Kamis, 29 Mei 2025

Filosofi penyebutan angka Jawa

 Fase kehidupan manusia ditandai dengan penyebutan angka Jawa


Bahasa dan sastra Jawa memiliki ragam yang unik dan bermakna filosofis dalam setiap kata. Salah satunya adalah penyebutan angka 11, 21, 25, 50, dan 60 dalam usia kehidupan manusia.

Angka 11, 21, 25, 50, dan 60 dibaca sewelas, selikur, selawe, seket, dan sewidak dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Penyebutan ini didasari oleh makna filosofis dari setiap fase dalam alur kehidupan manusia.

Masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa setiap jenjang usia merupakan babak yang penting dengan dilambangkan pada penyebutan angka. Mengutip jurnal Etnomatematika dalam Budaya Masyarakat Yogyakarta, berikut filosofi penyebutan angka 11, 21, 25, 50, dan 60.


Filosofi Penyebutan Angka dalam Bahasa Jawa


11 Sewelas (Duwe Rasa Welas)

Pada usia 11 sampai 19 tahun, dalam memasuki masa remaja akan memiliki rasa welas asih atau kasih sayang. Rasa welas asih ini umumnya muncul terhadap lawan jenis.


21 Selikur (Seneng Lingguh Kursi)

Usia ini merupakan awal pendewasaan manusia dalam memasuki dunia kerja. Makna dari 'suka duduk di kursi' memiliki penggambaran fase pekerjaan manusia memasuki usia 21 tahun.


25 Selawe (Senenge Lanang lan Wedok)

Fase kasmaran manusia mulai beranjak ke jenjang serius ketika berusia 25 tahun. Pada tahap ini, lelaki ataupun perempuan memiliki usia ideal untuk melangsungkan pernikahan atau berumah tangga.


50 Seket (Seneng Kethunan)

Kata kethu memiliki arti peci atau penutup kepala yang digunakan ketika melaksanakan ibadah. Di usia ini manusia memasuki fase mendekatkan diri kepada Tuhan dengan memperbanyak ibadah.


60 Sewidak (Sejatine Wis Wayahe Tindak)

Artinya adalah 'sudah waktunya pergi'. Pada usia 60 tahun ke atas, fisik manusia sudah mengalami penurunan dan keterbatasan. Manusia hanya menunggu waktu untuk dipanggil Sang Pencipta.


Selasa, 27 Mei 2025

Poligami diolah oleh kaum feminis - liberal

 Kaum Liberal menyudutkan Islam melalui issue  Poligami


Gegara pernyataan Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), perbincangan mengenai poligami kembali mencuat dan terus menjadi kontroversi.


Banyak yang mengecam pernyataan Grace, salah satunya adalah KH. Cholil Nafis yang menganggap Grace dan yang sependapat tidak paham soal syariat poligami dan meminta agar mereka fokus pada persoalan kebangsaan yang lebih subtansial dan mendesak. Namun demikian, tidak sedikit pula yang mengamininya terutama dari kalangan orang-orang liberal dan sebagian kaum wanita yang baperan.


Salah satu dalil utama dan menjadi andalan mereka yang menolak atau tidak setuju dengan praktik poligami adalah hadis Nabi SAW yang melarang Sayidina Ali karramallah wajhah memadu Siti Fatimah RA.


Menurut mereka, Siti Fatimah yang putri seorang Nabi saja tidak mau dipoligami, apalagi yang bukan putri nabi. Nabi SAW melarang putrinya dimadu karena khawatir tersakiti, yang berarti poligami memang menyakitkan dan sudah sepantasnya tidak dilakukan atau bahkan dilarang.


Ada pula yang mengatakan bahwa berdasarkan hadis tersebut suami harus ijin istri untuk berpoligami, jika istri pertama tidak mengijini maka haram berpoligami.


Nah, sebenarnya bagaimana sih maksud sebenarnya hadis tersebut? Kok Nabi SAW melarang Sayidina Ali memadu Siti Fatimah? Apa benar hal tersebut membuktikan bahwa poligami sebaiknya dilarang? Mari kita analisis dengan saksama.


Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar: “Sesungguhnya Hisyam bin Al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali, jika ia menginginkan Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang dapat menyakitinya, juga menyakitiku.” (HR. Bukhari)


Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah! tidak akan bersatu putri Rasulullah dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya.” (HR. Muslim)

Miswar bin Makhramah juga meriwayatkan bahwa Sayidina Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, padahal dia sudah beristri Siti Fatimah, puteri Nabi Saw. Ketika Siti Fatimah mendengar hal tersebut, beliau mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, “Sesungguhnya, kaum Anda mengakatan bahwa Anda tidak akan pernah marah untuk membela putri Anda. Ini, Ali, akan menikahi anak Abu Jahal.”


Lantas, Rasulullah Saw bergegas dan aku mendengar, setelah selesai shalat, baginda berkata, “Amma Ba’du, aku telah menikahkan puteriku terhadap Abu al Asr bin ar-Rabi’ dan dia setia serta jujur terhadapku. Sesungguhnya, Fatimah bagian dari diriku, apa yang menyakitinya juga akan menyakitiku. Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri Rasulullah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya.” (HR. Muslim).

Hadis-hadis di atas lah yang sering dibuat dalil dan dasar oleh orang-orang yang menolak poligami dan berusaha melarangnya. Namun demikian, banyak dari mereka yang tidak melihat secara utuh hadis tersebut dan hanya memahaminya secara parsial sehingga kesimpulan yang didapat tidak komprehensif dan tidak tepat.


Pun, kebanyakan mereka mengartikan hadis tersebut sesuai dengan persepsi sendiri dan seringkali baper, terutama dari kalangan aktivis perempuan, serta hanya terpaku pada arti literal dengan mengabaikan konteks hadis dimaksud.


Untungnya, ulama dulu telah mengkaji hadis tersebut dengan saksama dan menginterpretasikan sesuai dengan konteks hadis. Toh, jika hadis tersebut dijadikan dalih poligami dilarang dalam Islam maka akan bertentangan dengan firman Allah dalam Alquran yang jelas-jelas melegalkan poligami.


Berdasar hadis di atas, menurut ulama, setidaknya ada empat faktor yang melatarbelakangi pelarangan Nabi SAW terhadap Sayidina Ali memadu Siti Fatimah.


Pertama, karena dapat menyakiti Siti Fatimah, menyakiti Siti Fatimah berarti menyakiti Nabi SAW sedangkan menyakiti Nabi merupakan salah satu dosa besar.

Ibnu al-Tin berkata, “Arti paling shahih (ashah) terhadap cerita ini adalah bahwa Nabi SAW melarang Sayidina Ali mengumpulkan antara putri beliau dan putri Abu Jahal, tersebab hal tersebut dapat menyakiti Nabi SAW dan menyakiti beliau hukumnya haram. Maka, (sebenarnya) putri Abu Jahal boleh dinikahi Sayidina Ali andai tidak ada Siti Fatimah di sisinya. Adapun mengumpulkan keduanya yang meniscayaan Nabi SAW sakit hati –karena menyakiti Siti Fatimah, maka tidak boleh.” (Fathu al-Bari, 9/328).


Imam Nawawi berkata, “Susungguhnya hal tersebut dapat menyakiti Siti Fatimah sehingga Nabi SAW juga akan tersakiti. Orang yang menyakiti Nabi SAW pasti celaka, sebab itu Nabi melarang hal tersebut karena beliau sangat menyayangi Sayidina Ali dan Siti Fatimah.” (Syarh Shahih Muslim, 3/16).


Kedua, khawatir terjadi fitnah terhadap Siti Fatimah dalam keberagamaannya. Seperti disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, Fatimah bagian dariku dan sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan difitnah dalam keberagamaannya.”


Demikian itu, karena rasa cemburu merupakan watak dasar setiap perempuan dan Nabi SAW khawatir Siti Fatimah cemburu dan melakukan hal-hal yang tidak pantas serta tidak seleras dengan derajat beliau sebagai panutan utama perempuan-perempuan muslimah.


Terlebih, beliau sudah tidak memiliki seorang ibu dan saudari-saudarinya pun meninggal satu persatu sehingga tidak memiliki tempat berkeluh kesah saat cemburu nanti.


Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Kejadian tersebut terjadi selepas penaklukan Mekah dan hanya beliau lah putri Nabi SAW yang tersisa, setelah ibunya wafat kemudian disusul oleh saudari-saudarinya, sehingga menyebabkan dia cemburu akan menambah kesedihannya.” (Fath al-Bari, 7/86).


Ketiga, ketidakbolehan mengumpulkan putri utusan Allah dan putri musuh Allah dalam perlindungan satu lelaki.


Seperti ditegaskan oleh Nabi SAW dalam hadis di atas, “Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri utusan Allah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya”.

Imam Nawawi berkata, “Ada kemungkinan maksudnya di antara bagian nikah yang diharamkan adalah mengumpulkan putri utusan Allah dan putri musuh Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 8/199)

Ibnu Qayyim berpendapat, “Larangan terhadap Sayidina Ali mengumpulkan Siti Fatimah dengan putri Abu Jahal memiliki hikmah yang amat besar, yaitu sesungguhnya derajat perempuan mengikuti derajat suaminya, tetapi jika perempuan itu sendiri memiliki derajat tinggi, pun demikian dengan suaminya sebagaimana Siti Fatimah dan Sayidina Ali maka memang tidak semestinya Allah menjadikan putri Abu Jahal bersama Siti Fatimah dalam satu derajat, keduanya memiliki banyak berbedaan sehingga menikahinya di samping pemimpin kaum perempuan (Sayyidatu-nisâ’ al-‘âlamîn) adalah tidak bagus, baik dilihat dari aspek syariat maupun kedudukannya. Pantas lah Nabi SAW menegaskan, Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri Rasulullah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya.” (Zad al-Ma’ad, 5/119).

Keempat, penghormatan terhadap hak Siti Fatimah dan penjelasan terhadap posisi serta keluhuran derajatnya.


Ibnu Hibban berkata, “Perbuatan tersebut (menikahi putri Abu Jahal) boleh Sayidina Ali lakukan, hanya saja Nabi SAW tidak menyukainya sebagai bentuk penghormatan terhadap Siti Fatimah, bukan mengharamkan perbuatan tersebut (poligami).” (Shahih Ibnu Hibban, 15/407).


Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Teks hadis mengindikasikan bahwa sebenarnya Ali boleh melakukannya, tetapi Nabi SAW melarangnya demi menjaga perasaan Siti Fatimah dan Sayidina Ali menerimanya karena mengikuti titah Nabi SAW. Menurutku, Ibnu Hajar, bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari keistimewaan Nabi SAW untuk tidak memadu putrinya; dan bisa pula hal tersebut merupakan hak istimewa bagi Siti Fatimah.” (Fath al-Bari, 9/329).


Wal hâshil, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil bahwa poligami dilarang atau mesti dilarang, sebab selain bertentangan dengan ayat Alquran, juga dalam hadis tersebut Nabi SAW sendiri menegaskan bahwa beliau tidak pernah bermaksud mengharamkan suatu yang dihalalkan Allah SWT.

Penegasan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa poligami adalah boleh sampaikan kapan pun sebagaimana termaktub dalam kitab suci Alquran. Nabi Muhammad SAW saja tidak bisa melarang (mengharamkan) apalagi umatnya, lebih-lebih orang yang tidak beriman kepada risalahnya, macam Grace Natalie.

Dari konteks hadis serta penjelasan ulama di atas diketahui bahwa larangan Nabi SAW memadu Siti Fatimah adalah karena untuk menolak mafsadah yang lebih besar daripada maslahatnya, seperti terjadinya fitnah terhadap keluarga Nabi SAW.


Singkatnya, dari beberapa kemungkinan yang ada, kemungkinan Nabi SAW melarang poligami tidak termasuk di antaranya. Poligami tetap boleh dan legal sampai kiamat datang.


Oleh karena itu, perempuan (kita) yang bukan putri Nabi SAW jangan sok berlaga seperti putri Nabi yang memang memiliki keistimewaan (khushushiyah) tersendiri yang tidak dimiliki perempuan lain. Jadi, jangan pernah meminta diistimewaan sebagaimana putri Nabi SAW. Toh, cemburumu tidak akan pernah memberi pengaruh terhadap agama.

Sungguh pun demikian, poligami sebaiknya dilakukan jika memang benar-benar dibutuhkan, semacam karena ada tuntutan maslahat syar’i (bukan syahwati) dan mafsadahnya minim. Jika mafsadahnya lebih besar maka sebaiknya tidak melakukannya. Karena jelas tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan syariat Islam serta dapat menodai syariat poligami itu sendiri.

Oleh karenanya, jika mau berpoligami maka lakukanlah dengan cara yang benar, minta ijin dan restu kepada istri pertama, jangan jadi pengecut bersembunyi di belakangnya. Kemudian, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama setempat guna meminta ijin melakukan poligami agar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.


Dalam hal ini, mematuhi undang-undang yang berlaku hukumnya wajib syar’an; jika tidak mematuhinya maka berdosa seperti disampaikan Imam Abu Zahrah dalam kitabnya, Al-Ahwâl al-Syakhshiyah.


Berdosa bukan karena tidak mendapat ijin istri melainkan karena tidak patuh terhadap undang-undang pemerintah. Mari jangan pisahkan agama dan negara gegara ingin menuruti nafsu berahi.


Reaksi Rasulullah saw ketika Ali r.a. akan menikah lagi (me-madu Fathimah)

Putriku itu adalah bagian dariku

titik tekan tulisan ini adalah:

Kalimat Rasulullah SAW, “Sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram” seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang.


Dalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah sebuah cerita menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib telah melamar seorang putri Abu Jahal bin Hisyam, lalu Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta restu kepada Rasulullah SAW tentang hal itu tetapi beliau tidak memberikan restu kepada mereka. 

Maka keluarlah Rasulullah SAW dalam keadaan marah ke atas mimbar sehingga orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT beliau bersabda: "Bani Hisyam bin al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib tapi aku tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak akan mengizinkannya kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka, karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, akan menggelisahkanku apa yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya, sekali-kali tidak akan berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. 

Sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan mendapatkan fitnah dalam agamanya, namun sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya." 

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapapun mengingat sejarah kelam Abu Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa Awal Islam. Juga posisi Abu Jahal dalam surat  al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir.   Bentangan sejarah ini menunjukkan betapa poligami dalam Islam semenjak zaman Rasulullah saw selalu mengandung ‘masalah’. 

Kalimat Rasulullah SAW, “Sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram” seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak sekedar pertimbangan rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam al-Qur’an), tetapi juga estimasi ketersinggungan keluarga istri pertama. 


Ulil Hadrawi 



kisah cinta Ali kepada Fathimah

 Kisah Sayidina Ali r.a melamar Fathimah putri Nabi Muhammad saw

Kisah cinta yang sudah terpendam sejak lama, kisah cintanya sangat terjaga kerahasiaannya dalam kata, sikap dan ekspresi mereka bahkan konon syaithanpun tak bisa mengendusnya, mereka bisa menjaga izzah mereka, hingga Allah telah menghalalkannya.

Ali bin Abi Thalib adalah keponakan dan salah satu sahabat yang istimewa dimata Rasulullah SAW. Selain beliau tinggal langsung bersama Rasulullah, dia juga seorang pemberani yang pernah menggantikan posisi tidur Rasulullah disaat hijrah dan juga seorang mujahid perang yang gagah.

Sementara Fatimah, putri Rasulullah SAW yang taat, penyayang dan sangat peduli pada Rasulullah SAW, selalu ada disamping ayahnya dalam setiap kisah perjuangan sang ayah membumikan nilai-nilai islam di tengah kafir Quraisy.

Ali sudah menyukai Fatimah sejak lama, kecantikan putri Rasulullah ini tak hanya jasmaninya saja, kecantikan Ruhaninya melintasi batas hingga langit ketujuh. Kendalanya adalah perasaan rendah dirinya, apakah mampu ia membahagiakan putri Rasulullah dengan keadaannya yang serba terbatas. Demikian kira-kira perasaan yang ada pada Ali saat itu.

Pada suatu ketika, Fatimah dilamar oleh seorang laki-laki yang selalu dekat dengan nabi, yang telah mempertaruhkan kehidupannya, harta dan jiwanya untuk Islam, menemani perjuangan Rasulullah SAW sejak awal-awal risalah ini.

Dialah Abu Bakar Ash Shiddiq, entah kenapa mendengar berita ini Ali terkejut dan tersentak jiwanya, muncul rasa-rasa yang diapun tak mengerti, Ali merasa diuji karena terasa apalah dirinya jika dibanding dengan Abu Bakar kedudukannya disisi nabi.

Ali merasa belum ada apa-apanya bila dibanding dengan perjuangannya dalam menyebarkan risalah Islam, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan dakwahnya. Sebutlah ‘Utsman, ‘Abdurrahman bin auf, Thalhah, Zubair, Sa’d bin abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan oleh anak-anak seperti Ali. Tak sedikit juga para budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar sebutlah Bilal bin rabbah, khabbab, keluarga yassir, ‘Abdullah ibn mas’ud.

Dari sisi finansial Abu Bakar seorang saudagar, tentu akan lebih bisa membahagiakan Fatimah, sementara Ali?, hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Melihat dan memperhitungkan hal ini, Ali ikhlas dan bahagia jika Fatimah bersama Abu Bakar, meskipun ia tak mampu membohongi rasa-rasa dalam hatinya yang ia sendiri tak mengerti, apakah mungkin itu yang namanya cinta?

Namun ternyata lamaran Abu Bakar ditolak oleh Fatimah sehingga hal ini menumbuhkan kembali harapannya. Ali kembali mempersiapkan diri, berharap dia masih memiliki kesempatan itu.

Namun ujian bagi Ali belum berakhir, setelah Abu Bakar mundur muncullah laki-laki nan gagah perkasa dan pemberani. Seseorang yang dengan masuk Islamnya mengangkat derajat kaum muslimin, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Seorang yang diberi gelar Al-Faruq.

Ya, dialah Umar ibn Al Khaththab. Pemisah antara kebenaran dan kebatilan juga datang melamar Fatimah.

Ali pun ridha jika Fatimah menikah dengan Umar, ia bahagia jika Fatimah bisa bersama dengan sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu Bakar yang mana Rasulullah sampai mengatakan “Aku datang bersama Umar dan Abu Bakar”.

Namun kemudian Ali pun semakin bingung karena ternyata lamaran Umar pun ditolak.

Setelah itu menyusul Abdurahman bin Auf melamar sang putri dengan membawa 100 unta bermata biru dari mesir dan 10.000 Dinnar, kalo diuangkan dalam rupiah kira kira 55 milyar. Dan lamaran bermilyar-milyar itupun ditolak oleh Rasulullah.

Akan tetapi kekhawatiran Ali bin Abi Thalib belum berakhir sampai di sini karena ternyata sahabat yang lainpun melamar sang Az Zahra. Usman bin Affanpun memberanikan dirinya melamar sang putri, dengan mahar seperti yang dibawa oleh Abdurrahman bin Auf, hanya ia menegaskan kembali bahwa kedudukannya lebih mulia di banding Abdurrahman bin Auf karena ia telah lebih dahulu masuk islam.

Tidak disangkaa tidak diduga, ternyata Rasulullahpun menolak lamaran Usman bin Affan.

Empat sahabat sudah memberanikan diri dan mereka semua telah ditolak oleh Rasulullah SAW.

“Mengapa bukan engkau saja yang mencobanya kawan?”, seru sahabat Ali,

“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah?, aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa aku andalkan?”

Sahabatnyapun menguatkan “Kami dibelakangmu, kawan!

Akhirnya Ali bin Abi Thalibpun memberanikan diri menjumpai Rasulullah untuk menyampaikan maksud hatinya, meminang putri nabi untuk jadi istrinya. Awalnya beliau hanya duduk di samping Rasulullah dan lama tertunduk diam. Hingga Rasulullahpun bertanya ” wahai putra Abu Thalib, apa yang engkau inginkan?”

Sejenak Ali terdiam, dan dengan suara bergetar iapun menjawab, ” Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah” Mendengar jawaban Ali ini beliau SAW tidak terkejut. “Bagus, wahai Ibnu Abu Thalib, beberapa waktu terakhir ini banyak yang melamar putriku, tetapi ia selalu menolaknya, oleh karena itu, tunggulah jawaban putriku”

Kemudian Rasulullah meninggalkan Ali dan bertanya kepada putrinya, ketika ditanya Fatimah hanya terdiam dan Rasulullah SAW menyimpulkan bahwa diamnya Fatimah pertanda kesetujuannya.

Rasulullah kemudian mendekati Ali dan bersabda “Apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau jadikan mahar wahai Ali?

Alipun menjawab ” Orang tuaku yang menjadi penebusnya untukmu ya Rasulullah, tak ada yang aku sembunyikan darimu, aku hanya memiliki seekor unta untuk membantuku menyiram tanaman, sebuah pedang dan sebuah baju zirah dari besi”

Dengan tersenyum Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, tidak mungkin engkau terpisah dengan pedangmu, karena dengannya engkau membela diri dari musuh-musuh Allah SWT dan tidak mungkin juga engkau berpisah dengan untamu karena ia engkau butuhkan untuk membantumu mengairi tanamanmu, aku terima mahar baju besimu, jual lah dan jadikan sebagai mahar untuk putriku” Wahai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di Langit sebelum aku menikahkan engakau di Bumi” Diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra.

Ali bin Abi Thalib menjual baju besi tsb dengan harga 400 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW, dan nabipun membagi uang tersebut ke dalam 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian dan satu bagian lagi di kembalikan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai biaya untuk jamuan makan untuk para tamu yang menghadiri pesta.

Setelah segala-galannya siap,dengan perasaan puas dan hati gembira dan di saksikan oleh para sahabat Rasulullah mengucapkan kata ijab kabul pernikahan putrinya

Kemudian Nabi SAW bersabda: “Sesunguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah Putri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib,Maka saksikanlah sesunguhnya aku telah menikahkanya dengan mas kawin empat ratus dihram (nilai sebuah baju besi) dan Ali ridho (menerima) mahar tersebut”

Maka menikahlah Ali denganFatimah Pernikahan mereka penuh hikmah walau di arungi di tengah kemiskinan Bahkan di sebutkan oleh Rasulullah sangat terharu melihat tangan Fatimah yang kasar karena harus menepung gandum untuk membantu suaminya

Dan malam harinya setelah dihalalkan oleh Allah SWT, terjadilah dialog yang sangat menggetarkan. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya”,

Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya.

Sambil tersenyum Fatimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.”

Subhanallah, itu adalah pujian terbaik dari seorang istri yang bisa membahagiakan hati suaminya.

Ali dan Fatimah saling mencintai karna Allah mereka mencintai dalam diam,menjaga cintanya dan Allah satukan dalam ikatan suci pernikahan Maa Syaa Allah.

resume agus ahmad hidayat

Puisi tentang Palestina oleh Bunda Melly Guslaw

 Kehilangan.

Kehilangan adalah sebuah kata yang sering kita dengar

Kata yang tak ingin mampir dan bertamu di hidup kita

Kata yang tidak diinginkan oleh setiap insan penikmat kedamaian

Tapi, apa jadinya jika kata itu kemudian menjadi sahabatmu

Menjadi bantal di setiap tidur

Menjadi selimut di setiap dinginmu

Menjadi kegelapan di setiap siangmu

Menjadi kemencekaman di setiap malammu

Palestina.

Seolah suara tawa anak-anak di sana cuma basa-basi

Hanya seperti bunyi weker yang menghitung mundur

Krik, krik, krik dan kemudian duar

Berubah menjadi dentuman yang sangat keras

Aku menatap mata ibu di tanah Indonesia

Seorang ibu yang menatap nanar

Duduk beralas koran dengan headline:

Koruptor dihukum ringan, pencuri bawang digebuki hingga babak belur

Tak sebutir gabah pun masuk dalam perut ibu ini

Sejak tiga hari yang lalu dia tidak makan

Namun kelaparan dan kemiskinan sudah menjadi biasa saja baginya

Sayup-sayup terdengar suara pengamen memainkan lagu “Bento”

Disusul dengan lagu yang lainnya

Mulut sang ibu bergerak mengikuti lagu-lagu

Dan anak-anak kecil dengan kaki telanjang

Berputar-putar, menari sambil memainkan mainan bekas si anak tuan

Senin, 19 Mei 2025

Kisah doa bunda yang terkabul, namun menyusahkan anaknya

 Kisah Juraij, Ahli Ibadah yang Durhaka terhadap Ibunya

Pengantar: 

Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah bersabda, "Terdapat tiga doa yang tidak pernah diragukan kemustajabannya, yaitu, doa orang orang yang dizhalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya."



Ada seorang ahli ibadah yang dikisahkan durhaka pada ibunya karena melalaikan panggilan dari sang ibu. Kisahnya bahkan diabadikan dalam riwayat hadits yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW.

Juraij namanya. Ia adalah sosok lelaki dari Bani Israil yang dikisahkan rajin beribadah bahkan disebut sebagai sosok pemilik rumah ibadah. Kisah tersebut bersumber dari Abu Hurairah RA yang pernah mengutip cerita dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengisahkan,

"Tidak ada seorang bayi pun yang dapat berbicara ketika sedang digoyang dalam buaian, kecuali Isa ibnu Maryam dan bayi yang disebut dalam cerita tentang Juraij,"Lalu, dikutip dari buku Shahih Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari, ada yang bertanya, "Wahai Nabi Allah, bagaimana cerita tentang Juraij?"

Rasulullah SAW menjawab, "Juraij adalah seorang yang selalu beribadah di tempat ibadahnya. Di bawah tempat ibadahnya ada seorang penggembala sapi, dan seorang perempuan dari desa tersebut berzina dengan penggembala sapi tersebut."

Suatu hari, ibu Juraij datang saat Juraij sedang beribadah dan memanggilnya dengan nama 'Juraij' ketika dia sedang beribadah. Juraij merasa ragu antara menjawab ibunya atau melanjutkan salatnya.

Namun, pada akhirnya, Juraij memilih untuk melanjutkan salatnya. Ibunya memanggilnya kedua kalinya, dan Juraij kembali memilih salatnya.

Ibunya kemudian memanggil untuk ketiga kalinya dan dalam hatinya Juraij berpikir, "Ibuku atau salatku?' Sekali lagi, dia memilih untuk melanjutkan salatnya.

Karena Juraij tidak kunjung menjawab panggilannya, ibunya marah dan berdoa, "Semoga Allah tidak mematikanmu, wahai Juraij, kecuali jika engkau melihat wajah perempuan-perempuan pelacur." Setelah itu, ibunya pergi.

Pada suatu hari, tiba-tiba, seorang wanita yang melahirkan anak hasil perzinahan dihadapkan kepada seorang raja. Raja bertanya, "Siapa yang menghamilimu?"

Wanita itu menjawab, "Dari Juraij." Raja bertanya lagi, "Pemilik tempat ibadah itu?" Wanita itu menjawab, "Ya."

Raja kemudian memerintahkan bawahannya untuk menghancurkan tempat ibadah itu. Ia juga meminta bawahannya untuk membawa Juraij kepadanya.

Masyarakat kemudian menghancurkan tempat ibadah itu dengan berbagai macam alat seperti martil dan kapak, hingga tempat ibadah itu roboh. Juraij kemudian diikat dan ditarik melewati para wanita pelacur sambil tersenyum dan para pelacur itu ditampilkan di hadapannya di tengah kerumunan orang.

Sang raja berkata, "Apa yang mereka tuduhkan kepadamu?"

Juraij menjawab, "Apa yang mereka tuduhkan terhadapku?"

Raja berkata, "Mereka menuduhmu sebagai ayah anak ini."

Juraij bertanya, "Di mana bayi itu?" Mereka menjawab, "Itu, bayi yang ada di pangkuannya."

Juraij mendekati bayi itu dan bertanya, "Siapa ayahmu?'

Bayi itu menjawab, "Penggembala sapi."

Setelah itu, sang raja pun merasa bersalah terlalu gegabah menuduh Juraij. Hingga ia pun menawarkan, "Apakah kami harus membangun kembali tempat ibadahmu dari emas?"

Juraij menjawab, "Tidak." Sang raja bertanya lagi, "Dari perak?"

Juraij menjawab, "Tidak." Lalu sang raja berkata, "Lalu dengan apa kami harus mengganti tempat ibadahmu?"

Juraij menjawab, "Kembalikan tempat ibadah itu seperti semula." Namun, setelahnya, Juraij tersenyum seakan teringat sesuatu.

Sang raja bertanya, "Kenapa engkau tersenyum?"

Juraij menjawab, "(Aku tertawa) karena suatu perkara yang sudah kuketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku,"





Begitulah kisah Juraij, Allah SWT mengabulkan doa orang tua kepada anaknya dan menolong Juraij dengan mukjizat bayi yang bisa bicara agar menjadi pelajaran bagi umat muslim semua.

Kisah ini memiliki kaitan erat dengan bagaimana mustajabnya doa kedua orang tua apalagi yang dizalimi atau didurhakai. Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah bersabda, "Terdapat tiga doa yang tidak pernah diragukan kemustajabannya, yaitu, doa orang orang yang dizhalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya."

Selasa, 13 Mei 2025

Surat Al Ikhlas

 Penjelasan asbabun nuzul  surat Al Ikhlas


Masyarakat Arab Quraisy -sebelum kedatangan Islam- adalah masyarakat yang memiliki beragam keyakinan dan kepercayaan. Bahkan mereka memiliki banyak tuhan yang disembah. Sebenarnya -sebagian- mereka menyakini Allah sebagai Tuhan yang memberi rezeki, menciptakan pendengaran dan penglihatan, mengatur alam semesta, namun mereka tetap mempersekutukan Allah dengan selainNya, maka Allah tegur dengan perintahnya kepada Muhammad, “Katakanlah Muhammad, sampaikanlah kepada mereka, afala tattakun, mengapa mereka tidak bertaqwa, mengapa mereka tidak mau beribadah hanya kepada Allah dan mentauhidkanNya.”  (lihat Q.S. Yunus/10: 31).


Mereka memiliki keyakinan selain Allah juga dapat mendatangkan manfaat, keberuntungan, rezeki, hujan, sebagaimana Allah; menghilangkan kemudharatan, marabahaya, kesialan; padahal ini adalah hak khusus Allah, artinya hanya Allah yang mampu dan selainNya -layaknya makhluk ciptaanNya- tidak mampu dan tidak memiliki daya upaya sama sekali. Mereka juga mempersekutukan – memperserikatkan Allah dengan selainNya dalam amal perbuatan, mereka berdoa-meminta kepada pohon keramat (Dzatu Anwat, lihat riwayat Abu Waqid Al-Laitsi daam Sunan Tirmidzi), bebatuan (latta di Thaif), pepohonan (uzza di Nakhlah), berhala berupa patung (lihat Q.S. An-Najm/53: 19-20), dan berbagai bentuk kesyirikan amal perbuatan lainnya. Hal ini dikarenakan tuhan yang mereka sembah-mohon pertolongan, sangat beragam. Ini juga dasar yang membuktikan bahwa orang musyrik Makkah adalah kaum yang prulalis dan menganut pluralisme dalam ketuhanan.


Namun, sebagian masyarakat Arab Quraisy ada pula yang tidak bertuhan. Mereka tidak menyakini adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta. Karena menurut mereka alam semesta ini tercipta karena proses panjang yang dialami alam semesta lalu berevolusi selama beribu ribu tahun hingga membentuk kehidupan seperti yang kita temui sekarang ini. Mereka menyakini bahwa kehidupan hanya di dunia saja, tidak ada akhirat, kematian disebabkan karena memang sudah waktunya mati (lihat, Q.S. Al-Jatsiyah/45: 24). Menurut sangkaan mereka, hipotesa mereka, dunia ini akan mengalami daur ulang atau siklus hidup. Mereka meyakini bahwa setiap tiga puluh enam ribu (36.000) tahun segala sesuatu akan kembali seperti semula. Mereka juga disebut kaum dahriyah (lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini).

2

Ketika Rasulullah SAW berdakwah di Makkah, datang orang-orang quraisy bertanya tentang Tuhan yang disembah Rasulullah Muhammad SAW. Mereka mempertanyakan Tuhan seperti apa yang disembah Muhammad lalu mereka bertanya penasaran, انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ “Sebutkan kepada kami Tuhanmu ya Muhammad?” (lihat dalam Tafsir Al-Baghawi) Mereka berpikir bahwa Tuhan yang disembah Muhammad adalah Tuhan yang memiliki nasab garis keturunan. Padahal, jika demikian adanya, maka Tuhan yang disembah memiliki orangtua dan anak? Jika memiliki anak maka ia harus memiliki istri, karena tidak mungkin ia akan beranak dengan sendirinya, akal pasti akan menolak itu. Jika Tuhan yang disembah diperanakkan atau dilahirkan, maka ia akan mengalami siklus, diperanakkan, lalu tumbuh menjadi anak, selanjutnya dewasa dan menikah, kemudian beranak dan mengalami masa tua dan mati. Apakah Tuhan layak mati? Dan kalau mati apakah ketuhannya akan diwariskan kepada anak Tuhan? Dalam Tafsir Al-Baghawi, Imam Al-Baghawi Asy-Syaf’i menyebutkan riwayat Abul ‘Aliyah dari Ubay bin Ka’ab, bahwa beliau berpendapat:


رَوَى أَبُو الْعَالِيَةِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ السُّورَةَ


Abul ‘Aliyah meriwayatkan dar Ubay bin Ka’ab bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah SAW, “CERITAKAN KEPADA KAMI NASAB GARIS KETURUNAN TUHAMU” maka turunlah surat Al-Ikhlash. Riwayat asbabun nuzul ini bisa dilihat dalam Sunan Tirmidzi pada Tafsir Surat Al-Ikhlas 9/299-300. Imam Ahmad 5/134.


Selain pendapat Ubay bin Ka’ab diatas, Imam Ibnu katsir dalam tafsirnya juga menuliskan pendapat Ikrimah yang menjelaskan sebab yang melatar belakangi turunnya surat Al-Ikhlas:


قَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُ سَبَبِ نُزُولِهَا. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: لَمَّا قَالَتِ الْيَهُودُ: نَحْنُ نعبد عُزيرَ ابْنَ اللَّهِ. وَقَالَتِ النَّصَارَى: نَحْنُ نَعْبُدُ الْمَسِيحَ ابْنَ اللَّهِ. وَقَالَتِ الْمَجُوسُ: نَحْنُ نَعْبُدُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ. وَقَالَتِ الْمُشْرِكُونَ: نَحْنُ نَعْبُدُ الْأَوْثَانَ -أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ}


Asbabun Nuzul surat ini telah disebutkan sebelumnya. Ikrimah mengatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi berkata, “Kami menyembah Uzair anak Allah.”Orang-orang Nasrani mengatakan, “Kami menyembah Al-Masih putra Allah.” Orang-orang Majusi mengatakan, “Kami menyembah matahari dan bulan.” Dan orang-orang musyrik mengatakan, “Kami menyembah berhala.” Maka Allah menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ


Katakanlah ya Muhammad, permaklumkan kepada mereka orang-orang musyrikin Quraisy. “Dialah Allah Yang Maha Esa (baca, satu-satunya Tuhan-diambil dari kata ‘Ahad’).” [Q.S. Al-Ikhlas/112: 1]


Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan surat Al-Ikhlash dengan penjelasan berikut: “Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH namaNya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa; mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia. Pengakuan atas Kesatuan, atau Ke–esa–an, atau tunggal–Nya Tuhan dan nama–Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU. Tidak ada yang menyamai–Nya, tidak ada yang menyerupai–Nya dan tidak pula ada teman hidup–Nya. Karena mustahil-lah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang, terbahagi-lah kekuasaan–Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa.”