Rabu, 31 Juli 2024

surat Nuh 1 - 4 beberapa penjelasan

Tafsir Surat Nuh 1 sampai 4  

Ayat 1

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya untuk menyampaikan agama-Nya, supaya mereka takut kepada azab-Nya yang dahsyat sebelum saatnya tiba, serta beriman dan mengikuti ajarannya.


Nabi Nuh adalah nabi dan rasul Allah yang ketiga setelah Adam dan Idris. Beliau diutus kepada kaumnya yang menyembah berhala. Allah memerintahkan Nuh agar berdakwah kepada kaumnya itu supaya mereka beriman kepada-Nya dan menghentikan penyembahan berhala. Allah mengancam bahwa jika mereka tidak mengindahkan peringatan itu, mereka akan ditimpa azab yang dahsyat sebagai akibat keingkaran mereka.

Ayat 2

Nuh segera berdakwah untuk melaksanakan tugas kerasulannya. Ia mengatakan bahwa ia benar-benar rasul Allah untuk mengajak mereka beriman dan meninggalkan penyembahan berhala.

Ayat 3

Dalam ayat ini, diterangkan isi seruan Nabi Nuh, yaitu:

Hendaklah mereka menyembah Allah saja, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Dalam perintah menyembah Allah yang disampaikan Nuh itu, terkandung isyarat agar mereka mengerjakan segala yang wajib, dan menghentikan segala yang diharamkan. Dari perintah Allah untuk hanya menyembah-Nya, dapat dipahami bahwa agama yang dianut kaum Nuh itu adalah agama syirik.

Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, yaitu melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.

Menaati segala yang diperintahkan dan dilarangnya, karena apa yang ia perintahkan dan larang itu berasal dari Allah. Menaati Nuh berarti menaati Allah. Untuk dapat beribadah dengan baik kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, kaum Nuh perlu mengikuti penjelasan dan contoh yang diberikan Nabi Nuh.

Ayat 4

Dalam ayat ini, diterangkan janji Allah kepada kaum Nuh bila mereka mematuhi seruannya, yaitu:

Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka. Dosa-dosa mereka karena menyembah berhala-berhala itu akan terhapus oleh keimanan mereka.

Allah akan memanjangkan umur mereka. Sekalipun umur mereka telah ditentukan, namun jika mereka beriman, Allah akan memanjangkan umur mereka dan menghentikan azab yang akan dijatuhkan kepada mereka. Melakukan yang demikian itu merupakan perkara yang mudah bagi Allah, karena Dia Mahakuasa dan Maha Menentukan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.

Sehubungan dengan masalah menangguhkan kedatangan ajal, yakni memanjang umur yang disebut dalam ayat ini, sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa Allah akan mengubah takdir yang telah ditentukan-Nya, jika Dia menghendakinya. Oleh karena itu, taat kepada Allah, melakukan perbuatan-perbuatan takwa, dan menghubungkan silaturrahim dapat memanjangkan umur manusia. Nabi Muhammad bersabda.


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَينُْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. (رواه البخاري)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa menghendaki diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menjalin silaturrahim. (Riwayat al-Bukhari)


Hal ini akan lebih jelas maksudnya jika dihubungkan dengan ilmu jiwa. Menurut ilmu jiwa, ada hubungan timbal-balik antara jasmani seseorang dengan rohaninya. Kesehatan rohani besar pengaruhnya terhadap kesehatan jasmani, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, orang dikatakan sehat jika jasmani dan rohaninya sehat. Pada umumnya orang yang tekun mengerjakan amal saleh dan menghubungkan silaturrahim adalah orang yang sehat rohaninya. Dengan perkataan lain, takwa kepada Allah dapat menghilangkan penyakit-penyakit rohani. Jika rohani sehat, tentulah jasmani sehat pula dan umur pun akan panjang.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa apabila Ia telah menetapkan ajal seseorang atau semua manusia, setelah ikhtiarnya, maka kedatangannya itu tidak dapat ditangguhkan atau tidak pula dapat dipercepat sesaat pun.

disalin kembali oleh agus ahmad hidayat

Selasa, 30 Juli 2024

Kajian Hadist - sodaqah- hadis ke-26

 Hadits Kedua Puluh Enam


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang (yang berselisih) adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 2989 dan Muslim, no. 1009]


 


الحَدِيْثُ السَّادِسُ وَالعِشْرُوْنَ


عَنْ أَبي هُرَيرةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقةٌ ، كُلَّ يَوْمٍ تَطلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ : تَعدِلُ بَينَ الاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقةٌ ، والكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقةٌ ، وبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقةٌ ، وتُمِيْطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ )) . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.




Sulamaa bermakna persendian. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah tulang.


Terdapat hadits dalam Shahih Muslim bahwa tubuh kita ini memiliki tiga ratus enam puluh persendian. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ


“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan memiliki tiga ratus enam puluh persendian.” (HR. Muslim, no. 1007)


“Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit” bermakna setiap hari diwajibkan bagi anggota tubuh kita untuk bersedekah. Yaitu diwajibkan bagi setiap persendian kita untuk bersedekah.


Akan tetapi dengan nikmat Allah, sedekah ini adalah umum untuk semua bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Setiap bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah termasuk sedekah. Berarti hal ini tidaklah sulit bagi setiap orang. Karena setiap orang selama dia menyukai untuk melaksanakan suatu qurbah (pendekatan diri pada Allah) maka itu akan menjadi sedekah baginya.


Kalimat yang thayyib (kalimat yang baik) ada yang berupa thayyib di sisi Allah seperti bacaan tasbih, takbir, dan tahlil. Ada juga thayyib di sisi manusia dengan berakhlak yang baik. Semua termasuk sedekah.


Setiap langkah menuju shalat adalah sedekah baik jarak yang jauh maupun dekat.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِىَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً


“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu dia berjalan menuju salah satu dari rumah Allah (yaitu masjid) untuk menunaikan kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan menghapuskan dosa dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim no. 1553)




Faedah hadits

Pertama: Wajibnya sedekah bagi setiap orang dengan setiap anggota badan pada setiap harinya mulai dari matahari terbit. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “’alaihi shodaqoh” menunjukkan wajibnya. Bentuk dari hal ini adalah setiap orang bersyukur kepada Allah setiap paginya atas keselamatan pada dirinya baik keselamatan pada tangannya, kakinya, dan anggota tubuh lainnya. Maka dia bersyukur kepada Allah karena nikmat ini.


Nabi telah memberikan ganti untuk hal tersebut yaitu untuk mengganti tiga ratus enam puluh persendirian sedekah dari persendian yang ada. Penggantinya adalah dengan mengerjakan shalat sunnah Dhuha sebanyak dua rakaat. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


« يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى»


“Pada pagi hari diwajibkan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Maka setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, dan setiap bacaan takbir adalah sedekah. Begitu juga amar makruf (memerintahkan kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat.” (HR. Muslim, no. 1704)


Kedua: Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Susunan tubuh dan selamatnya anggota badan merupakan nikmat Allah bagi hamba-Nya. Maka semua tulang dari tubuh ini punya bagian bersedekah sebagai bentuk syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:74-75).


Ketiga: Hadits ini menunjukkan keutamaan berbuat adil di antara dua orang yang berselisih. Dan Allah Ta’ala telah mendorong kita agar berbuat islah (perdamaian) sebagaimana dalam firman-Nya,


وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ


“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (QS. An-Nisaa’: 128)


Keempat: Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk menolong saudara kita, karena melakukan seperti ini termasuk sedekah. Baik dalam contoh yang diberikan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini atau perbuatan lainnya.


Kelima: Hadits ini memberi motivasi untuk berkata dengan perkataan yang baik. Hal itu bisa berupa dzikir, membaca, taklim, berdakwah dan lain sebagainya. Dan keutamaan berdakwah telah ditunjukkan dalam hadits,


مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ


“Barangsiapa menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 5007)


Baca Juga: Jalan Menuju Majelis Ilmu Dinilai Sedekah, Ini Alasannya


Keenam: Dalam hadits ini juga ditunjukkan mengenai keutamaan berjalan ke masjid. Dan berjalan pulang dari masjid juga akan dicatat sebagaimana perginya.


Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dulu ada seseorang yang tidak aku ketahui siapa lagi yang jauh rumahnya dari masjid selain dia. Dan dia tidak pernah luput dari shalat. Kemudian ada yang berkata padanya atau aku sendiri yang berkata padanya, ‘Bagaimana kalau kamu membeli unta untuk dikendarai ketika gelap dan ketika tanah dalam keadaan panas.’ Kemudian orang tadi mengatakan, ‘Aku tidaklah senang jika rumahku di samping masjid. Aku ingin dicatat bagiku langkah kakiku menuju masjid dan langkahku ketika pulang kembali ke keluargaku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ


“Sungguh Allah telah mencatat bagimu seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 1546)


Ketujuh: Dalam hadits ini terdapat keutamaan menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan juga ini termasuk cabang keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ


“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah. Yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Dan malu termasuk bagian dari iman.” (HR. Muslim, no. 162)


Kedelapan: Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah menyatakan bahwa amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits ini ada yang berupa ucapan, dan ada yang berupa perbuatan. Juga ada amalan yang qaashir (manfaat untuk diri sendiri) dan muta’addi (manfaat untuk orang lain). Semuanya termasuk sedekah. Amalan yang dicontohkan dalam hadits bukanlah pembatasan. Contoh yang berupa ucapan muta’addi adalah mendamaikan yang berselisih. Contoh yang berupada perbuatan muta’addi adalah membantu menaikkan orang lain atau barangnya ke atas kendaraannya. Adapun kalimat yang baik bisa berupa dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, mengajarkan ilmu, amar makruf nahi mungkar, ada yang termasuk ucapan yang qaashir dan muta’addi. Adapun langkah kaki ke masjid termasuk perbuatan yang qaashir. Sedangkan menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk perbuatan muta’addi.

Referensi:

Fath Al–Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr.

Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fii Syarh Khamsiin Hadiitsan min Jawami’ Al-Kalim. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H.Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya


dokumen agus ahmad hidayat

Senin, 29 Juli 2024

Membangun Keluarga Muslim

 MENDIDIK ANAK MUSLIM: MEMBANGUN  KELUARGA  KEBAIKAN

Oleh:abufyzco

Kasus Kerusakan Akibat Kelalaian dalam Pendidikan Anak  


Akhir-akhir ini muncul pemberitaan di media yang sering kali memperlihatkan dampak negatif dari keluarga yang tidak memperhatikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. 


Seorang remaja bernama Pio (nama samaran), misalnya, tumbuh dalam keluarga yang sibuk dengan urusan duniawi, mengabaikan pendidikan agama dan moral. Tanpa bimbingan yang benar, Pio terjerumus ke dalam pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, tindakan kriminal, dan bahkan abai kepada orangtuanya; yang akhirnya menghancurkan masa depannya. 


Lebih tragis lagi, orang tua Pio jatuh sakit karena memikirkan anaknya ini sampai meninggal; dunia yang dicari setengah mati seakan tak berguna. 


Ini adalah contoh nyata bagaimana kelalaian dalam mendidik anak bisa berdampak buruk pada mereka.


*Kita Semua Sejatinya adalah Keluarga Kebaikan*  


Kita semua sejatinya adalah keluarga kebaikan. Kita berasal dari yang baik, yakni fitrah manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan suci. Harapannya, kita akan kembali dalam kondisi baik kepada Yang Maha Baik. 


Mendidik anak dengan penuh cinta dan perhatian adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa mereka tumbuh dengan nilai-nilai kebaikan yang kuat. Ingatlah, Ayah Bunda, setiap kebaikan yang kita tanamkan dalam hati anak-anak kita adalah bekal mereka untuk masa depan yang lebih baik.


*Pesan Kunci Luqman Al-Hakim*  


Luqman Al-Hakim memberikan nasihat penting kepada anaknya yang tercantum dalam Al-Qur'an. Salah satunya adalah, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17). 


Pesan ini menekankan pentingnya shalat, amar ma'ruf nahi munkar, dan kesabaran, yang menjadi dasar dalam mendidik anak-anak kita. Ayah Bunda, mari kita ajarkan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sejak dini, menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan melatih kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.


*Pentingnya Parenting Kenabian*  


Betapa pentingnya kita menerapkan parenting kenabian kepada anak-anak kita. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam mendidik anak-anak dengan kasih sayang, hikmah, dan nilai-nilai luhur. 


Mengajarkan anak-anak dengan cara Rasulullah ﷺ mendidik adalah memastikan mereka tumbuh menjadi pribadi yang sholeh, kuat iman, dan berakhlak mulia. 


Ayah Bunda, mari kita jadikan Rasulullah ﷺ sebagai panutan dalam mendidik anak-anak kita. Didiklah mereka dengan cinta, kesabaran, dan keteladanan yang baik.

Keseimbangan Dunia-Akhirat 

Sebaiknya kita tidak membenturkan antara bekerja di dunia dan akhirat; antara menjemput rezeki dengan mendidik anak. Keduanya harus berjalan seiring dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 


Ayah Bunda, mari kita ingat bahwa rezeki yang halal dan berkah tidak hanya datang dari usaha kita di dunia, tetapi juga dari ketaatan kita kepada Allah dan bagaimana kita mendidik anak-anak kita.


Doa untuk Anak-Anak Kita

Sebagai orang tua, kita selalu berharap yang terbaik untuk anak-anak kita. Marilah kita panjatkan doa dengan menyebut nama lengkap ananda dan bin/bintinya, rasakan dahsyatnya getaran hati dan hubungan kita dengan ananda: "Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami (sebut nama lengkap dan bin/bintinya) anak yang sholeh dan sholehah, berikanlah kebahagiaan dan keberhasilan bagi mereka di dunia dan akhirat. Bimbinglah mereka dengan hidayah-Mu, dan lindungilah mereka dari segala keburukan. Aamiin."

Semoga kita semua dapat menjalankan peran kita sebagai orang tua dengan penuh tanggung jawab dan cinta, sehingga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang beriman, berakhlak mulia, dan sukses dunia akhirat. 


Mari kita terus berdoa dan berusaha, agar anak-anak kita menjadi kebanggaan kita di dunia dan penolong kita di akhirat.

Rabu, 24 Juli 2024

Mengapa aku ogah ogahan membina?

 Mengapa aku ogah ogahan membina?

Kita sering bertanya, “Apa yang menyebabkan spirit membina dan mentarbiyah surut, bahkan hilang tak berbekas?” Pertanyaan itu boleh jadi mewakili suara hati setiap kita, terutama yang sebelumnya sangat produktif membina, lalu lambat laun “daya membina” itu serasa sirna.

Pertanyaan itu saya temukan jawabannya pada Mei 2024, tepat di hari keduapuluh. Hari itu, saat peluncuran “Gerakan Indonesia Membina” di Pendopo Museum Pangeran Diponegoro, Yogyakarta, Gurunda Ustadz Aunur Rofiq Saleh Tamhid, Lc. mengurai jawabannya. Saya bersyukur hadir bersama 1.500 orang dalam majelis itu.

"Salah satu yang menjadikan seseorang tak lagi membina adalah bergesernya orientasi para murabbi pada dunia," ungkap Ustadz Aun. Menurut beliau, Alquran telah mengingatkan kecenderungan pergeseran orientasi yang perlu diwaspadai ini.


ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ


_Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir_. (Q.s. An-Nahl: 107).

Yang melemahkan "daya membina" dalam diri murabbi dan para dai adalah kecenderungan untuk mengutamakan dunia daripada akhirat. _istahabbul hayatad-dunya 'alal akhirah_. Menurut Ustadz Aun, ini penyakit. Bergesernya orientasi bukan perkara sederhana, sesungguhnya ia adalah toksik. Sayangnya, pergeseran orientasi ini berjalan halus dan pelan sehingga seseorang yang telah teracuni terkesan tak menyadari, bahkan ia malah menikmati.

Adakah gejala yang dapat mendeteksinya? Ada, yaitu gampang berdalih untuk meninggalkan amal dakwah dan pembinaan. Sekali lagi, gampang berdalih. Salah satu dalih yang banyak menyelubungi seseorang sehingga merasa asyik dalam cengkeraman orientasi toksik adalah pikiran "ini juga dakwah". Saking luasnya cakupan dakwah, tanpa disadari, saat kita berdalih meninggalkan kelas-kelas pembinaan seakan tak lagi ada beban.

Sekali lagi, dalih "ini juga dakwah" menjadikan kita enteng menempatkan kelas pembinaan di prioritas ke sekian. Kita mulai ringan untuk menabrak jadwal-jadwal kelas pembinaan, dan tak lagi punya beban saat meninggalkannya. Toh kita bisa menerapkan teknik "nggaduhke", mutarabbi bisa kita titipkan ke kelas yang lain. Lama kelamaan kita merasa nyaman dengan cara demikian. Akibatnya, kelas pembinaan menjadi terabaikan. Hubungan antara murabbi dan mutarabbi tak lagi terbangun kuat. Ketika satu persatu mutarabbi lepas, dengan gampang kita melakukan "blaming the victim": anaknya sulit dikontak, memang mereka tidak militan.

Perihal kecenderungan gampang berdalih, Alquran telah mengsiyaratkannya. Betapa gampang seseorang menjadikan bisnis, kerja, tugas kuliah, keluarga, atau apapun sebagai dalih untuk abai terhadap kerja-kerja pembinaan. 


سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ الْأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا ۚ يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا ۚ بَلْ كَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا


_Orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan._ (Q.s. Al-Fath: 11).

Dalih-dalih itu terkesan logis. Tapi Alquran menyingkap motif di balik semua dalih itu, yaitu orientasi yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. _Yaquuluna bi alsinatihim maa laisa fii quluubihim_. 

Omongan di lisannya tak sama dengan motif yang tersembunyi di dalam hatinya. Dalih meninggalkan kelas pembinaan itu memang terkesan logis dan seakan dapat dibenarkan, tapi kita perlu menelisik lebih dalam; jangan-jangan ia indikasi dari bergesernya orientasi kepada dunia daripada mengedepankan akhirat. Sekali lagi dalihnya begitu manis: ini juga dakwah.

Maka mari kita tinjau ulang motif, pikiran, dan perasaan kita tentang dakwah dan tugas-tugas pembinaannya. Mulai tumbuhkah lintasan pikiran untuk enteng menempatkan tugas pembinaan di nomor kesekian, dibandingkan dengan tarikan-tarikan yang lain.

Mulaikah ada pikiran, _"Wah, kelompokku lebih progresif. Sekarang kami tidak lagi membicarakan rekrutmen dan pembinaan. Topik-topik kami sekarang mulai fokus pada pengembangan karir, membangun jejaring ke luar negeri, dan menggarap proyek-proyek bernilai tinggi."

Mulaikah kita menempatkan karir profesi lebih patut dipuji-puji, sementara karir membina seakan tugas rendahaan? Mulaikah kita menjadikan gairah mengejar posisi lebih utama daripada tugas-tugas membina? Mulaikah kita menganggap pendekatan "bitingan" dalam meraih dukungan politik lebih penting daripada menekuni kebersamaan dengan binaan?

Mari kita menelisik ke dalam diri kita masing-masing.


 

Selasa, 23 Juli 2024

Menjaga Kebersihan Hati

Menjaga kebersihan hati (lebih berat daripada melawan pengaruh materi)


Khairan Muhammad Arif


Saudaraku, 

sesungguhnya perjuangan berat kita dalam kehidupan menuju Allah ini, adalah perjuangan meluruskan, membersihkan dan mensterilkan Hati dari tujuan dan kecenderungan pada selain Allah 'Azza wajalla. Perjuangan meluruskan Niat, memurnikan visi misi dan tujuan hanya kepada Allah dan Akhirat, jauh lebih berat ketimbang menaklukkan keinginan materialisme duniawi berupa harta tahta dan wanita.


Mengapa demikian?, karena menahan diri dan keinginan yang bersifat harta, tahta dan wanita semuanya bersifat fisik, dimana ketika godaan fisikal terpuaskan, maka biasanya keinginan materialisme itu melemah seketika, lalu biasanya melahirkan kesadaran, hijrah kemudian pertaubatan. 


Lain halnya, bila syetan menghujamkan tipu daya dan godaannya pada hati dan jiwa dengan cara membisikan secara halus perasaan ghurur, ujub dan riya' bahwa; _"Engkau sudah 'Alim, sudah banyak ibadah, banyak berdakwah, banyak jasa dan seterusnya, karenanya engkau layak dipuji, disanjung dan dihormati"_, maka pada saat itu hilanglah semua pahala  amal ibadahmu, sementara engkau tidak menyadarinya, bahkan mungkin engkau menikmatinya. 


Hidup ini adalah ibadah, dimana kita dituntut oleh Allah agar terus ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan tujuan lain dalam ibadah dan perjuangan Allah berfirman: _"Siapa yang ingin bertemu Tuhannya, maka jangan ia mensekutukan-Nya dengan yang lain dalam ibadahnya"QS, Al-Khafi: 110


Godaan perubahan orientasi dan niat itu sangat sensitif dan halus, di jalan menuju masjid, di dalam masjid bahkan di dalam sholatpun niat dan tujuan kita bisa berubah seketika karena bisikan syetan. Anda berada dalam tugas dakwah, mengajar, berjihad dan seterusnya tidak luput dari bisikan halus syetan. Godaan pujian, penilaian dan popularitas dimata manusia sangat sulit dihindari bila tidak disadari.


Pada level ini, tidak semua semua Ulama, Da'i dan Ustadz atau kyai lolos dan lulus, banyak yang rontok dan terjerumus.


Ada hadits panjang yang sangat ditakuti oleh para ulama salaf, ringkasnya adalah "Pada hari kiamat Allah Ta'ala menanyakan sekelompok Mujahid, Ulama dan Qari', "mengapa engkau berjihad?..Aku berjihad untuk meninggikan agama-Mu, Allah berfirman: "Kamu dusta, kamu berjihad agar disebut mujahid, dan manusia telah menggelarmu mujahid, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka jahannam, demikian pula dengan para Ulama dan Qari tersebut" [HR. Muslim, Ahmad & Ibnu Majah].


Perhatikan hadits shahih di atas, bagaimana amal fisik yang hebat, berubah jihad di medan perang, dakwah dengan ilmu dan baca Al-Qur'an para hafidz hasilnya dilemparkan ke dalam neraka jahannam, karena tercemarnya tujuan dan misi yang ada dalam hati.


Oleh karena itu, hati bila tidak sering diluruskan dan didudukkan pada niat aslinya akan menghasilan amal yang sia-sia. Ibnu Qayim rahimahullah berkata: _"Seorang yang tidak sempat Qiyam Lail, karena rasa penat dan kelelahan, lalu ia sedih dan menyesal dipagi harinya, jauh lebih baik dari seorang yang melakukan Qiyamullail semalam suntuk, lalu dia bangga dengan ibadahnya di pagi harinya"_.


Berapa banyak hamba yang  beribadah dan berdakwah puluhan tahun, namun hilang seluruhnya, hanya karena mereka menukarnya dengan, pujian dan penilaian manusia atas kerja dan amanah yang diberikan pada mereka, dia menilai bahwa kesholehan dan dakwah keumatan yang dilakukannya selama ini memang pantas untuk pujian manusia.


Oleh karenanya, bila kita merasa bahwa berjuang melawan godaan harta, tahta, dan wanita itu berat, maka ketahuilah itu baru fase godaan anak-anak dan remaja, mestinya godaan fase material seperti ini, tidak lagi menjadi masalah bagi para salikin dakwah dan mukminin. 


Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, seorang ulama dunia kontemporer, beliau telah melahirkan ribuan ulama dunia dan karya ilmiah, suatu ketika dalam konferensi ulama dunia, beliau dipuji dan disebutkan jasanya atas dunia Islam oleh seorang peserta konfrensi, beliau lalu menyampaikan cermah kurang lebih isinya: _"Wahai saudaraku para Ulama, tolong jangan menyebut-nyebut amal dan kebaikanku, karena aku takut, semua pahala perjuanganku untuk Rabb-ku dan agamaku, tidak akan aku dapati lagi di akhirat karena kalian sudah sebutkan di dunia"_.


Mengapa banyak kaum salaf tidak sering mengomentari perbedaan pendapat dalam masalah furuiyah yang terjadi ditengah umat, diantaranya karena mencegah godaan riya dan ujub, sebab bahaya ujub dalam hati lebih berbahaya dari amal-amal yang dilakukan berdasarkan dalil yang mukhtalaf fiih.


Saudaraku para Ustadz,  Da'i dan Ulama, sesungguhnya marhalah perjuangan melawan godaan materi telah lewat, karena godaan dan tantangan sesungguhnya adalah godaan yang bersifat abstrak dan bathin yaitu HATI. Seluruh upaya puncak syetan dalam menggoda dan menggelincirkan hamba adalah di HATI, makanya Allah, Rasul dan para Salaf selalu mengingatkan kita untuk mengontrol dan memenej HATI dengan baik.



Bekasi, 1 Muharram 1445H

Jangan Risau - dalam penyebaran dakwah

 LAA TANSA YA UKHAYYA

- -Tarbiyah merupakan proses mengantarkan sesuatu secara berkelanjutan, tahap demi tahap, demi mencapai tingkat kesempurnaan--------


                                          Kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang dapat melakukan sesuatu  langsung jadi. Namun, walaupun begitu, Dia tidak menciptakan makhluk-makhluk-Nya sekali jadi. Penciptaan alam semesta, seperti langit dan bumi, diciptakan dengan bertahap melalui proses yang teliti. 


Seekor nyamuk, walaupun kecil, Allah ciptakan dengan mekanisme yang rapi.  Demikian juga dengan penciptaan manusia insani (Q.s. Al Mukminun: 12-16). 


Semua makhluk diciptakan-Nya dengan proses yang bertahap dan  bertingkat.  Sebenarnya bagi Allah tidak ada keharusan melakukan proses itu. Dia Mahakuasa untuk berbuat apapun sesuai dengan  kehendak dan iradah-Nya. Firman-Nya:


إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ


“Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah (sesuatu) itu.” (Q.s. Yasin: 82)


Nah, generasi sahabat, yang merupakan umat terbaik, ternyata juga terbentuk melalui proses panjang dan tidak sekali jadi. Tarbiyah rabbaniyah yang membentuk generasi ini.  Dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun, Rasulullah saw terus mengayomi. 


Demikianlah, ternyata siapapun juga harus menjalani proses ini. Terlebih dalam  membina umat ini. Agar kembali kepada jati dirinya yang asli, yaitu dinul Islam yang murni. 


Hanya ada satu cara untuk itu: tarbiyah rabbaniyah, bukan yang lainnya. Tarbiyah merupakan proses mengantarkan sesuatu secara berkelanjutan, tahap demi tahap, demi mencapai tingkat kesempurnaan. 


Adanya perubahan merupakan indikasi tarbiyah itu berjalan secara baik. Dengan demikian, tarbiyah adalah assessment dan pengelolaan  perubahan melalui mekanisme pembinaan dan pembentukan untuk melahirkan kader-kader dakwah yang loyal, berkarakter dan mumpuni. 


Tarbiyah juga bermakna penyelamatan manusia dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam. Ia adalah ‘harakatul inqadz’,  yaitu gerakan penyelamatan umat manusia dari nominator ashabun-nar  menjadi ashabul-jannah. Firman Allah Ta’ala:


ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ

 

“Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah thagut. Mereka (thagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.s. Al-Baqarah: 257)


Satu keharusan  dalam tarbiyah adalah  munculnya perubahan (at-taghyir). Perubahan itu sendiri  merupakan ketetapan Ilahi  yang sudah terpatri. Didasari oleh satu ketentuan yang masih misteri. Namun pasti terjadi. Semua manusia pasti mati. Bukankah manusia mengalami fase demi fase, tingkat demi tingkat semenjak lahir hingga mati?  


لَتَرۡكَبُنَّ طَبَقًا عَن طَبَقٍ

                                                                                                                                                                        “Sungguh, kamu benar-benar akan menjalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).” (QS. Al-Insyiqaq: 19)


Perubahan dalam diri  mutarabbi pasti terjadi,  jika materi-materi yang disampaikan sesuai alurnya dan rinci. Perubahan pertama kali terjadi dalam wilayah maknawi dalam aspek keyakinan (akidah) dan pemikiran (fikrah). Perubahan ini biasanya serta merta, langsung dan mendalam. Bersifat inqilabi, yakni berubah secara total dan cepat. 


Dari sinilah muncul loyalitas, komitmen, ghirah dan semangat. Ini adalah tiang pancang pembentukan kepribadian kader  selanjutnya. Semakin kuat tiang pancangnya,  semakin kokoh pula  bangunannya. Dalam dunia konstruksi tiang pancang  disebut ‘pile’, yaitu bagian dari struktur yang digunakan untuk menerima dan mentransfer beban dari  struktur atas ke tanah penunjang yang terletak pada kedalaman tertentu. Semakin dalam pile, semakin kuat bangungannya.  Pile menjadi ikatan yang kokoh antara bangunan dengan tanah yang menjadi tempat berpijaknya. Firman Allah Ta’ala:


لَآ إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّ ۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِن بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)


Sebaliknya, jika tonggak  tidak tajam dan dalam menghujam, ditambah lagi karat-karat  kekufuran  dan kejahiliyahan masih melekat, maka dapat dipastikan pile yang ada itu lemah. Pile seperti ini membahayakan  bangunan yang ada di atasnya. Bangunan yang ada di atasnya rapuh  dan rawan roboh. Firman Allah Ta’ala:


أَفَمَنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ تَقۡوَىٰ مِنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٍ خَيۡرٌ أَم مَّنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَٱنۡهَارَ بِهِۦ فِى نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ


“Maka, apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan rida(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di sisi tepian jurang yang nyaris runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah: 109)


Yang kedua,  perubahan  itu  terjadi  dalam wilayah nyata (waqi’i). Perubahan ini tidak inqilabi akan tetapi tadarruji atau bertahap. Faktor yang terkait dengan kondisi dan situasi,   peristiwa dan  sikap yang ad diluar lingkungan tarbiyah menjadi varibel penting dalam perubahan ini.  Proses bertahap dan bertingkat harus dilakukan guna menjaga eksistensi dakwah dan tarbiyah ini. Sikap emosional dan tergesa-gesa akan menghasilkan kader yang prematur, gagap, eforia dan culture shock. Alih-alih ingin keberhasilan justru mendatangkan kerugian dan kontra produktif.  Firman Allah Ta’ala:


وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ


“Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” Di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang ditetapkan dalam kesesatan. Maka, berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl: 36)


Perubahan terjadi karena waktu yang berjalan. Tidak dapat dibendung oleh siapa pun atau oleh apapun.  Selama bumi masih berputar dan hayat masih di kandung badan,  akan terus terjadi perubahan.  Tidak ada pilihan lain selain menerimanya,  bahkan harus bersahabat dengannya. 


Perubahan merupakan bagian dari kehidupan yang tak dapat dipungkiri. Terjadi kapan saja, bahkan tanpa kita duga. Pertanyaannya, akankah kita melihat perubahan ini sebagai ancaman atau peluang? Terhadap perubahan maka yang bisa kita lakukan adalah bersahabat dengannya.  Menjadikannya sebagai peluang. 


Tanpa adanya perubahan, manusia akan menjadi stagnan dan tidak akan ada kemajuan, perkembangan, dan akan cenderung jumud. Perubahan dalam hidup akan selalu beriringan dengan adaptasi. Sayangnya, itu tidak mudah. Bahkan, tidak semua orang berani menghadapinya. Bahkan sebagian orang malah berusaha lari darinya. 


Lantas bagaimana dengan kader dakwah? Satu keharusan baginya  bersahabat dengan perubahan. Slogan tarbiyah madal hayah atau tarbiyah sepanjang hidup bermakna kesiapan untuk  menerima perubahan itu, sekaligus mengantisipasi agar dakwah tetap orsinil dan eksis. 


Walaupun seiring waktu, semua berubah,  namun tidak dengan tarbiyah. Ia tidak boleh dirubah, dihindari apalagi diganti. Perkembangan situasi dan kondisi bukan jadi alasan untuk membuang tarbiyah sejauh mungkin. Sekalipun dakwah sudah memasuki ranah politik dan kekuasaan. Bila ini terjadi berarti bunuh diri karena tidak percaya lagi dengan manhaj yang rabbani. Firman Allah Ta’ala:


وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً ۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٍ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ

 

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (QS. At-Taubah: 122)


Dalam ayat ini, Allah tetap memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu aktiv mengikuti tarbiyah. Dalam  situasi segenting apapun, seperti   peperangan, tarbiyah tetap harus berjalan, jangan sampai dilupakan karena hal itu tidak patut dilakukan. Tarbiyah madal hayah, tarbiyah madal zaman. Laa tansa ya ukhayya.

Menyikapi perbedaan dalam masalah furu'

 Akhlak Luhur Ulama Salaf Terhadap Khilafiyah Fiqih dan Furu'*


Ini adalah teladan bagi kita semua, apalagi yang mengaku sedang meniti jalan salaf. Tidak kita temukan sikap keras,  mau menang sendiri, apalagi sampai menuduh sesat kepada yang berbeda paham fiqih dengannya.


1.Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu*


Tertulis dalam _As Silsilah Ash Shahihah:_


فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله

عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن

أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين .


Diriwayatkan oleh  Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat. 


Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengingkarinya seraya berkata: _“Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”_


Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:


_“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”_


Abdullah bin Mas’ud menjawab: _“Perselisihan itu jelek.”_ 


Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in. 


(As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)


2.Imam Al Qasim bin Muhammad Rahimahullah*


Beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi'in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu 'Anhu.


Beliau ditanya oleh seseorang:


سألت القاسم بن محمد عن القراءة خلف الإمام فيما لم يجهر فيه, فقال: إن قرأت فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة، وإذا لم تقرأ فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة.


_Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya._


Beliau menjawab: _"Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam."_


(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)


*3⃣ Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah*


إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.


_“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”_


(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)


Tentang merutin Qunut Subuh, Imam At Tirmidzi berkata:


قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

  

_“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.”_


(Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)


*4⃣ Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan Rahimahullah*


Beliau berkata:


ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.


_Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu._


(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)


*5⃣ Imam Asy Syafi'i Rahimahullah*


Imam Asy Syafi'i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya Qunut Subuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada Qunut Subuh.


Diceritakan dalam _Al Mausu’ah_ sebagai berikut:


الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .


Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: _“Itu merupakan adab bersama imam.”_


 Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): _“Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.”_


(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)


*6⃣ Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah*


Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:


لا نفعله ولا نعيب فاعله


_Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya._


(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)


Tentang Qunut Subuh,  diceritakan tentang Imam Ahmad Rahimahullah :


فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.

  

Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah.


 Dia mengatakan: _“Jika Anda shalat di belakang imam yang berqunut, maka ikutilah qunutnya itu, dan aminkan doanya, semua ini untuk  menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”_


(Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)


Sebenarnya masih banyak lagi. Tapi, contoh-contoh sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka. 


Mampukah kita meneladaninya?