Rabu, 04 Desember 2024

Anakku ! Kau harus seperti aku!

 Bijakkah memaksakan kehendak (orang tua) pada (masa depan) anak?


Engkau harus seperti aku !

Bagaimana menata menyiapkan keinginan dengan jeli dan cerdas.

Setiap kita berada pada zaman yang berbeda, sampai ada pernyataan; persiapkan anakmu karena mereka akan berada pada zaman yang berbeda denganmu. Suasana, keadaan, fasilitas dan berbagai hal yang ada pada lingkungan kita, tidaklah sama. Dulu mungkin jalanan belum semulus sekarang, listrik tidak semudah sekarang, bahkan alat komunikasi jauh berbeda. Apakah tuntutan kita masih sama? Rasanya hanyalah seloroh atau satire saja jika mengatakan; “enak zamanku to?”

Sebuah kisah yang saya dengar dari mantan tentara. Dia bercita-cita agar anaknya mengikuti kehendak ayahnya. Dia menyuruh anaknya melamar dan tes sebagai calon prajurit. Sudah berkali kali mencoba belum berhasil. Bahkan selama usianya memungkinkan untuk peluang tes calon prajurit sang ayah menyuruh anaknya ikut. Terucap dari mulut sang ayah “kalau kau tidak diterima, tidak perlu pulang ke rumah” . Mungkin maksud sang ayah berucap seperti itu agar motivasinya membara, dan mendorong kesungguhan si anak,  namun sang ayah salah mengukur kemampuan anak dengan target standar diterimanya seorang calon prajurit. “dia harus seperti aku, dia kuat harus sekuat aku” terpikirkankah jika itu termasuk memaksakan? Dalam bahasa umum hal ini tidak bijaksana, dalam bahasa agama disebut dholim.

Di sisi lain, ada anak ustadz yang dipesantrenkan dengan target menghapalkan quran 30 juz. Rasanya tidak berat untuk ukuran si ustadz. Setelah beberapa bulan mondok, lalu si anak melarikan diri, pergi tanpa izin pihak pondok. Mereka mencari tahu, mengapa mereka tidak betah di pondok. Setelah ditelusuri ternyata kemampuan yang dimiliki si anak tidak sesuai dengan target sang ayahnya-yang notabene seorang ustadz. Aku ustadz, aku kuat menghapal, anakku pun mestinya bisa seperti aku. Perlulah dikoreksi dalam mengukur dan memprediksi daya rekam daya nalar seorang anak.

Mungkin banyak contoh yang kita lihat, ada anak anak terlantar tidak ‘belajar’ tidak kuliah, tidak mondok karena daya tuntutan terlalu tinggi sementara banyak orang tidak menyadari kemampuan tiap orang berbeda.

Sudahkah kita berpikir bijak? Sudahkah kita melihat sekitar, Sudahkah kita memahami anak anak kita dengan baik?

Setiap kita sebagai orang tua pasti memiliki cita-cita, cita cita yang baik, menyiapkan masa depan yang lurus dan bahagia dalam kehidupannya. Namun perlu disadari, hal ini ada hal pokok dan ada hal yang cabang. Akidah dan pemikiran harus sama seiring dengan keluarga, namun sarana, metode, lembaga merupakan hal yang alternatif, bisa dipilih dan disiapkan konsekuensinya. Berkaitan dengan biaya, lokasi, intensitas komunikasi langsung. Ini merupakan pelatihan penyiapan generasi.

Apakah kita sukses atau gagal dalah hal ini?

 

 

 

Berikut kita ikuti butir butir renungan agar kita bijak menyikapi dalam pola asuh anak sebagai penerus generasi kita.

Ketika anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan idealisme atau harapan orang tua; Menuntut kehendak yang berlebihan, Memperbandingkan sosial, Perbandingan Sosial, Tidak memahami tahapan perkembangan anak, Trauma – luka pengasuhan masa kecil (sang orang tua), Budaya perfectionisme – serba sempurna

Dampak hubungan; Rasa Bersalah yang Mendalam: Orang tua merasa tidak layak atau tidak cukup baik, yang membuat mereka menarik diri secara emosional dari anak. Penolakan Emosional: Ketika anak tidak memenuhi harapan, orang tua mungkin secara tidak sadar menunjukkan rasa kecewa, yang bisa dirasakan oleh anak.Tekanan pada Anak: Anak merasakan tekanan untuk memenuhi harapan orang tua, yang dapat menyebabkan stres, pemberontakan, atau bahkan hubungan yang renggang.

 Mengatasi Perasaan Gagal

Menerima Perbedaan: Sadarilah bahwa setiap anak unik dan memiliki jalan hidup serta potensi mereka sendiri. Tidak semua hal bisa dikontrol oleh orang tua.

Redefinisi Kesuksesan: Ubah definisi kesuksesan dari pencapaian eksternal (seperti nilai akademik atau karier) menjadi hal-hal yang lebih dalam, seperti kebahagiaan, kebaikan hati, dan karakter yang baik.

Belajar tentang Tahapan Perkembangan Anak: Pemahaman tentang tahapan perkembangan anak akan membantu orang tua menyesuaikan harapan dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Memaafkan Diri Sendiri: Orang tua perlu menyadari bahwa mereka tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa. Fokus pada perbaikan hubungan daripada menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi.

Komunikasi yang Empatik: Bangun komunikasi yang lebih terbuka dengan anak. Dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi, dan sampaikan perasaan Anda dengan jujur tetapi tetap menghargai.

Strategi untuk Membangun Kedekatan

Fokus pada Kelebihan Anak: Alih-alih melihat kekurangan anak, fokuslah pada potensi dan kelebihan mereka. Dukung apa yang mereka minati dan sukai.

Berbagi Waktu Berkualitas: Habiskan waktu bersama anak tanpa mengungkit kegagalan atau kekurangan mereka. Jadikan momen itu sebagai waktu untuk mempererat hubungan.

Hargai Proses, Bukan Hanya Hasil: Dorong anak untuk terus mencoba dan belajar, daripada hanya menilai hasil akhir yang mereka capai.

Ciptakan Lingkungan Aman Emosional: Jadilah tempat yang aman bagi anak untuk berbagi cerita, kegagalan, atau kekhawatiran mereka tanpa takut dihakimi.

Belajar Bersama: Tunjukkan bahwa orang tua juga manusia yang terus belajar. Ini akan membantu anak melihat bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pertumbuhan.

1)Anak Adalah Amanah,Mereka adalah amanah dari Tuhan yang tumbuh dengan karakteristik unik.2)Kesuksesan Tidak Selalu Berwujud Pencapaian: 3)Anak yang bahagia, sehat, dan memiliki moral yang baik adalah keberhasilan besar yang sering kali tidak terlihat.4)Perubahan Dimulai dari Orang Tua: Anak akan merespons perubahan positif dari orang tua. Ketika Anda lebih menerima diri sendiri dan mereka, hubungan akan tumbuh dengan lebih kuat.5)Doa dan Usaha: Setelah melakukan yang terbaik, serahkan hasilnya kepada Tuhan. Setiap anak memiliki perjalanan dan takdir yang unik.


terinspirasi atas keluhan orang tua

 Agus Ahmad Hidayat

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar