Bijakkah memaksakan kehendak (orang tua) pada (masa depan) anak?
Engkau harus seperti aku !
Bagaimana menata menyiapkan keinginan dengan jeli dan
cerdas.
Setiap kita berada pada zaman yang berbeda, sampai ada
pernyataan; persiapkan anakmu karena mereka akan berada pada zaman yang berbeda
denganmu. Suasana, keadaan, fasilitas dan berbagai hal yang ada pada lingkungan
kita, tidaklah sama. Dulu mungkin jalanan belum semulus sekarang, listrik tidak
semudah sekarang, bahkan alat komunikasi jauh berbeda. Apakah tuntutan kita
masih sama? Rasanya hanyalah seloroh atau satire saja jika mengatakan; “enak
zamanku to?”
Sebuah kisah yang saya dengar dari mantan tentara. Dia
bercita-cita agar anaknya mengikuti kehendak ayahnya. Dia menyuruh anaknya
melamar dan tes sebagai calon prajurit. Sudah berkali kali mencoba belum
berhasil. Bahkan selama usianya memungkinkan untuk peluang tes calon prajurit
sang ayah menyuruh anaknya ikut. Terucap dari mulut sang ayah “kalau kau tidak
diterima, tidak perlu pulang ke rumah” . Mungkin maksud sang ayah berucap
seperti itu agar motivasinya membara, dan mendorong kesungguhan si anak, namun sang ayah salah mengukur kemampuan anak
dengan target standar diterimanya seorang calon prajurit. “dia harus seperti
aku, dia kuat harus sekuat aku” terpikirkankah jika itu termasuk memaksakan?
Dalam bahasa umum hal ini tidak bijaksana, dalam bahasa agama disebut dholim.
Di sisi lain, ada anak ustadz yang dipesantrenkan dengan
target menghapalkan quran 30 juz. Rasanya tidak berat untuk ukuran si ustadz. Setelah
beberapa bulan mondok, lalu si anak melarikan diri, pergi tanpa izin pihak
pondok. Mereka mencari tahu, mengapa mereka tidak betah di pondok. Setelah
ditelusuri ternyata kemampuan yang dimiliki si anak tidak sesuai dengan target
sang ayahnya-yang notabene seorang ustadz. Aku ustadz, aku kuat menghapal,
anakku pun mestinya bisa seperti aku. Perlulah dikoreksi dalam mengukur dan
memprediksi daya rekam daya nalar seorang anak.
Mungkin banyak contoh yang kita lihat, ada anak anak
terlantar tidak ‘belajar’ tidak kuliah, tidak mondok karena daya tuntutan
terlalu tinggi sementara banyak orang tidak menyadari kemampuan tiap orang
berbeda.
Sudahkah kita berpikir bijak? Sudahkah kita melihat sekitar,
Sudahkah kita memahami anak anak kita dengan baik?
Setiap kita sebagai orang tua pasti memiliki cita-cita, cita
cita yang baik, menyiapkan masa depan yang lurus dan bahagia dalam
kehidupannya. Namun perlu disadari, hal ini ada hal pokok dan ada hal yang
cabang. Akidah dan pemikiran harus sama seiring dengan keluarga, namun sarana,
metode, lembaga merupakan hal yang alternatif, bisa dipilih dan disiapkan
konsekuensinya. Berkaitan dengan biaya, lokasi, intensitas komunikasi langsung.
Ini merupakan pelatihan penyiapan generasi.
Apakah kita sukses atau gagal dalah hal ini?
Berikut kita ikuti butir butir renungan agar kita bijak
menyikapi dalam pola asuh anak sebagai penerus generasi kita.
Ketika anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan
idealisme atau harapan orang tua; Menuntut kehendak yang berlebihan, Memperbandingkan
sosial, Perbandingan Sosial, Tidak memahami tahapan perkembangan anak, Trauma –
luka pengasuhan masa kecil (sang orang tua), Budaya perfectionisme – serba sempurna
Dampak hubungan; Rasa Bersalah yang Mendalam: Orang tua
merasa tidak layak atau tidak cukup baik, yang membuat mereka menarik diri
secara emosional dari anak. Penolakan Emosional: Ketika anak tidak memenuhi
harapan, orang tua mungkin secara tidak sadar menunjukkan rasa kecewa, yang
bisa dirasakan oleh anak.Tekanan pada Anak: Anak merasakan tekanan untuk
memenuhi harapan orang tua, yang dapat menyebabkan stres, pemberontakan, atau
bahkan hubungan yang renggang.
Mengatasi Perasaan
Gagal
Menerima Perbedaan: Sadarilah bahwa setiap anak unik dan
memiliki jalan hidup serta potensi mereka sendiri. Tidak semua hal bisa
dikontrol oleh orang tua.
Redefinisi Kesuksesan: Ubah definisi kesuksesan dari
pencapaian eksternal (seperti nilai akademik atau karier) menjadi hal-hal yang
lebih dalam, seperti kebahagiaan, kebaikan hati, dan karakter yang baik.
Belajar tentang Tahapan Perkembangan Anak: Pemahaman tentang
tahapan perkembangan anak akan membantu orang tua menyesuaikan harapan dengan
kemampuan dan kebutuhan anak.
Memaafkan Diri Sendiri: Orang tua perlu menyadari bahwa
mereka tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa. Fokus pada perbaikan hubungan
daripada menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi.
Komunikasi yang Empatik: Bangun komunikasi yang lebih
terbuka dengan anak. Dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi, dan sampaikan
perasaan Anda dengan jujur tetapi tetap menghargai.
Strategi untuk Membangun Kedekatan
Fokus pada Kelebihan Anak: Alih-alih melihat kekurangan
anak, fokuslah pada potensi dan kelebihan mereka. Dukung apa yang mereka minati
dan sukai.
Berbagi Waktu Berkualitas: Habiskan waktu bersama anak tanpa
mengungkit kegagalan atau kekurangan mereka. Jadikan momen itu sebagai waktu
untuk mempererat hubungan.
Hargai Proses, Bukan Hanya Hasil: Dorong anak untuk terus
mencoba dan belajar, daripada hanya menilai hasil akhir yang mereka capai.
Ciptakan Lingkungan Aman Emosional: Jadilah tempat yang aman
bagi anak untuk berbagi cerita, kegagalan, atau kekhawatiran mereka tanpa takut
dihakimi.
Belajar Bersama: Tunjukkan bahwa orang tua juga manusia yang
terus belajar. Ini akan membantu anak melihat bahwa kesalahan adalah bagian
dari proses pertumbuhan.
1)Anak Adalah Amanah,Mereka adalah amanah dari Tuhan yang
tumbuh dengan karakteristik unik.2)Kesuksesan Tidak Selalu Berwujud Pencapaian:
3)Anak yang bahagia, sehat, dan memiliki moral yang baik adalah keberhasilan
besar yang sering kali tidak terlihat.4)Perubahan Dimulai dari Orang Tua: Anak
akan merespons perubahan positif dari orang tua. Ketika Anda lebih menerima
diri sendiri dan mereka, hubungan akan tumbuh dengan lebih kuat.5)Doa dan
Usaha: Setelah melakukan yang terbaik, serahkan hasilnya kepada Tuhan. Setiap
anak memiliki perjalanan dan takdir yang unik.
terinspirasi atas keluhan orang tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar