Rabu, 16 November 2016

Membaca petikan Novel Kubah-Ahmad Tohari-Halaman 54-56

Bagian ketiga
Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935 ayahnya seorang mantri pasar di sebuah kota kecamatan. Waktu itu gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa Pegaten adalah petani. Maka ayah Karman sangat bangga akan jabatannya sebagai pegawai gubermen.
Dia tidak suka dipanggil dengan nama aslinya. Itulah sebabnya orang Pegaten hampir lupa siapa nama ayah Karman yang sesungguhnya. Sehari hari lelaki yang selalu bertopi gabus itu biasa dipanggil sebagai Pak Mantri. Dan karena begitu membanggakan kepriyayiannya pak manteri merasa dirinya tak pantas menggarap sawah. Padahal  dia punya satu setengah hektar warisan orang tuanya. Setiap tahun sawah Pak Mantri disewakan kepada petani penggarap.
Pada masa pendudukan Jepang, orang orang Pegaten mengalami masa yang sangat sulit. Kurang pangan terjadi di mana mana karena padi orang kampung dijarah oleh tentara Jepang. Kemarau selama sembilan bulan juga ikut menyengsarakan semua orang. Di Pegaten orang sudah beruntung apabila masing bisa mekan ubi ubian, tidak terkecuali keluarga Pak Mantri. Priyayi itu sangat tersiksa, bukan hanya karena harus makan ubi. Menurut keyakinannya, seorang mantri hanya pantas makan nasi dari beras kualitas terbaik. Ubi tak pantas dihidangkan kepada Pak Mantri,  baik pada zaman normal maupun pada zaman Jepang.
Dalam kesulitan memperoleh beras, Pak Mantri mengetahui bahwa Haji Bakir berhasil menyembunyikan sebagian padinya sehingga luput dari jarahan tentara Jepang. Dengan keyakinan bahwa dirinya hanya pantas makan nasi, Pak Mantri menemui Haji Bakir
Mantri pasar itu ingin melakukan tukar menukar; ia akan memberikan sebagian sawahnya dan Haji Bakir diminta memberinya padi. Dalam suasana kurang pangan yang amat rawan itu, padi memang menjadi benda yang amat mahal.
Pada mulanya Haji Bakir tidak ingin melayani ajakan Pak Mantri. Karena, padi yang berhasil ia sembunyikan sebenarnya tak seberapa, malah diperkirakan tak cukup untuk keperluan keluarga besarnya. Namun karena terus didesak, juga karena takut rahasia simpanan padinya di bocorkan, akhirnya Haji Bakir mengalah. Dan terjadilah tukar menukar itu. sebagian sawah Pak Mantri ditukar dengan lima kwintal padi.
Belum lagi lima bulan, padi milik Pak Mantri yang diperoleh dari tukar menukar itu habis. Menyusul kemudian tukar menukar yang kedua, dan akhirnya habislah warisan milik priyayi Pegaten itu. namun tak mengapa. Pak Mantri sangat yakin akan tiba kembali zaman normal. Ia akan kembali menjadi mantri pasar, duduk di gardu atau mengedarkan karcis rertribusi, dan menerima gaji setiap akhir bulan. Sialnya masa lalu yang ditunggu Pak Mantri tak pernah kembali.
Kemudian pecah perang kemerdekaan. Tatanan kemasyarakatan porak poranda. Pasar seakan bubar. Masyarakat teerbelah dua; satu ikut republik dan sebagian kecil lainnya ikut pemerintahan sipil belanda yang sedang dicoba kembali ditegakkan. Pak Mantri, karena cinta kepada kepriyayiannya, tidak ikut barisan rrepublik yang di Pegaten dimotori oleh plemuda kampung dan para santri. Namun plilihan Pak Mantri salah. Dia tak pernah kembali jadi mantri pasar karena para pemuda pujuang membawanya ke hutan. Ayah Karman itu tak pernah terelihat kembali oleh anak istrinya.
Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik perempuan yang msih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaporan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan. Apalagi setelah terjadi kekerasan oleh tentara belanda di plegaten tahun 1948. Bersama ibu dan adiknya, Karman pergi mengungsi jauh ke pedalaman. Belanda lalu membuat markas pertahanan di Pegaten.
Setelah datang masa aman Karman dan ibunya pulang ke Pegaten. Masa kurang pangan bereakhir. Namun Karman kecil harus menerima kenyataan bahwa dia dan ibunya sudah tak punya apa apa lagi. Untunglah, karena panen padi selalu bagus maka orang Pegaten kurang peduli terhadap ubi dan singkong di ladang mereka. Maka Karman yang masih bocah biasa mengumplulkan singkong dari ladang orang dan dibawa pulang sebagai bahan makanan. Singkong direbus, singkong ditanak, atau malah singkong cukup dibenam dalam api sampai empuk; semuanya cukup buat mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.
Hingga dua tahun lamanya Karman hidup dengan singkong. Hanya sesekali dia menemukan sebungkus nasi, itu pun bila dia punya kesempatan bermain dengan Rifah, anak bungsu Haji Bakir. Rifah masih kecil, usianya beberapa tahun lebih muda daripada Karman. Banyak cara bisa dilakukan agar Karman bisa bermain dengan gadis cilik itu. Untuk Rifah, Karman harus punya sesuatu yang menarik hatinya. Misalnya mainan baling baling yang terbuat dari daun kelapa. Tanpa dipancing pancing, jika Rifah melihat mainan itu, pasti di akan memintanya. Rifah yang agak dimanjakan biasa memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Novel Kubah-Ahmad Tohari-Halaman 54-56
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar