Kaum Liberal menyudutkan Islam melalui issue Poligami
Gegara pernyataan Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), perbincangan mengenai poligami kembali mencuat dan terus menjadi kontroversi.
Banyak yang mengecam pernyataan Grace, salah satunya adalah KH. Cholil Nafis yang menganggap Grace dan yang sependapat tidak paham soal syariat poligami dan meminta agar mereka fokus pada persoalan kebangsaan yang lebih subtansial dan mendesak. Namun demikian, tidak sedikit pula yang mengamininya terutama dari kalangan orang-orang liberal dan sebagian kaum wanita yang baperan.
Salah satu dalil utama dan menjadi andalan mereka yang menolak atau tidak setuju dengan praktik poligami adalah hadis Nabi SAW yang melarang Sayidina Ali karramallah wajhah memadu Siti Fatimah RA.
Menurut mereka, Siti Fatimah yang putri seorang Nabi saja tidak mau dipoligami, apalagi yang bukan putri nabi. Nabi SAW melarang putrinya dimadu karena khawatir tersakiti, yang berarti poligami memang menyakitkan dan sudah sepantasnya tidak dilakukan atau bahkan dilarang.
Ada pula yang mengatakan bahwa berdasarkan hadis tersebut suami harus ijin istri untuk berpoligami, jika istri pertama tidak mengijini maka haram berpoligami.
Nah, sebenarnya bagaimana sih maksud sebenarnya hadis tersebut? Kok Nabi SAW melarang Sayidina Ali memadu Siti Fatimah? Apa benar hal tersebut membuktikan bahwa poligami sebaiknya dilarang? Mari kita analisis dengan saksama.
Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar: “Sesungguhnya Hisyam bin Al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali, jika ia menginginkan Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang dapat menyakitinya, juga menyakitiku.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah! tidak akan bersatu putri Rasulullah dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya.” (HR. Muslim)
Miswar bin Makhramah juga meriwayatkan bahwa Sayidina Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, padahal dia sudah beristri Siti Fatimah, puteri Nabi Saw. Ketika Siti Fatimah mendengar hal tersebut, beliau mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, “Sesungguhnya, kaum Anda mengakatan bahwa Anda tidak akan pernah marah untuk membela putri Anda. Ini, Ali, akan menikahi anak Abu Jahal.”
Lantas, Rasulullah Saw bergegas dan aku mendengar, setelah selesai shalat, baginda berkata, “Amma Ba’du, aku telah menikahkan puteriku terhadap Abu al Asr bin ar-Rabi’ dan dia setia serta jujur terhadapku. Sesungguhnya, Fatimah bagian dari diriku, apa yang menyakitinya juga akan menyakitiku. Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri Rasulullah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya.” (HR. Muslim).
Hadis-hadis di atas lah yang sering dibuat dalil dan dasar oleh orang-orang yang menolak poligami dan berusaha melarangnya. Namun demikian, banyak dari mereka yang tidak melihat secara utuh hadis tersebut dan hanya memahaminya secara parsial sehingga kesimpulan yang didapat tidak komprehensif dan tidak tepat.
Pun, kebanyakan mereka mengartikan hadis tersebut sesuai dengan persepsi sendiri dan seringkali baper, terutama dari kalangan aktivis perempuan, serta hanya terpaku pada arti literal dengan mengabaikan konteks hadis dimaksud.
Untungnya, ulama dulu telah mengkaji hadis tersebut dengan saksama dan menginterpretasikan sesuai dengan konteks hadis. Toh, jika hadis tersebut dijadikan dalih poligami dilarang dalam Islam maka akan bertentangan dengan firman Allah dalam Alquran yang jelas-jelas melegalkan poligami.
Berdasar hadis di atas, menurut ulama, setidaknya ada empat faktor yang melatarbelakangi pelarangan Nabi SAW terhadap Sayidina Ali memadu Siti Fatimah.
Pertama, karena dapat menyakiti Siti Fatimah, menyakiti Siti Fatimah berarti menyakiti Nabi SAW sedangkan menyakiti Nabi merupakan salah satu dosa besar.
Ibnu al-Tin berkata, “Arti paling shahih (ashah) terhadap cerita ini adalah bahwa Nabi SAW melarang Sayidina Ali mengumpulkan antara putri beliau dan putri Abu Jahal, tersebab hal tersebut dapat menyakiti Nabi SAW dan menyakiti beliau hukumnya haram. Maka, (sebenarnya) putri Abu Jahal boleh dinikahi Sayidina Ali andai tidak ada Siti Fatimah di sisinya. Adapun mengumpulkan keduanya yang meniscayaan Nabi SAW sakit hati –karena menyakiti Siti Fatimah, maka tidak boleh.” (Fathu al-Bari, 9/328).
Imam Nawawi berkata, “Susungguhnya hal tersebut dapat menyakiti Siti Fatimah sehingga Nabi SAW juga akan tersakiti. Orang yang menyakiti Nabi SAW pasti celaka, sebab itu Nabi melarang hal tersebut karena beliau sangat menyayangi Sayidina Ali dan Siti Fatimah.” (Syarh Shahih Muslim, 3/16).
Kedua, khawatir terjadi fitnah terhadap Siti Fatimah dalam keberagamaannya. Seperti disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, Fatimah bagian dariku dan sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan difitnah dalam keberagamaannya.”
Demikian itu, karena rasa cemburu merupakan watak dasar setiap perempuan dan Nabi SAW khawatir Siti Fatimah cemburu dan melakukan hal-hal yang tidak pantas serta tidak seleras dengan derajat beliau sebagai panutan utama perempuan-perempuan muslimah.
Terlebih, beliau sudah tidak memiliki seorang ibu dan saudari-saudarinya pun meninggal satu persatu sehingga tidak memiliki tempat berkeluh kesah saat cemburu nanti.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Kejadian tersebut terjadi selepas penaklukan Mekah dan hanya beliau lah putri Nabi SAW yang tersisa, setelah ibunya wafat kemudian disusul oleh saudari-saudarinya, sehingga menyebabkan dia cemburu akan menambah kesedihannya.” (Fath al-Bari, 7/86).
Ketiga, ketidakbolehan mengumpulkan putri utusan Allah dan putri musuh Allah dalam perlindungan satu lelaki.
Seperti ditegaskan oleh Nabi SAW dalam hadis di atas, “Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri utusan Allah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya”.
Imam Nawawi berkata, “Ada kemungkinan maksudnya di antara bagian nikah yang diharamkan adalah mengumpulkan putri utusan Allah dan putri musuh Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 8/199)
Ibnu Qayyim berpendapat, “Larangan terhadap Sayidina Ali mengumpulkan Siti Fatimah dengan putri Abu Jahal memiliki hikmah yang amat besar, yaitu sesungguhnya derajat perempuan mengikuti derajat suaminya, tetapi jika perempuan itu sendiri memiliki derajat tinggi, pun demikian dengan suaminya sebagaimana Siti Fatimah dan Sayidina Ali maka memang tidak semestinya Allah menjadikan putri Abu Jahal bersama Siti Fatimah dalam satu derajat, keduanya memiliki banyak berbedaan sehingga menikahinya di samping pemimpin kaum perempuan (Sayyidatu-nisâ’ al-‘âlamîn) adalah tidak bagus, baik dilihat dari aspek syariat maupun kedudukannya. Pantas lah Nabi SAW menegaskan, Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri Rasulullah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya.” (Zad al-Ma’ad, 5/119).
Keempat, penghormatan terhadap hak Siti Fatimah dan penjelasan terhadap posisi serta keluhuran derajatnya.
Ibnu Hibban berkata, “Perbuatan tersebut (menikahi putri Abu Jahal) boleh Sayidina Ali lakukan, hanya saja Nabi SAW tidak menyukainya sebagai bentuk penghormatan terhadap Siti Fatimah, bukan mengharamkan perbuatan tersebut (poligami).” (Shahih Ibnu Hibban, 15/407).
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Teks hadis mengindikasikan bahwa sebenarnya Ali boleh melakukannya, tetapi Nabi SAW melarangnya demi menjaga perasaan Siti Fatimah dan Sayidina Ali menerimanya karena mengikuti titah Nabi SAW. Menurutku, Ibnu Hajar, bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari keistimewaan Nabi SAW untuk tidak memadu putrinya; dan bisa pula hal tersebut merupakan hak istimewa bagi Siti Fatimah.” (Fath al-Bari, 9/329).
Wal hâshil, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil bahwa poligami dilarang atau mesti dilarang, sebab selain bertentangan dengan ayat Alquran, juga dalam hadis tersebut Nabi SAW sendiri menegaskan bahwa beliau tidak pernah bermaksud mengharamkan suatu yang dihalalkan Allah SWT.
Penegasan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa poligami adalah boleh sampaikan kapan pun sebagaimana termaktub dalam kitab suci Alquran. Nabi Muhammad SAW saja tidak bisa melarang (mengharamkan) apalagi umatnya, lebih-lebih orang yang tidak beriman kepada risalahnya, macam Grace Natalie.
Dari konteks hadis serta penjelasan ulama di atas diketahui bahwa larangan Nabi SAW memadu Siti Fatimah adalah karena untuk menolak mafsadah yang lebih besar daripada maslahatnya, seperti terjadinya fitnah terhadap keluarga Nabi SAW.
Singkatnya, dari beberapa kemungkinan yang ada, kemungkinan Nabi SAW melarang poligami tidak termasuk di antaranya. Poligami tetap boleh dan legal sampai kiamat datang.
Oleh karena itu, perempuan (kita) yang bukan putri Nabi SAW jangan sok berlaga seperti putri Nabi yang memang memiliki keistimewaan (khushushiyah) tersendiri yang tidak dimiliki perempuan lain. Jadi, jangan pernah meminta diistimewaan sebagaimana putri Nabi SAW. Toh, cemburumu tidak akan pernah memberi pengaruh terhadap agama.
Sungguh pun demikian, poligami sebaiknya dilakukan jika memang benar-benar dibutuhkan, semacam karena ada tuntutan maslahat syar’i (bukan syahwati) dan mafsadahnya minim. Jika mafsadahnya lebih besar maka sebaiknya tidak melakukannya. Karena jelas tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan syariat Islam serta dapat menodai syariat poligami itu sendiri.
Oleh karenanya, jika mau berpoligami maka lakukanlah dengan cara yang benar, minta ijin dan restu kepada istri pertama, jangan jadi pengecut bersembunyi di belakangnya. Kemudian, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama setempat guna meminta ijin melakukan poligami agar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dalam hal ini, mematuhi undang-undang yang berlaku hukumnya wajib syar’an; jika tidak mematuhinya maka berdosa seperti disampaikan Imam Abu Zahrah dalam kitabnya, Al-Ahwâl al-Syakhshiyah.
Berdosa bukan karena tidak mendapat ijin istri melainkan karena tidak patuh terhadap undang-undang pemerintah. Mari jangan pisahkan agama dan negara gegara ingin menuruti nafsu berahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar