Novel karya Pramoedya Ananta Toer menghantam tradisi Jawa yang feodalis
Sebut saja nama Pramoedya Ananta Toer, maka kontroversi akan lahir dengan sendirinya. Pram, demikian ia akrab disapa, memang pribadi yang bersegi-segi. Sejumlah kecaman dan segudang pujian, sejumlah kekesalan dan sejumlah keharuan, kehalusan dan kekeraskepalaan. Banyak suara berbeda, pendapat beragam, dialamatkan kepadanya. Namun satu hal adalah tidak mungkin menghadirkan sejarah sastra Indonesia tanpa menyertakan namanya.
Kemunculannya dalam khasanah sastra Indonesia ditandai oleh cerpen-cerpen dan novel-novelnya. Ketika ia kemudian menerbitkan novel "Keluarga Gerilya", tidak bisa tidak namanya tercantum dalam daftar sastrawan Indonesia terkemuka pada era revolusi kemerdekaan. Dalam rrevolusi kemerdekaan itu pula Pramoedya terlibat aktif bukan hanya sebagai pengarang, melainkan pula sebagai serdadu. Ia kemudian dijebloskan Belanda ke dalam tahanan. Novel Keluarga Gerilya lahir dari pengalamannya menjalani tahanan Belanda. Kelak di kemudian hari ia akan bertemu kembali dengan penjara. Namun, bukan penjara penjajah Belanda melainkan penjara negara Republik Indonesia. Di penjara ini pula kelak lahir novel-novelnya yang menggegerkan, yakni Bumi Manusia.
Novel-novel sejarah karya Pramoedya sebagai novelis sejarah terbesar di Indonesia, karena hingga kini tak banyak sastrawan Indonesia yang menulis novel dengan latar sejarah sebanyak dan seintensif Pramoedya. Pada gilirannya merupakan tantangan bagi ilmu sejarah dan kegiatan penelitian sejarah di Indonesia yang hingga kini belum menemukan hasil sekukuh dan semantap novel novel Pramoedya. Sejarah Indonesia sebagai fakta dan sebagai cerita masih merupakan wilayah yang belum dibuka untuk dipercakapkan dengan kritis dan sungguh-sungguh. Bahasa Indonesia Pramoedya masih terasa kemelayu-melayuan. Namun mengherankan, dengan bahasa Indonesia yang tidak semodern Chairil Anwar, Pramoedya dapat menulis novel tak putus-putus demikian banyaknya dengan tetap memikat dan mencuri hati pembaca.
Bagi kaum muda, Pramoedya bisa dijadikan teladan dalam produktivitas dan api kreativitas yang tak kunjung padam dihantam berbagai prahara. Lewat berbagai tokoh cerpen dan novel-novelnya, kita berhadapan juga dengan tokoh-tokoh yang tak putus dirundung malang, dihantam cobaan, digerus angin sejarah dan kekuasaan, namun selalu tegak bertahan bahkan beberapa di antara mereka dijemput kematian. Dalam kenyataan, sebagian besar tokohnya menyanyikan kecintaaan terhadap negerinya walaupun tak putus-putusnya bertepuk sebelah tangan. -Agus R Sarjono-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar