Senin, 23 Desember 2024

MERAWAT API PERJUANGAN

Mengapa Kita Harus Terus Berjuang di Jalan Dakwah


“Sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

(QS. Al-Hajj: 40)


Dakwah bukan sekadar aktivitas rutin atau tugas mingguan yang harus kita tuntaskan. Ia adalah panggilan jiwa, amanah suci, dan warisan para nabi. Jalan ini terjal, penuh kerikil tajam, bahkan seringkali terasa sepi dan sunyi. Namun, di balik semua itu, jalan dakwah adalah jalan yang paling mulia, paling berharga, dan paling penuh dengan keberkahan.

1. Dakwah: Bukan Tentang Hasil, Tapi Tentang Kesungguhan

Sering kali kita bertanya: “Mengapa hasilnya tidak sesuai harapan? Mengapa orang-orang tidak merespon dengan baik?” Tapi ingatlah, dakwah bukan tentang hasil, melainkan tentang proses, tentang kesungguhan kita menanam benih kebaikan.

Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah selama 950 tahun dengan pengikut yang bisa dihitung dengan jari. Tapi apakah beliau berhenti? Tidak. Karena keberhasilan dalam dakwah diukur dari kesetiaan kita pada misi, bukan dari banyaknya pengikut atau besarnya tepuk tangan.

“Dan tidak ada yang disuruh kepada kami kecuali untuk menyampaikan dengan jelas.” (QS. Yasin: 17)


2. Jalan Panjang yang Memerlukan Kekuatan Hati

Dakwah membutuhkan keteguhan hati dan kekuatan jiwa. Setiap kita yang melangkah di jalan ini harus menyadari bahwa rintangan adalah bagian dari paket perjuangan.

Ketika semangat mulai redup, ingatlah:

Dakwah ini bukan tentang kita. Ini tentang menyampaikan risalah Allah ke seluruh penjuru bumi.

Dakwah ini bukan sekadar tugas. Ini adalah kehormatan yang Allah titipkan pada kita.

Dakwah ini bukan tentang kemenangan pribadi. Ini tentang menjadi bagian dari barisan yang Allah ridhai.

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)

3. Jangan Biarkan Rantai Ini Terputus di Tangan Kita

Almarhum KH. Rahmat Abdullah pernah berpesan:

“Ya Allah, jangan jadikan kami pengkhianat dengan memutus rantai dakwah (rekrutmen), karena dakwah ini akan mati ketika rekrutmen tidak berjalan.”

Setiap kita adalah mata rantai dalam perjuangan ini. Jika kita berhenti, rantai itu bisa terputus. Jika kita diam, api perjuangan akan padam. Maka, pastikan kita menjadi mata rantai yang kuat, bukan yang rapuh dan mudah patah.

Rekrutmen dan regenerasi kader adalah nyawa dakwah. Jangan hanya berdiri sendiri. Ajaklah orang lain bergabung. Dakwah tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh segelintir orang.

4. Berjuang dengan Kapasitas Terbaik Kita

Setiap kita memiliki peran masing-masing:

Pengusaha: Bangun ekonomi umat dan dukung dakwah dengan finansial yang kokoh.

Politisi: Perjuangkan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik.

Pendidik: Cetak generasi muslim yang berilmu dan berakhlak mulia.

Relawan Sosial: Jadilah tangan yang memberi, membantu, dan melayani umat.

Apapun posisi kita, berikan yang terbaik. Tidak ada peran yang kecil dalam dakwah, selama dilakukan dengan keikhlasan dan kesungguhan.

“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(HR. Bukhari & Muslim)


5. Tetaplah Bergerak, Walau Perlahan

Ada saatnya kita merasa lelah, kecewa, atau merasa usaha kita sia-sia. Tapi ingat, dakwah bukan sprint, melainkan maraton yang panjang. Jika lelah, istirahatlah sejenak, tetapi jangan berhenti. Jika semangat meredup, carilah teman seperjuangan yang dapat menyemangati.

Jaga hati tetap ikhlas.

Perbarui niat setiap hari.

Ingat bahwa Allah melihat setiap langkah kecil kita.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)


6. Dakwah Adalah Jalan yang Pasti Berujung pada Kemenangan


Sejarah telah membuktikan bahwa perjuangan yang tulus dan konsisten selalu berbuah manis. Bahkan jika kita tidak sempat melihat hasilnya di dunia ini, yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap tetes keringat dan doa yang kita panjatkan.

“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”(QS. Muhammad: 7)


7. Doa: Kekuatan Terbesar dalam Dakwah

Jangan pernah remehkan kekuatan doa. Di tengah kesibukan kita berdakwah, jangan lupa untuk terus memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah.

“Ya Allah, kuatkan langkah kami di jalan-Mu. Jangan biarkan kami menjadi mata rantai yang memutus dakwah ini. Jadikan kami bagian dari barisan yang Engkau ridai, hingga kami bertemu dengan-Mu dalam keadaan tersenyum penuh kemenangan.”

Penutup: Teruslah Bergerak, Teruslah Berjuang

Saudaraku, mari kita lanjutkan perjalanan ini dengan penuh keyakinan. Tidak peduli seberapa kecil kontribusi kita, setiap langkah di jalan dakwah adalah investasi abadi di sisi Allah. Kita bukan pejuang pertama di jalan ini, dan kita juga bukan yang terakhir.

Tetaplah berjalan, tetaplah merekrut, tetaplah bergerak! Karena dakwah bukan hanya tentang siapa yang memulai, tetapi siapa yang akan menyelesaikan perjuangan ini.

“Kita bukan siapa-siapa, tapi kita dipilih Allah untuk berada di jalan ini. Maka jangan sia-siakan kehormatan ini!”

SS

Minggu, 15 Desember 2024

Ayah bunda menjagaku

 Bagaimana Umi dan Abi Menjagaku (dari kejamnya dunia)


Oleh : Farah Qonita (putri Ust Abd Aziz Abdur Rouf Lc)

meleleh dalam nikmat Allah yang tak terkira; kini  tengah belajar menjadi calon ibunda yang juga berdakwah


Seorang gadis kecil memandangi jendela rumah dengan kesal. Menanti umi dan abinya yang tak kunjung pulang. Seraya membatin, "Dakwah mulu, kalo aku gede, aku gak mau dakwah-dakwahan!" 

Abi sibuk mengisi kajian, mengajarkan Al-Quran dari satu daerah, kota, bahkan keluar pulau. Umi juga sibuk mengisi kajian ibu-ibu, dari rumah ke rumah. 

Hari ini, anak perempuan itu sudah besar. Ia yang baru satu tahun menikah, sedang belajar tentang "Membangun keluarga dakwah". Sebuah nasihat seorang gurunda begitu menghujam hatinya. 

"Jika kita menjadi orang tua yang salih, yang taat, yang bermanfaat untuk umat, maka Allah yang akan langsung menjaga dan mendidik anak-anak kita. Tolong agama Allah, Allah akan menolong kita." 

Lihat Nabi Musa, rasanya tak mungkin, seorang anak yang dihanyutkan ke sungai demi menghindari pembunuhan raja tirani, dibesarkan oleh Firaun dalam pusat kedzoliman, bisa menjadi seorang Nabi yang menyeru, menyampaikan risalah. Bersebab seorang ibunda salihah yang taat sehingga Allah langsung yang menjaga dan mendidik Nabi Musa. 

Lihat Nabi Yusuf, rasanya tidak mungkin, seorang anak yang dibenci saudara-saudaranya, dibuang ke sumur, dijadikan budak, digoda ratu untuk berzina, hingga dipenjara, bisa menjadi seorang Nabi yang salih dan cerdas. 

Bersebab seorang ayah yang salih, taat, ialah seorang Nabi Yakub. Sehingga Allah langsung yang menjaga dan mendidik Nabi Yusuf. 

Lihat Maryam binti Imran, seorang bayi yang terlahir yatim. Harusnya ia hanya dibesarkan  ibunda. Namun, karena kesalihan orang tuanya, Imran dan Hanah, Allah kirimkan seorang Nabi Zakaria untuk mendidik dan mengasuhnya hingga menjadi seorang perempuan terbaik sepanjang zaman. 

Lihat seorang anak yatim yang Allah kisahkan di Surat Al-Kahfi. Bersebab seorang ayah yang salih, Allah sampai kirimkan Nabi Musa dan Nabi Khidr untuk perbaiki rumahnya yang hampir rubuh. Kelak di bawah tanahnya terpendam harta warisan untuk sang anak yatim bertumbuh. 

Perempuan itu kini termenung lama. Mengingat masa bertumbuhnya yang penuh keajaiban. Saat remaja, jauh dari orang tua, betapa sering ia mangkir dari pengajian, menginginkan kebebasan, melanggar batas-batas yang mengekang. 

Namun, sesering itu juga tangan Allah bekerja. Entah ada saja cara-Nya, Allah gagalkan keinginan nakalnya, Allah dekatkan ia pada gurunda luar biasa, kawan-kawan solehah, lingkungan baik, hingga mengecap aktivitas dakwah! Hal yang dulu ia benci. Aduhai, untuk pertama kalinya perempuan itu mengisi kajian di forum kemuslimahan dengan suara bergetar. Ia demam panggung! 

Mengingatnya ia terkekeh, betapa bodohnya kalau mengira semua kebaikan itu ia dapatkan karena kesolehannya sendiri. Nol besar! Ternyata, bersebab aktivitas dakwah orang tuanya (yang sering ia kesalkan dulu), menjadi sebab derasnya petunjuk dan pertolongan Allah dalam hidupannya. 

Ia meleleh dalam nikmat Allah yang tak terkira. Kini, ia tengah belajar menjadi calon ibunda yang juga berdakwah. Semoga ikhtiarnya kelak membuat Allah berkenan menjaga buah hatinya. 

Rabu, 04 Desember 2024

Penyimpangan Dakwah

 Kenalilah penyimpangan dakwah

Dakwah mengajak pada jalan yang lurus, jalan yang jelas kepada kebenaran sesuai petunjuk Allah swt. Namun karena kelemahan manusia atau kesengajaan karena dorongan nafsu, dakwah yang berupa ajakan bisa menyimpang. 

Banyak bentuk penyimpangan dari prinsip dakwah. Ada yang jelas, ada pula yang tersembunyi dan samar-samar. Penyimpangan dapat berbentuk penyimpangan tujuan (ghayah), sasaran (ahdaf), sekitar jamaah dan komitmen (iltizam), pemahaman (fahm), sarana (wasilah), langkah (khiththah)

1. Penyimpangan Tujuan (Ghayah)

Penyimpangan tujuan termasuk salah satu penyelewengan paling berbahaya yang harus dihindari. Tujuan dakwah, semata-mata karena Allah. Dakwah yang bertujuan selain Allah, atau menyertai tujuan-tujuan lain, seperti tujuan dalam bentuk kepentingan pribadi selain tujuan kepada Allah, adalah suatu penyimpangan.


Setiap penyimpangan tujuan, meskipun ringan atau kecil, tetap akan menyebabkan amal tersebut tertolak. Allah tidak menghendaki sekutu dan tidak menerima amal, kecuali yang ikhlas karena-Nya. Karena itu, mengikhlaskan niat karena Allah dan membersihkan dari segala noda, menjadi persoalan mendasar dalam jalan dakwah ini. Dakwah memerlukan pelurusan niat dan pemantapan yang terus menerus. Jiwa manusia sering dipengaruhi hawa nafsu. Syaithan dapat menyusup ke aliran darah manusia, berusaha merusak ibadah, jihad, juga membatalkan amal dan pahala seseorang.


Bahaya Penyakit Hati


Riya’, ghurur (lupa diri), sombong, ego-centris dan gila popularitas, sebenarnya justru meruntuhkan popularitasnya sendiri. Memburu tujuan duniawi; seperti jabatan, kehormatan, kekayaan atau kekuasaan serta hal-hal duniawi lainnya yang tidak berharga. Ke semuanya merupakan contoh penyakit hati yang menyebabkan manusia menyimpang dari tujuan.

Penyakit hati merupakan penyakit paling berbahaya. Lebih berbahaya ketimbang penyakit jasmani yang pengaruhnya hanya terhadap jasad, yang fana sebatas kehidupan dunia. la (penyakit hati) dapat merusak niat seta membatalkan amal.


Setiap manusia mengidap penyakit hati. Tetapi, orang beriman selalu melawan dan menundukkan dengan kekuatan iman, takwa dan muraqabah akan Rabb-nya. Dengan pembaruan niat, mengutamakan yang ada di sisi Allah ketimbang semua kemewahan dunia. la yakin balasan Allah lebih baik dan kekal.


Penyakit hati memang sulit dilawan dan dibersihkan. Sebab, di sana terjadi perebutan pengaruh dan pertarungan, antara dorongan kebaikan dan kejahatan.


Antara mujahadah (perlawanan) terhadap nafsu dalam rangka membersihkan diri dan mendekatkannya kepada Allah dengan tarikan dunia yang bersifat nafsu jasmaniyah dan kemewahan dunia. Allah berfirman:

“Sungguh telah menang orang yang membersihkan nafsunya, dan celakalah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)


“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami. Pasti Kami akan menunjukkan kepada mereka berbagai jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Ankabut: 69)


Penyimpangan tujuan tidak harus berarti mengarahkan secara total kepada tujuan-tujuan duniawi; berpaling secara total dari Allah, sedikit saja di dalam hati, itu sudah termasuk penyimpangan. Akibatnya, membatalkan amal dan mengeluarkannya dari batasan ikhlas karena Allah.


Penyimpangan tujuan sangat berbahaya. Karena niat berada di hati, sehingga sulit diketahui, walaupun, sudah terjadi. Kecuali, sesudah ekses penyimpangan yang tidak dapat ditutupi lagi. Kemudian merusak jamaah, atau paling tidak berpengaruh buruk. Terutama, jika yang bersangkutan mempunyai posisi menentukan. Akhirnya, mereka harus dikeluarkan dari barisan (shaf). Kecuali jika mereka taubat dengan membersihkan hati dan mengikhlaskan diri kepada Allah.

Ketentuan Allah kepada kaum Mukminin, dalam berdakwah harus bebas dari segala kebusukan. Barang siapa berniat baik, Allah menjadikannya sebagai pengembang dakwah. Barang siapa menyimpan kebusukan di hatinya, Allah tidak akan menyerahkan dakwah ini kepadanya. Untuk membedakan antara haq dan bathil guna menyusun shaf yang bersih, menjadi sunnatullah diperlukan ujian dan cobaan, sebagaimana firman Allah:


“Alif Laam Miim. Apakah manusia menyangka bahwa setelah mereka mengucapkan; ‘Kami telah beriman’, mereka akan dibiarkan tanpa diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, agar Allah membuktikan siapa yang benar dan siapa yang berdusta”. (Al- Ankabut: 1-3)


Urgensi Keikhlasan


Karena keikhlasan dan segala akibatnya merupakan masalah mendasar, maka ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi banyak membicarakannya, misalnya:


“Katakanlah, sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan aku diperintah agar menjadi orang pertama yang menyerahkan diri.” (Az-Zumar: 11-12)

“Katakanlah, hanya kepada Allah aku menyembah dengan mengikhlaskan ibadahku kepada-Nya”. (Az-Zumar: 14)


“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Rabb sekalian alam, tanpa menyekutukan-Nya, demikian itu diperintahkan kepadaku.”


“Ingatlah, hanya kepada Allahlah pengabdian yang ikhlas itu”. (Az-Zumar: 3)


“Dan mereka tidak diperintahkan melainkan mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya, dengan menjauhi kesesatan”. (Al-Bayyinah: 5)


“Sesungguhnya semua amal itu akan diterima sesuai dengan niatnya”. (Bukhari dan Muslim)

“Dari Abu Hurairah RA ia berkata; Rasulullah SAW telah bersabda, ‘sesungguhnya Allah tidak menilai penampilan atau bentukmu, tetap Allah menilai hatimu’”. (HR. Muslim)


“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan, dan riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di

jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Demikian pentingnya keikhlasan dalam berdakwah; sehingga, Imam Asy-Syahid Hasan Al Banna menjadikannya salah satu rukun baiat yang ke-10. Semua orang wajib komitmen dengannya. Menepati dan menjaganya dari segala bentuk noda, agar tidak melanggar baiatnya.


Menurut Hasan Al-Banna, pengertian ikhlas, ialah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa mengharapkan keuntungan, popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan atau keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini  seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.

Firman Allah:


“Katakanlah Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah karena Rabb sekalian alam, tanpa menyekutukan-Nya, demikianlah aku diperintahkan.” (An-An’am: 162-163)

Menepati janji kepada Allah dengan tanpa mengganti dan menggeser niat sampai ajal tiba, merupakan salah satu kewajiban seorang prajurit dakwah. Sehingga orang tersebut masuk dalam golongan yang dimaksud Allah dalam firman-Nya:


“Dan di antara orang-orang yang beriman adalah yang menepati janjinya kepada Allah, maka di antara mereka ada yang telah syahid, dan ada yang masih menunggu-tunggu, tanpa mengubah janji mereka sedikit pun. Supaya Allah membalas orang-orang yang munafiq jika Ia menghendaki atau mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab: 23-24)


Macam-macam Penyimpangan


Kta harus waspada dalam menjalani cobaan berat berupa kesengsaraan dan malapetaka. Kita tidak boleh beranggapan telah lulus dari ujian. Padahal tidak tertutup kemungkinan akan gagal menghadapi cobaan lain. Misalnya cobaan keduniaan dengan segala kemewahan yang memesona. Karena hal itu menjadi kebiasaan musuh-musuh Allah dalam memerangi para prajurit dakwah.


Selain menguji dengan penderitaan juga membujuk dengan kemenangan dunia, kedudukan, dan segala macam fasilitas. Dengan itu, banyak orang tertipu dengan termakan oleh bujuk rayu mereka. Celakanya, orang-orang yang tertipu ini selalu mengatasnamakan amal Islami, dan berdalih untuk kepentingan Islam. Padahal mereka pembohong besar.


Jika kehidupan Rasulullah diukur dengan materi, maka beliau benar-benar orang yang sangat berkekurang

Jika kehidupan Rasulullah diukur dengan materi, maka beliau benar-benar orang yang sangat berkekurangan. Tidak sulit bagi beliau kalau mau menjadi orang yang paling mewah sekalipun. Beliau tidak suka hal itu. Rasulullah SAW lebih suka memberikan teladan kepada kita dalam zuhud dan enggan dengan kemewahan dunia, serta keutamaan yang ada di sisi Allah. Dunia, bukan negeri abadi dan bukan tempat kenikmatan. Apalagi kemewahan itu sering kali membawa kesengsaraan dan kehinaan.


Mari, Rasulullah kita jadikan sebagai pemimpin dan panutan dalam mengemban amanah dakwah ini. Meneladaninya, serta lebih berhati-hati terhadap fitnah dunia.


Kisah para tukang sihir di dalam AI-Quran; yang imannya dapat mengubah dan meluruskan neraca dirinya, dapat kita ambil sebagai pelajaran. Di siang hari mereka datang bertujuan menjilat Fir’aun untuk memperoleh harta dan kedudukan. Namun, tiba-tiba mereka menjadi beriman (kepada Allah). Sehingga intimidasi berupa penyiksaan sadis dari Fir’aun, mereka hadapi dengan tidak gentar.

Firman Allah:


“Mereka (para penyihir) berkata, “Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini. Kami benar-benar telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (Thaha: 72-73)


Demikianlah, neraca kebenaran menjadi lurus kembali. Jika sikap para tukang sihir Firaun saja telah beriman seperti itu. Maka pantaskah bagi orang yang sedang lama orientasi hidupnya secara tulus dipersembahkan karena Allah?


Penyakit hati lainnya, ialah bila seseorang merasa dirinya lebih berpengalaman; la merasa lebih cerdas, lebih baik analisisnya terhadap setiap persoalan. la merasa lebih pintar tentang seluk-beluk politik dan cara melakukan perlawanan terhadap para musuh ketimbang orang lain. la merasa lebih super ketimbang orang lain. Menghina (meremehkan) peran orang lain. Meskipun ia orang yang banyak berjasa dalam dakwah.

Mereka itu, kalau mewujudkan suatu kebaikan dalam dakwah akan mengatakan, keberhasilan itu karena kemampuan dan kejeniusannya semata. la lupa akan karunia Allah, pertolongan dan taufiq-Nya. Padahal, tanpa karunia Allah, tidak akan terwujud suatu kebaikan. Hal ini, mengingatkan kita kepada sikap Qarun yang mengatakan:


“Aku peroleh ini semua adalah karena kepandaianku semata”. (Al-Qashas: 78)


Kami merasakan bahwa penyakit “ego sentris” juga dapat merusak dakwah. Mereka yang mengidap penyakit ini lebih suka mencari orang untuk menjadi pengikutnya sendiri daripada untuk menjadi pengikut jamaah. Hanya manusia-manusia setipe yang mau mendekatinya.


Kita hendaknya tidak mengikatkan diri dengan orang yang punya tipe tersebut. Meskipun, mereka itu mempunyai kedudukan dan kelebihan. Karena, itu merupakan sikap ular. Sedang ular sangat sulit dikendalikan bisanya.


Ketahuilah, orang yang berpenyakit semacam itu tidak pernah mau mengaku dirinya berpenyakit. Kemungkinan, karena ketidaktahuannya atas keberhasilan tipu daya iblis kepadanya. Akibatnya, penyakitnya semakin parah. Kita berkewajiban menyadarkan orang lain yang tidak mengikutinya. Orang-orang tersebut kadang-kadang membenarkan sikap ambisi pribadinya, dengan dalih kemaslahatan dakwah atau umat; bukan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, keikutsertaannya dalam satu pemerintahan thaghut (pemerintahan yang tidak menjalankan hukum Islam), semata-mata untuk kepentingan Islam. Ia menganggap perbuatannya itu sebagai taktik dakwah. Bahkan ia menuduh orang lain terlalu picik dalam menilai kemaslahatan dakwah. Seandainya di situ ada nilai kemaslahatan, apakah hanya dirinya saja yang berhak menilai?


Perlu diketahui, keberadaan mereka yang berwatak semacam itu dalam shaf setelah tidak mau diperbaiki lebih membahayakan ketimbang melakukan pembersihan shaf. Maka, tidak dapat diterima sikap sebagian orang yang dengan niat baik mentolerir mereka. Karena khawatir terjadi perpecahan dan takut kehilangan potensi mereka. Akhirnya dengan keberadaan mereka dalam shaf tidak hanya mereka yang dinilai menyimpang, tetapi shaf (barisan) tersebut juga menyimpang. Pembahasan masalah penyimpangan tujuan ini kita akhiri dengan mengutip kata-kata Syahid Sayyid Quthb:


“Satu demi satu anggota jamaah diserang kerontokan. Mereka akan gugur seperti daun kering yang jatuh dari pohon besar. Kemudian musuh menggenggam salah satu ranting pohon tersebut disertai anggapan, dengan tercabutnya ranting pohon tersebut akan dapat menghancurkan seluruh pohon itu, sehingga apabila telah tiba saatnya dan ranting pun dicabut, maka keluarlah dari genggamannya seperti kayu kering, tidak mati dan tidak pula hidup, sedangkan pohon tersebut tetap utuh seperti semula.”

Referensi: Syaikh Mushthafa Masyhur, Fiqih Dakwah, Jakarta, Al-I’tishom Cahaya Umat, 2000

arsip agus ahmad hidayat

Anakku ! Kau harus seperti aku!

 Bijakkah memaksakan kehendak (orang tua) pada (masa depan) anak?


Engkau harus seperti aku !

Bagaimana menata menyiapkan keinginan dengan jeli dan cerdas.

Setiap kita berada pada zaman yang berbeda, sampai ada pernyataan; persiapkan anakmu karena mereka akan berada pada zaman yang berbeda denganmu. Suasana, keadaan, fasilitas dan berbagai hal yang ada pada lingkungan kita, tidaklah sama. Dulu mungkin jalanan belum semulus sekarang, listrik tidak semudah sekarang, bahkan alat komunikasi jauh berbeda. Apakah tuntutan kita masih sama? Rasanya hanyalah seloroh atau satire saja jika mengatakan; “enak zamanku to?”

Sebuah kisah yang saya dengar dari mantan tentara. Dia bercita-cita agar anaknya mengikuti kehendak ayahnya. Dia menyuruh anaknya melamar dan tes sebagai calon prajurit. Sudah berkali kali mencoba belum berhasil. Bahkan selama usianya memungkinkan untuk peluang tes calon prajurit sang ayah menyuruh anaknya ikut. Terucap dari mulut sang ayah “kalau kau tidak diterima, tidak perlu pulang ke rumah” . Mungkin maksud sang ayah berucap seperti itu agar motivasinya membara, dan mendorong kesungguhan si anak,  namun sang ayah salah mengukur kemampuan anak dengan target standar diterimanya seorang calon prajurit. “dia harus seperti aku, dia kuat harus sekuat aku” terpikirkankah jika itu termasuk memaksakan? Dalam bahasa umum hal ini tidak bijaksana, dalam bahasa agama disebut dholim.

Di sisi lain, ada anak ustadz yang dipesantrenkan dengan target menghapalkan quran 30 juz. Rasanya tidak berat untuk ukuran si ustadz. Setelah beberapa bulan mondok, lalu si anak melarikan diri, pergi tanpa izin pihak pondok. Mereka mencari tahu, mengapa mereka tidak betah di pondok. Setelah ditelusuri ternyata kemampuan yang dimiliki si anak tidak sesuai dengan target sang ayahnya-yang notabene seorang ustadz. Aku ustadz, aku kuat menghapal, anakku pun mestinya bisa seperti aku. Perlulah dikoreksi dalam mengukur dan memprediksi daya rekam daya nalar seorang anak.

Mungkin banyak contoh yang kita lihat, ada anak anak terlantar tidak ‘belajar’ tidak kuliah, tidak mondok karena daya tuntutan terlalu tinggi sementara banyak orang tidak menyadari kemampuan tiap orang berbeda.

Sudahkah kita berpikir bijak? Sudahkah kita melihat sekitar, Sudahkah kita memahami anak anak kita dengan baik?

Setiap kita sebagai orang tua pasti memiliki cita-cita, cita cita yang baik, menyiapkan masa depan yang lurus dan bahagia dalam kehidupannya. Namun perlu disadari, hal ini ada hal pokok dan ada hal yang cabang. Akidah dan pemikiran harus sama seiring dengan keluarga, namun sarana, metode, lembaga merupakan hal yang alternatif, bisa dipilih dan disiapkan konsekuensinya. Berkaitan dengan biaya, lokasi, intensitas komunikasi langsung. Ini merupakan pelatihan penyiapan generasi.

Apakah kita sukses atau gagal dalah hal ini?

 

 

 

Berikut kita ikuti butir butir renungan agar kita bijak menyikapi dalam pola asuh anak sebagai penerus generasi kita.

Ketika anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan idealisme atau harapan orang tua; Menuntut kehendak yang berlebihan, Memperbandingkan sosial, Perbandingan Sosial, Tidak memahami tahapan perkembangan anak, Trauma – luka pengasuhan masa kecil (sang orang tua), Budaya perfectionisme – serba sempurna

Dampak hubungan; Rasa Bersalah yang Mendalam: Orang tua merasa tidak layak atau tidak cukup baik, yang membuat mereka menarik diri secara emosional dari anak. Penolakan Emosional: Ketika anak tidak memenuhi harapan, orang tua mungkin secara tidak sadar menunjukkan rasa kecewa, yang bisa dirasakan oleh anak.Tekanan pada Anak: Anak merasakan tekanan untuk memenuhi harapan orang tua, yang dapat menyebabkan stres, pemberontakan, atau bahkan hubungan yang renggang.

 Mengatasi Perasaan Gagal

Menerima Perbedaan: Sadarilah bahwa setiap anak unik dan memiliki jalan hidup serta potensi mereka sendiri. Tidak semua hal bisa dikontrol oleh orang tua.

Redefinisi Kesuksesan: Ubah definisi kesuksesan dari pencapaian eksternal (seperti nilai akademik atau karier) menjadi hal-hal yang lebih dalam, seperti kebahagiaan, kebaikan hati, dan karakter yang baik.

Belajar tentang Tahapan Perkembangan Anak: Pemahaman tentang tahapan perkembangan anak akan membantu orang tua menyesuaikan harapan dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Memaafkan Diri Sendiri: Orang tua perlu menyadari bahwa mereka tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa. Fokus pada perbaikan hubungan daripada menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi.

Komunikasi yang Empatik: Bangun komunikasi yang lebih terbuka dengan anak. Dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi, dan sampaikan perasaan Anda dengan jujur tetapi tetap menghargai.

Strategi untuk Membangun Kedekatan

Fokus pada Kelebihan Anak: Alih-alih melihat kekurangan anak, fokuslah pada potensi dan kelebihan mereka. Dukung apa yang mereka minati dan sukai.

Berbagi Waktu Berkualitas: Habiskan waktu bersama anak tanpa mengungkit kegagalan atau kekurangan mereka. Jadikan momen itu sebagai waktu untuk mempererat hubungan.

Hargai Proses, Bukan Hanya Hasil: Dorong anak untuk terus mencoba dan belajar, daripada hanya menilai hasil akhir yang mereka capai.

Ciptakan Lingkungan Aman Emosional: Jadilah tempat yang aman bagi anak untuk berbagi cerita, kegagalan, atau kekhawatiran mereka tanpa takut dihakimi.

Belajar Bersama: Tunjukkan bahwa orang tua juga manusia yang terus belajar. Ini akan membantu anak melihat bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pertumbuhan.

1)Anak Adalah Amanah,Mereka adalah amanah dari Tuhan yang tumbuh dengan karakteristik unik.2)Kesuksesan Tidak Selalu Berwujud Pencapaian: 3)Anak yang bahagia, sehat, dan memiliki moral yang baik adalah keberhasilan besar yang sering kali tidak terlihat.4)Perubahan Dimulai dari Orang Tua: Anak akan merespons perubahan positif dari orang tua. Ketika Anda lebih menerima diri sendiri dan mereka, hubungan akan tumbuh dengan lebih kuat.5)Doa dan Usaha: Setelah melakukan yang terbaik, serahkan hasilnya kepada Tuhan. Setiap anak memiliki perjalanan dan takdir yang unik.


terinspirasi atas keluhan orang tua

 Agus Ahmad Hidayat

 

 

 


Selasa, 03 Desember 2024

Sunan Kalijaga, berdakwah menggunakan kearifan lokal

 Metode dakwah melalui kearifan lokal

Sunan Kalijaga menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi budaya yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa saat itu. 

Berbagai kisah peninggalan sejarah, baik berupa serat, tembang, gubahan puitis, falsafah, rancangan beserta lakon wayang kulit, formasi alat gamelan, sampai tutur cerita lisan telah tersebar luas dan tidak lekang oleh waktu.

Menurut John Hady Saputra dalam buku ‘Mengungkap Perjalanan Sunan Kalijaga’, Sunan Kalijaga menggunakan pola dakwah yang sama dengan gurunya, Sunan Bonang yang cenderung “sufistik berbasis salaf”.

Begitu juga dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Mereka yang pada dasarnya menyukai wayang, mulai tertarik dengan pertunjukan wayang yang digelar oleh Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga memanfaatkan kesenian budaya sebagai sarana berdakwah, salah satunya dengan wayang kulit yang tengah digandrungi sebagian besar Masyarakat Jawa. 

Mereka tertarik dengan pertunjukan wayang yang digelar oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga tidak memungut biaya bagi masyarakat berbagai kalangan yang ingin menyaksikan pertunjukan wayang.

Sunan Kalijaga hanya meminta orang-orang yang datang menyaksikan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai ganti biaya tiket masuknya.

Metode ini terbukti efektif, masyarakat Jawa yang ketika itu menganut paham animisme secara perlahan mulai menerima ajaran Sunan Kalijaga. 

Bahkan banyak adipati di Jawa yang memeluk Islam dengan ajaran Sunan Kalijaga. Seperti adipati Kartasura, Pandanaran, Banyumas, Kebumen, dan Pajang.

Dikutip dari buku Sunan Kalijaga dan Mitos Masjid Demak oleh Dr. Fairuz Sabiq, M.S.I, salah satu wali yang juga disebut dengan nama Raden Mas Said ini adalah satu dari sembilan wali yang memiliki pengaruh besar terhadap penyebaran dan perkembangan agama Islam di pulau Jawa. Ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1430-an, ada juga pendapat yang menyebutkan lahir pada tahun 1450.

Dalam buku tersebut, ditulis juga bahwa ada beberapa pendapat mengenai asal-usul nama dari sunan Kalijaga. Salah satunya adalah nama Kalijaga, berasal dari cerita saat ia berguru pada sunan Bonang. Dalam cerita tersebut, sunan Bonang menancapkan kayunya di pinggir kali, dan Raden Mas Said diperintahkan untuk menjaga tongkat kayu itu selama bertahun-tahun.

Mengutip buku Islam Abangan dan Kehidupannya oleh Rizem Aizid, Sunan Kalijaga dalam berdakwah, memanfaatkan kegemaran masyarakat. Salah satunya adalah dengan mengadakan pertunjukan wayang dengan gratis. Dari hal ini, ia berhasil mengislamkan masyarakat Jawa yang dahulu sangat kental dengan tradisi Hindu-Budha secara halus dan tanpa paksaan apapun. Ia juga dikenal menjadi seorang seniman hebat, atau seorang dalang dan juga ahli dalam wayang kulit.

Pendekatan seni lainnya yang digunakan sebagai cara berdakwah Sunan Kalijaga, di antaranya adalah seni berpakaian seperti pakaian batik dan takwa, kemudian seni suara dalam tembang-tembang seperti lir-ilir dan gundul-gundul pacul, kemudian seni ukir yang bernuansa islami, dan wayang seperti yang sudah disebutkan.

Melalui pendekatan akulturasi budaya

Selanjutnya, dalam berdakwah Sunan Kalijaga juga memadukan unsur-unsur kebudayaan yang ada pada saat itu dengan budaya keislaman. Pendekatan akulturasi ini, dalam buku Sunan Kalijaga (Raden Said) oleh Yoyok Rahayu Basuki, menjadi pendekatan yang paling sesuai dengan masyarakat jawa, yaitu memadukan budaya pada masa itu dengan menyisipkan nilai keislaman. Sehingga, dakwahnya juga menjadi mudah diterima.

Jasa-Jasa Sunan Kalijaga

Sebagai wali yang memiliki pengaruh di masyarakat Jawa khususnya, inilah jasa-jasanya selama menyebarkan agama Islam. hal ini dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Ibtidaiyah kelas VI, oleh Yusak Burhanudin dan Ahmad Fida':

Sebagai seorang mubalig

Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang mubalig yang menyebarkan agama Islam sambil mengembara. Ia juga berkeliling dan mendekati masyarakat dengan cara yang ramah, dan mampu berbaur dengan masyarakat sekitar


Seorang ahli dalam bidang strategi perjuangan

Selain menjadi seorang mubalig, ia juga merupakan seorang ahli dalam strategi perjuangan. Dalam menyebarkan agama Islam, ia juga mengalami kesulitan-kesulitan sehingga ia harus memakai pertimbangan dan strategi yang matang dalam dakwahnya.

Seorang ahli di bidang seni dan arsitektur

Dalam bidang seni, Sunan Kalijaga mampu menciptakan kesenian dalam berbagai bentuk seperti wayang yang lengkap dengan gamelannya, tembang-tembang yang ia buat, bedug di masjid untuk memanggil orang ketika waktu shalat telah tiba, dan lain-lain. Sunan Kalijaga juga ahli dalam bidang arsitektur, seperti masjid Agung Demak yang ia dirikan.

ditulis ulang dari berbagai sumber

agus ahmad hidayat

Senin, 02 Desember 2024

Latar turunnya surat al-maa'un

 Surat Al Maa'un, turun untuk mengingatkan dan mengancam


Buya Hamka termasuk yang berpendapat Surat Al Maun ini diturunkan di Madinah. “Surat yang pendek ini diturunkan di Madinah untuk menghardik orang-orang munafik yang ada pada masa itu, yang sorak sorainya keras padahal sakunya dijahit rapat,” tulisnya dalam Tafsir Al Azhar.


Ada sebagian ulama yang berpendapat surat ini Madaniyah karena di dalamnya ada ayat tentang orang munafik, yang baru ada di Madinah. Sebagian ulama lainnya menjelaskan, awal surat ini turun di Makkah, sedangkan ayat 4-7 turun di Madinah.

Nama surat ini Al Maun yang berarti barang yang berguna, terambil dari ayat terakhir dari surat ini. Nama lainnya adalah Surat Ad Din, Surat At Takdzib, Surat Al Yatim, dan Surat Ara’aita.

Menurut Ibnu Abbas, asbabun nuzul Surat Al Maun ini terkait dengan Ash bin Wail. Menurut As Saddi mengenai Walid bin Mughirah. Ada juga yang mengatakan terkait Abu Jahal. Namun, semuanya hampir sama, mereka menyakiti anak yatim yang datang meminta bantuan.

Menurut Ibnu Juraij, terkait dengan Abu Sufyan yang biasa menyembelih unta setiap pekan. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging dari unta yang telah disembelih itu. Namun ia tidak diberi justru dihardik dan diusir. Setelah peristiwa itu, Allah menurunkan tiga ayat pertama Surat Al Maun ini.

Asbabun Nuzul yang lain diriwayatkan dari Ibnu Mundzir bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat keempat Surat Al Ma’un turun mengenai kaum munafik. Mereka memamerkan shalat mereka, namun tidak shalat jika tidak ada yang melihat serta tidak mau meminjamkan sesuatu kepada orang lain.

Surat Al Maun ayat 1

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ


Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?


