Rabu, 23 Agustus 2017

Menilai fiksi cerita pendek "Mata yang Enak Dipandang"

Lembar Kerja Siswa
Kelas XII semester 1
KD 3.7 menilai isi dua buku fiksi kumpulan cerita pendek atau kumpulan puisi dan satu buku pengayaan nonfiksi yang dibaca
KD 4.7 menyusun laporan hasil diskusi buku tentang satu topik baik secara lisan maupun tulis

Bahan cerita pendek karya Ahmad Tohari

Mata yang Enak Dipandang

Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering compang camping, dan gelisah. Mirta merekam lintang pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula, Mirta mencoba menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya. Namun, Mirta segera sadar bahwa Tarsa sengaja meninggalkan dirinya di tempat yang terik dan sulit itu. memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah pemerasan dan kali ini untuk segelas es limun. Pagi tadi, Tarsa sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa sehingga kaki Mirta menginjak tai anjing. Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta membelikan lontong ketan.
Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka , meski kepalanya terasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tidak ingin memanggil Tarsa. Berkali kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mirta betul betul tidak menyerah kepada penuntunnya. Dan matahari pukul satu siang tidak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus menembut batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang kunang. Mirta mulai goyang. Ia mulai bergerak untuk mencari tempat yang teduh dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.
Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mirta berdiri goyang di atas gili-gili. Kunang kunang lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang keropos. Dua kakinya bergerak lagi. Kini Mirta bukan hendak menyeberang, melainka menyusur trotoar. Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau tidak ingin mati kering seperti dendeng. Namun, barus beberapa kali melangkah, Mirta melanggar sebuah sepeda yang diparkir melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta merta menindihnya. Suara berderak disambut sorak sorai dari seberang jalan. Dan itu suara Tarsa.
Pemilik sepeda datang hanya untuk mengurus kendaraannya. Tarsa yang sejenak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung di sebarang jalan, juga datang. Tetapi, Tarsa hanya menonton ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri. Tangan Mirta menggapai gapai sesuatu yang mungkin bisa dijadikan pegangan. Karena tangannya gagal menangkap sesuatu maka Mirta tidak bisa tegak. Ia jongkok seperti mayat yang dikeringkan. Kepalanya terasa menjadi gasing yang berputar makin lama makin cepat. Kesadaran mulai mengawang. Meski begitu, Mirta tahu Tarsa sudah berada di dekatnya. “Panas, Kang Mirta?”
“panas sekali, bangsat?” kata Mirta dengan suara kering dan samar.
“Sekarang kamu mau membelikan aku es limun. Iya kan ?”
Mirta tak menjawab. Namun, Tarsa mengerti bahwa Mirta sudah tak tahan lagi berada lebih lama di bawah matahari. Tarsa sudah tahu bahwa Mirta menyerah. Maka tanpa tawar menawar lagi Tarsa membawa Mirta menyeberang dan berhenti dekat tukang minuman. Segelas es limun diminumnya dengan rasa penuh kemenangan. Mirta juga minum. Bukan es limun, melainkan air putih” Segelas, segelas lagi, dan segelas lagi. Selesai membayar minuman, Mirta minta diantar ke tempat yang teduh.
Dalam bayangan pohon kerai payung depan stasiun, Tarsa kembali bergembira dengan yoyonya. Namun, Mirta duduk memeluk lutut, dia seperti bekicot.  Tiga gelas air putih yang baru diminumnya muncul kembali ke permukaan kulit, menjadi keringat untuk mendinginkan badan yang terlalu lama tersengat matahari. Rasa pening turus menggigit kepalanya. Dan Mirta terhuyung ke samping karena tanah yang didudukinya terasa miring dengan terus bertambah miring. Ketika merasakan tanah semakin cepat berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai udang. Keringatnya mulai mengering karena sapuan angin. Tapi, wajahnya perlahan lahan berubah pucat. Nafasnya megap megap terdengar lirih dari mulutnya, lalu segalanya tampak tenang. Mirta terbujur diam di bawah krea payung depan stasiun. Mirta tertidur atau Mirta pingsan. Dan di dekatnya , Tarsa tetap bergembira dengan yoyo yang melesap turun naik di tangan.
Tanpa sedikit pun berkedip, matahari terus beringsut ke barat. Bayangan kerai payung bergerak ke arah sebaliknya dan lama lama wajah Mirta bertatap langsung oleh matahari. Terik yang kembali menyengat kulit muka membuat Mirta terjaga atau siuman.  Dan hal yang pertama yang dirasakan ketika Mirta mencoba duduk adalah rasa dingin yang merambah seluruh badan. Mirta menggigil dan bel stasiun berdentang nyaring. Pengumuman berkumandangan -kereta akan segera masuk. Tarsa menggulung yoyonya dan berbalik ke arah Mirta.
“Kereta datang.”, Kang. Ayo , masuk.  Nanti ketinggalan.
Tarsa tak sabar. Diraihnya tangan Mirta. Kere ini harus apa lagi kalau tidak mengemis kepada para penumpang, pikir Tarsa. Tetapi, Tarsa terkejut ketika menyentuh tangan Mirta. Panas. Tarsa juga melihat bibir Mirta sangat pucat “Kamu sakit, Kang?”
“tidak, “ jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan Mirta.  Memang panas. Dan bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah ragu.” Bila kamu tidak sakit ayo bangun. Kamu kere bukan, yang namanya kere harus ngemis bukan?”
“kali ini aku malas.”
“tapi uangmu sudah habis, dan kita belum makan. Kamu juga belum kasih aku upah. “. “ya,” perolehan hari ini memang sangat sedikit. “
“itu salahmu. Kikira kamu tolol tak pandai mengemuis”
“tolol?” Aku sudah puluhan tahun jadi kere.
Sudah puluhan anak jadi penuntunku, tapi baru bersamamulah aku sering tak dapat duit. Jadi, siapa yang tolol?”
“Kang, aku membawamu ke mana mana . Kamu sudah ku hadapkan para semua orang, ke semua penumpang, jadi, kalau kamu tak dapat duit, kamu sendiri yang totol kan?”
“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang yang biasanya mau kasih recehan. Di depan orang-orang seperti itu, kita harus lama bertahan.”
“Omong kosong. Bagaimana aku bisa mengenali orang seperti itu?”
“Betul, kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang yang suka memberi receh punya mata lain.”
“Ah, taik kucing.”
“Sudah kubilang, aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata teman teman yang melek, mata orang yang suka memberi memang beda.”
“tidak galak”
“Ah, betul. Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi, tidak galak. Mata orang yang suka memberi kata teman teman yang melek, enak dipandang.”
Tarsa nyengir. Ada suara gemuruh dan bunyi rem logam yang mengusir telinga. Kereta masuk.
“Akan kucari penumpang-penumpang yang matanya enak dipandang . Ayo, Kang Marta, kita jalan.”
Mira tidak sedikit pun bergerak.
“Sudah kubilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru datang? Kereta utama, bukan? Kita tidak akan bisa masuk tereta seprti itu. Ngemis lewat jendela pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas tiga.”
“Tapi kita belum makan, Kang?”
“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja kereta kelas tiga.”
Tarsa dia meski hatinya jengkel bukan main. Bukan hanya jengkel kepada Mirta melainkan juga kepada kata katanya yang benar belaka. Tarsa ingat memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat berpasang pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu. Mata yang menyesal karena telah bertatap sosok kere picek dan penuntunnya,  mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.
Ada bunyi keruyuk di perut. Tarsa menelan ludah. Ia mencoba melupakan semua dengan yoyonya. Tetapi, bunyi dari perutnya makin sering terdengar. Tarsa keluar dari bayangan kerai payung, berjalan tak menentu dan berbalik lagi. Ia ingin mengajak Mirta, untung untungan mengemis kepada penumpang kereta yang baru datang. Tetapi dilihatnya Mirta sudah rebah kembali. Tubuhnya menggigil dan terasa sangat panas. Ketika Tarsa meraih tangannya, Tarsa memandangi laki-laki itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu lama demi segelas es limun. Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari kacung bagi kere yang kini menggelatak di tanah di depannya; sialan hidupku tergantung hanya kepada kere tua dan keropos kedua matanya itu.
Peluit lokomotif berbunyi nyaring dan kereta kelas satu berangkat. Mata mata sedingin mata bambu yang datang dari dunia sangat jauh bergerak meninggalkan stasiun. Matahari melirik tajam dari belahan langit sebelah barat. Ada pengemis buta terbujur lunglai di bawah pohon kerai payung di depan stasiun. Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan lelaki yang meski kere dan buta, namun dialah satu-satunya orang yang tiap harinya memberinya upah. Bahkan, Tarsa benar-benar takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya dia ikuti saja semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati, Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta lebih berpengalaman.
Bel di stasiun kembali berdering. Diumumkan kereta lain akan masuk. Tarsa hafal, yang akan tiba adalah kereta kelas tiga dari Surabaya. Ditolehnya Mirta yang masih tergeletak di tanah. Mulut Mirta setengah terbuka, bibirnya sangat pucat. Napasnya pendek-pendek. Ketika diraba, tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
Kereta masuk dan remnya terasa menggores hati. Perut Tarsa berkeruyuk. Tarsa menggoyang tubuh Mirta, tetapi ragu. Maka, Tarsa hanya berbisik di telinga laki-laki buta yang tengah tergolek itu. lirih bisiknya.
“Kang Mirta, bangun. Kereta kelas tiga datang. Ayo, kita cari orang-orang yang matanya enak dipandang.”
Tak ada reaksi apa pun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring ke barat, namun panasnya masih menyengat. Tarsa gagap, dan mengulang berbisik di telinga Mirta.
“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan?”
Hening

Sumber: Tohari, Ahmad, 2000
Nyanyian Malam, Jakarta:Grasindo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar