkasa
langit ikut membujuk
awan merayu
saat gerimis
mengguyur Monas dengan manis.

engkau Mona
sepuluh tahun alpa
di Monas kembali temukan jalan
engkau sholat kembali
bersama benih tumbuh di hati.

engkau pun hijrah
semula domplengan
kini sungguh laungan.

engkau Mona
terus menangis
berdoa dalam kerumunan
terbesar sepanjang sejarah
sholat dalam kerumunan
terbanyak sepanjang sejarah.

dunia mencatat
itu hari yang beda
itu Jumat yang beda
itu Monas yang beda
itu dua desember dua ribu enam belas.

Monas, 2 Desember 2016digubah dari karya Deny JA
diambil dari tulisan  Heri Mulyadi. -via Face Book