Kata yukadzdzibu (يكذب) artinya adalah mendustakan atau mengingkari. Ia bisa berupa sikap batin, bisa pula berupa sikap lahir yang tampak dalam perbuatan.

Kata ad din (الدين) secara bahasa bisa berarti agama, kepatuhan, atau pembalasan. Dalam ayat ini, ad din sering diartikan agama. Namun ia juga berarti pembalasan karena seringkali Al-Qur’an ketika menggandengkan yukaddzibu dengan ad din artinya adalah mendustakan hari pembalasan (kiamat).Al-Qur'an courseAl-Qur'an course

Ibnu Katsir termasuk mufassir yang memaknai ad diin dengan hari pembalasan. Sehingga makna ayat ini, tahukah engkau, hai Muhammad, orang yang mendustakan agama dan mendustakan hari pembalasan?


Surat Al Maun ayat 2

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ


Itulah orang yang menghardik anak yatim,


Kata dzalika (ذلك) digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh. Dzalika di sini memberi kesan betapa jauhnya orang itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kata yadu’u (يدع) artinya mendorong dengan keras. Namun maknanya tak selalu dorongan fisik, namun juga mencakup segala penganiayaan dan gangguan.

Al yatim (اليتيم) berasal dari kata yutm (يتم) yang artinya kesendirian. Permata yang indah dan tak ada bandingannya disebut ad durrah al yatiimah (الدرة اليتيمة). Pada manusia, yatim digunakan untuk anak yang belum dewasa dan ayahnya telah wafat.

Ibnu Katsir menjelaskan, orang yang mendustakan agama dan mendustakan hari pembalasan itu adalah orang yang berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, menganiaya haknya dan tidak memberinya makan serta tidak memperlakukannya dengan perlakuan yang baik.


Surat Al Maun ayat 3

وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ


dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.


Kata yakhudldlu (يحض) artinya adalah menganjurkan. Kalaupun tidak memiliki apa-apa, seseorang dituntut minimal menjadi orang yang menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin.

Kata tho’am (طعام) berarti makanan atau pangan. Ayat ini tidak menggunakan kata ith’am (إطعام) yang artinya memberi makan, agar setiap orang yang melakukannya tidak merasa dirinya telah memberi makan. Namun ia hanya memberikan makanan yang pada hakikatnya bukan miliknya melainkan hak orang-orang miskin itu.

Dua ayat yang menjelaskan karakter pendusta agama ini senada dengan firman-Nya:


كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ . وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ


Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, (QS. Al Fajr: 17-18)


Surat Al Maun ayat 4

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ


Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,


Huruf fa (ف) pada ayat ini menggabungkan tiga ayat pertama dengan ayat ini dan ayat-ayat berikutnya. Bahwa orang-orang yang mendustakan agama dan hari pembalasan, selain mereka suka menghardik anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin, mereka juga dihinggapi penyakit riya’.

Karenanya banyak ulama yang tidak sependapat jika surat Al Maun diturunkan terpisah, tiga ayat pertama di Makkah dan empat ayat terakhir di Madinah. Namun surat ini diturunkan sekaligus jika memperhatikan rangkaian ayatnya yang membentuk satu kesatuan.

Kata wail (ويل) artinya adalah kebinasaan atau kecelakaan, yang menimpa akibat pelanggaran atau kedurhakaan.


Al mushalliin (المصلين) biasa diartikan orang-orang yang shalat. Namun dalam ayat ini, sholatnya tidak sempurna karena tidak didahului dengan kata yang seakar dengan aqimu. Penjelasannya ada pada ayat berikutnya. Sehingga tidak boleh membaca ayat ini berhenti di sini. Ia menggunakan waqaf lazim yang harus dilanjutkan dengan ayat berikutnya sebagai penjelasan.

Menurut Ibnu Abbas, al mushalliin yang celaka pada ayat ini adalah orang yang sudah berkewajiban shalat namun mereka melalaikannya. Menurut Masruq, maksudnya adalah orang yang mengerjakan shalat bukan pada waktunya. Sedangkan menurut Atha Ibnu Dinar, maksudnya adalah orang yang menunda-nunda shalatnya.


Surat Al Maun ayat 5

الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ


(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,


Kata ‘an (عن) berarti tentang atau menyangkut. Jika ayat ini menggunakan kata fi (في), ia berarti kecaman terhadap orang yang lalai dalam shalatnya dalam arti tidak khusyu’. Namun ayat ini menggunakan kata ‘an (عن) sehingga ia adalah kecaman terhadap orang yang lalai dari esensi makna dan tujuan shalat.


Kata saahuun (ساهون) artinya berasal dari kata sahaa (سها) yang artinya lupa atau lalai. Yaitu seseorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain sehingga melalaikan tujuan utamanya.


Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud dalam Surat Al Maun ayat 4-6 ini adalah orang-orang munafik. Mereka mengerjakan shalat saat bersama orang lain namun tidak mengerjakannya ketika sendirian.


 “Mereka mengerjakan shalat tetapi tidak menegakkan shalat. Mereka menunaikan gerakan-gerakan shalat dan mengucapkan bacaan sholat, tapi hati mereka tidak hidup bersama shalat dan tidak hidup dengannya,” tulis Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran. “Ruh-ruh mereka tidak menghadirkan hakikat shalat dan hakikat bacaan-bacaan, doa-doa dan zikir yang ada dalam shalat, mereka melakukan shalat hanya untuk dipuji orang lain, bukan ikhlas karena Allah.”


Surat Al Maun ayat 6

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ


orang-orang yang berbuat riya


Kata yuroo’uun (يراءون) berasal dari kata ra’a (رأى) yang artinya adalah melihat. Dari akar kata yang sama, lahir kata riya’. Yaitu orang yang melakukan pekerjaan sambil melihat manusia sehingga jika tak ada yang melihatnya, mereka tidak melakukan pekerjaan itu. Secara istilah, riya’ berarti melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah tetapi untuk mendapatkan pujian dan popularitas.


Yang paling terkena ayat ini adalah orang-orang munafik. Namun kita juga harus waspada jika ada riya’ dalam diri kita.


Surat Al Maun ayat 7

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ


dan enggan (menolong dengan) barang berguna.


Kata al maa’uun (الماعون) berasal dari kata al ma’n (المعن) yang artinya sedikit. Ia juga bisa berasal dari kata ma’unah (معونة) yang artinya bantuan, dengan mengganti ta’ marbuthah dengan alif dan diletakkan sesudah mim. Sehingga al maa’uun adalah sedikit bantuan yang berguna.

Menurut Ali bin Abu Thalib, al maa’uun adalah zakat. Sebagian sahabat Nabi mengatakan al maa’uun adalah sedekah. Ibnu Mas’ud mengatakan al maa’uun adalah barang yang biasa dipinjam seperti panci. Sedangkan Mujahid mengatakan maknanya adalah peralatan rumah tangga.

Ikrimah merangkum semua pendapat itu. Ia menjelaskan bahwa puncak al maa’uun adalah zakat mal sedangkan yang paling rendah adalah meminjamkan ayakan, timba dan jarum. Pendapat ini pula yang dipilih Ibnu Katsir.

Ibnu Katsir menjelaskan, mereka adalah 1)orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah dengan baik, juga 2)tidak mau berbuat baik kepada sesama manusia. 3)Tidak mau menolong orang lain, bahkan 4)tidak mau meminjamkan sesuatu kepada orang lain meskipun barang itu akan kembali dalam kondisi utuh. 5)Mereka juga menolak zakat.

Buya Hamka termasuk yang berpendapat Surat Al Maun ini diturunkan di Madinah. “Surat yang pendek ini diturunkan di Madinah untuk menghardik orang-orang munafik yang ada pada masa itu, yang sorak sorainya keras padahal sakunya dijahit rapat,” tulisnya dalam Tafsir Al Azhar.


Penutup

Surat Al Maun adalah surat yang menjelaskan hakikat para pendusta agama dan mendustakan hari pembalasan. Karakter utama mereka adalah sewenang-wenang kepada anak yatim dan tidak mau menolong orang miskin.

Surat ini juga berisi ancaman kepada orang-orang munafik yang lalai dari shalatnya, memamerkan shalatnya padahal ia sering meninggalkan shalat itu dan lalai dari tujuannya. Mereka juga tidak mau membantu orang lain. Bahkan meminjamkan sesuatu saja berat, apalagi bersedekah dan membayar zakat. Mereka itulah orang-orang yang celaka.

ditata ulang agus ahmad hidayat

Pendusta agama, siapakah dia?

 Telaah surah al-maa'un

Kata "Ara'aita" dalam ayat bukanlah sebuah pertanyaan semata yang membutuhkan jawaban, karena Allah Mengatahui segala hal dan tidak membutuhkan jawaban itu, tetapi bentuk ketakjuban atau mengherankannya kondisi manusia yang kebodohan dan pengingkarannya telah melampui batas. Pertanyaan ini bermaksud untuk menggugah pikiran dan hati pendengarnya untuk memperhatikan kalimat berikutnya.   

Khithab dalam ayat ini tidak hanya untuk Rasulullah saw melainkan untuk orang-orang yang patut baginya. Adapun maksudnya ayat pertama adalah, "Wahai Muhammad apakah engkau melihat dan mengetahui keadaan manusia yang mendustakan hari kebangkitan, hari pembalasan dan hari penghitungan amal, dan menginkari apa yang engkau bawa dari sisi Tuhanmu yang merupakan perkara hak dan petunjuk? 

Tidak diragukan lagi keadaan manusia yang demikian itu adalah keadaan yang paling mengherankan dan siksanya adalah seburuk-buruknya siksa." (Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsirul Wasith, [Kairo, Dar Nahdlah: 1997 M], juz XV, halaman 518). 

Syekh Musthafa Al-Maraghi (wafat 1371 H) dalam tafsirnya menerangkan tentang penjelasan ayat di atas sebagai berikut: "Apakah engkau (Muhammad) mengetahui orang itu, orang yang mendustakan perkara-perkara Ilahiyah dan urusan-urusan gaib yang akan mereka temui mendatang setelah jelas baginya  adanya dalil qath'i dan petunjuk yang terang-benderang yang menjelaskannya. Jika engkau tidak mengetahui sosoknya maka kenali dia dengan sifat-sifatnya, yaitu: 

pertama, orang yang mendustakan hari kebangkitan itu adalah orang yang menghardik anak yatim dan membentak-bentaknya dengan kasar bila datang kepadanya untuk meminta kebutuhanya, merendahkan keadaannya dan menyombongkan diri kepadanya. 

Kedua, ia tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan kepada orang miskin. Jika ia tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan kepada orang miskin dan tidak mengajak untuk itu maka ia sendiri lebih-lebih tidak melakukannya. (Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba'ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M], juz XXX, halaman 249). 

Sayyid Thanthawi dalam Tafsirul Wasith mengatakan, tiga ayat di atas merupakan dalil yang jelas bahwa manusia yang mendustakan hari pembalasan sungguh telah melampaui batas dalam keburukan dan kejelekannya. Hal itu, karena kerasnya hati sehingga tidak berbuat lemah lembut terhadap anak yatim, melainkan merendahkan, mencegah segala kebaikan kepadanya. Karena kebusukan jiwanya, mereka enggan berbuat baik dan tidak mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan, melainkan mendorong sebaliknya, mendorong untuk berbuat buruk dan dosa.  

Tatkala sifat-sifat tercela ini tidak mendatangkan keikhlasan dan khusuk kepada Allah, melainkan sifat-sifat tercela ini mendatangkan sifat pamer dan tidak ada perhatian untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan Allah kepada mahluknya. (Thanthawi, Tafsirul Wasith, juz XV, halaman 519). 

Syekh Wahbah Az-Zuhili dalam tafsirnya mengatakan dari ayat-ayat tersebut dapat diambil hal-hal sebagai berikut: Celaan atas orang  yang mendustakan hari pembalasan dan perhitungan amal di akhirat. Lafal dalam ayat ini bersifat umum sehingga tidak terbatas pada orang yang menjadi objek sebab turunnya ayat.  Di antara sifat dan keburukan orang yang mendustakan hari pembalasan di akhirat adalah menghardik, mengusir, menzalimi, serta tidak memberikan hak kepada anak yatim. 

Termasuk juga, tidak melakukan kebaikan dan tidak menganjurkan atau tidak memerintahkan untuk memberi makan orang-orang fakir dan miskin karena sifat bakhil dan mendustakan hari pembalasan. Celaan dalam ayat ini tidak bersifat umum, sehingga tidak mencakup orang yang tidak melakukan hal itu karena tidak mampu. Akan tetapi, orang-orang munafik tersebut bakhil padahal mereka sebenarnya kaya-raya. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 424-425). Wallahu a'lam bisshawab. 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo