Kamis, 03 Oktober 2024

Sederhana dalam Beribadah

 


Sederhana dalam Beribadah


Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam al-Nawawi membuat sebuah bab khusus berjudul Al-Iqtishad fi al-Ibadah, sederhana dalam beribadah. Melalui ayat-ayat dan hadis-hadis yang disitirnya, Imam al-Nawawi secara eksplisit menegaskan bahwa dalam beribadah seorang muslim dianjurkan untuk sederhana dan proporsional, bekerja sesuai ritme, sehingga ibadah yang dilaksanakan mampu berlangsung maksimal dan khidmat.


Terdapat 2 ayat dan 11 hadis yang dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam bab tersebut yang diambil dari berbagai kitab induk hadis.


Dua ayat yang dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam bab ini adalah surat Thaha ayat 1 dan surat surat al-Baqoroh ayat 185, masing-masing memiliki terjemahan sebagai berikut,


مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ


 “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.”


يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ


“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”


Melalui dua ayat tersebut, Imam al-Nawawi hendak menegaskan bahwa beragama perlu dilaksanakan dengan maksimal, namun ia tidak mesti menjadikan susah orang yang melaksanakannya.


Melengkapi maksud ayat di atas, dicantumkan berikutnya hadis-hadis yang bersinggungan dengan tema terkait. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw,


“Suatu Ketika datang sekelompok orang menuju rumah isteri-isteri Nabi, mereka menanyakan perihal ibadah Nabi Saw. Tatakla mereka diberitahukan soal ibadah Nabi, mereka menilai hal tersebut sebagai sedikit. Dan seorang dari mereka berkata, “Di mana posisi kita dibanding Nabi Saw? Sedangkan beliau adalah sosok yang telah diampuni dosa yang telah lampau dan yang akan datang!


Kemudian berkata salah seorang dari mereka, “Saya akan shalat sepanjang malam penuh tanpa jeda!” yang lain berkata, “Saya akan puasa selama setahun penuh tanpa berbuka!” yang lain berkata, “Saya akan menjahui perempuan dan tidak akan menikah selamanya!” Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata kepada mereka, “Kalian yang ngomong seperti tadi? Demi Allah Adapun saya adalah orang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt dan saya adalah yang paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Barangsiapa yang benci akan sunnahku maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Bukhari).


Segenap sahabat yang menginginkan ibadah tanpa henti tersebut ditegur oleh Rasulullah Saw langsung agar tetap stabil dalam beribadah, tidak memaksa diri sehingga melalaikan yang lain. Hal ini tentu merupakan salah satu upaya Nabi menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan, dan bahwa koridor tersebut telah disesuaikan dengan kadar kemampuan kita sebagai manusia yang memiliki berbagai kesibukan kehidupan, sehingga ia tidak memberatkan. Bayangkan jika Rasulullah membenarkan seseorang tersebut untuk berpuasa selama setahun tanpa berbuka sedangkan badannya perlu diasup makanan, untuk shalat sepanjang malam tanpa tidur sedangkan besoknya ia berkewajiban mencari nafkah, untuk tidak menikah selamanya sedangkan pengadaan keturunan manusia harus terus berlanjut?


Hadis lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu juhayfah Wahb ibn Abdullah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Saw mempersaudarakan Salman al-Farisi dengan Abu al-Darda’. Suatu ketika Salman mengunjungi Abu al-Darda’, ia mendapati bahwa Umm al-Darda’ berpakaian ala kadarnya (tidak bersolek). Kemudian ia berkata, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu al-Darda’ tidak ada minat terhadap dunia.”


Kemudian datang Abu al-Darda’, membuatkan untuk Salman seporsi makanan, kemudian ia berkata, “Makanlah, wahai Salman, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sampai kamu juga ikut makan,” maka kemudian ia ikut makan. Tatkala tiba malam, Abu al-Darda’ bangun (hendak melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata, “Tidurlah” Kemudian ia tidur. Kemudian Abu al-Darda’ hendak bangun lagi (dengan niat yang sama, yakni melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata padanya, “Tidurlah”


Kemudian, tatkala tiba akhir malam, Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sekarang bangunlah,” maka keduanya menunaikan shalat malam bersama. Kemudian Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliku hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, maka tunaikanlah setiap hak tersebut pada tempatnya” Kemudian datang Rasulullah Saw dan ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi, Nabi bersabda, “Telah benar Salman.”


Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas menjelaskan posisi Nabi yang membenarkan Salman melarang saudaran Abu al-Darda’ untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, jika dengan hal tersebut malah akan memudaratkannya. Hal ini sebagaimana disimpulkan oleh Mustafa Said al-Khan dari hadis tersebut perihal kebolehan pelarangan pelaksanaan ibadah-ibadah mustahabb (yang dianjurkan, sunnah) jika hal tersebut berdampak pada penghilangan hak-hak yang seharusnya ditunaikan.


Ibadah yang kita lakukan seyogyanya dilaksanakan dengan khidmat dan sesuai dengan kadar kondisi dan kemampuan kita. Selain dituntut mengerjakan hal-hal yang wajib, kita juga sangat dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai pelengkap ibadah wajib kita. Kendati demikian, kita tetap perlu menakar diri agar ibadah yang kita lakukan tidak membuat kita bosan, kita perlu menjaga ritme ibadah kita agar senantiasa terasa khidmat, dan kita perlu berhati-hati agar tidak menjadi golongan yang berlebihan dalam beribadah. (ditulis ulang oleh agus ahmad hidayat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar