LAA TANSA YA UKHAYYA
- -Tarbiyah merupakan proses mengantarkan sesuatu secara berkelanjutan, tahap demi tahap, demi mencapai tingkat kesempurnaan--------
Kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang dapat melakukan sesuatu langsung jadi. Namun, walaupun begitu, Dia tidak menciptakan makhluk-makhluk-Nya sekali jadi. Penciptaan alam semesta, seperti langit dan bumi, diciptakan dengan bertahap melalui proses yang teliti.
Seekor nyamuk, walaupun kecil, Allah ciptakan dengan mekanisme yang rapi. Demikian juga dengan penciptaan manusia insani (Q.s. Al Mukminun: 12-16).
Semua makhluk diciptakan-Nya dengan proses yang bertahap dan bertingkat. Sebenarnya bagi Allah tidak ada keharusan melakukan proses itu. Dia Mahakuasa untuk berbuat apapun sesuai dengan kehendak dan iradah-Nya. Firman-Nya:
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah (sesuatu) itu.” (Q.s. Yasin: 82)
Nah, generasi sahabat, yang merupakan umat terbaik, ternyata juga terbentuk melalui proses panjang dan tidak sekali jadi. Tarbiyah rabbaniyah yang membentuk generasi ini. Dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun, Rasulullah saw terus mengayomi.
Demikianlah, ternyata siapapun juga harus menjalani proses ini. Terlebih dalam membina umat ini. Agar kembali kepada jati dirinya yang asli, yaitu dinul Islam yang murni.
Hanya ada satu cara untuk itu: tarbiyah rabbaniyah, bukan yang lainnya. Tarbiyah merupakan proses mengantarkan sesuatu secara berkelanjutan, tahap demi tahap, demi mencapai tingkat kesempurnaan.
Adanya perubahan merupakan indikasi tarbiyah itu berjalan secara baik. Dengan demikian, tarbiyah adalah assessment dan pengelolaan perubahan melalui mekanisme pembinaan dan pembentukan untuk melahirkan kader-kader dakwah yang loyal, berkarakter dan mumpuni.
Tarbiyah juga bermakna penyelamatan manusia dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam. Ia adalah ‘harakatul inqadz’, yaitu gerakan penyelamatan umat manusia dari nominator ashabun-nar menjadi ashabul-jannah. Firman Allah Ta’ala:
ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah thagut. Mereka (thagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.s. Al-Baqarah: 257)
Satu keharusan dalam tarbiyah adalah munculnya perubahan (at-taghyir). Perubahan itu sendiri merupakan ketetapan Ilahi yang sudah terpatri. Didasari oleh satu ketentuan yang masih misteri. Namun pasti terjadi. Semua manusia pasti mati. Bukankah manusia mengalami fase demi fase, tingkat demi tingkat semenjak lahir hingga mati?
لَتَرۡكَبُنَّ طَبَقًا عَن طَبَقٍ
“Sungguh, kamu benar-benar akan menjalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).” (QS. Al-Insyiqaq: 19)
Perubahan dalam diri mutarabbi pasti terjadi, jika materi-materi yang disampaikan sesuai alurnya dan rinci. Perubahan pertama kali terjadi dalam wilayah maknawi dalam aspek keyakinan (akidah) dan pemikiran (fikrah). Perubahan ini biasanya serta merta, langsung dan mendalam. Bersifat inqilabi, yakni berubah secara total dan cepat.
Dari sinilah muncul loyalitas, komitmen, ghirah dan semangat. Ini adalah tiang pancang pembentukan kepribadian kader selanjutnya. Semakin kuat tiang pancangnya, semakin kokoh pula bangunannya. Dalam dunia konstruksi tiang pancang disebut ‘pile’, yaitu bagian dari struktur yang digunakan untuk menerima dan mentransfer beban dari struktur atas ke tanah penunjang yang terletak pada kedalaman tertentu. Semakin dalam pile, semakin kuat bangungannya. Pile menjadi ikatan yang kokoh antara bangunan dengan tanah yang menjadi tempat berpijaknya. Firman Allah Ta’ala:
لَآ إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّ ۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِن بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Sebaliknya, jika tonggak tidak tajam dan dalam menghujam, ditambah lagi karat-karat kekufuran dan kejahiliyahan masih melekat, maka dapat dipastikan pile yang ada itu lemah. Pile seperti ini membahayakan bangunan yang ada di atasnya. Bangunan yang ada di atasnya rapuh dan rawan roboh. Firman Allah Ta’ala:
أَفَمَنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ تَقۡوَىٰ مِنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٍ خَيۡرٌ أَم مَّنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَٱنۡهَارَ بِهِۦ فِى نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Maka, apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan rida(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di sisi tepian jurang yang nyaris runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah: 109)
Yang kedua, perubahan itu terjadi dalam wilayah nyata (waqi’i). Perubahan ini tidak inqilabi akan tetapi tadarruji atau bertahap. Faktor yang terkait dengan kondisi dan situasi, peristiwa dan sikap yang ad diluar lingkungan tarbiyah menjadi varibel penting dalam perubahan ini. Proses bertahap dan bertingkat harus dilakukan guna menjaga eksistensi dakwah dan tarbiyah ini. Sikap emosional dan tergesa-gesa akan menghasilkan kader yang prematur, gagap, eforia dan culture shock. Alih-alih ingin keberhasilan justru mendatangkan kerugian dan kontra produktif. Firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ
“Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” Di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang ditetapkan dalam kesesatan. Maka, berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl: 36)
Perubahan terjadi karena waktu yang berjalan. Tidak dapat dibendung oleh siapa pun atau oleh apapun. Selama bumi masih berputar dan hayat masih di kandung badan, akan terus terjadi perubahan. Tidak ada pilihan lain selain menerimanya, bahkan harus bersahabat dengannya.
Perubahan merupakan bagian dari kehidupan yang tak dapat dipungkiri. Terjadi kapan saja, bahkan tanpa kita duga. Pertanyaannya, akankah kita melihat perubahan ini sebagai ancaman atau peluang? Terhadap perubahan maka yang bisa kita lakukan adalah bersahabat dengannya. Menjadikannya sebagai peluang.
Tanpa adanya perubahan, manusia akan menjadi stagnan dan tidak akan ada kemajuan, perkembangan, dan akan cenderung jumud. Perubahan dalam hidup akan selalu beriringan dengan adaptasi. Sayangnya, itu tidak mudah. Bahkan, tidak semua orang berani menghadapinya. Bahkan sebagian orang malah berusaha lari darinya.
Lantas bagaimana dengan kader dakwah? Satu keharusan baginya bersahabat dengan perubahan. Slogan tarbiyah madal hayah atau tarbiyah sepanjang hidup bermakna kesiapan untuk menerima perubahan itu, sekaligus mengantisipasi agar dakwah tetap orsinil dan eksis.
Walaupun seiring waktu, semua berubah, namun tidak dengan tarbiyah. Ia tidak boleh dirubah, dihindari apalagi diganti. Perkembangan situasi dan kondisi bukan jadi alasan untuk membuang tarbiyah sejauh mungkin. Sekalipun dakwah sudah memasuki ranah politik dan kekuasaan. Bila ini terjadi berarti bunuh diri karena tidak percaya lagi dengan manhaj yang rabbani. Firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً ۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٍ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (QS. At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini, Allah tetap memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu aktiv mengikuti tarbiyah. Dalam situasi segenting apapun, seperti peperangan, tarbiyah tetap harus berjalan, jangan sampai dilupakan karena hal itu tidak patut dilakukan. Tarbiyah madal hayah, tarbiyah madal zaman. Laa tansa ya ukhayya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar