Selasa, 17 Juni 2025

Politik; pemikiran al Ghazali

Refleksi Pemikiran 
Politik Menurut Imam Al Ghazali dalam Konteks Nilai-Nilai Islam dan Relevansinya pada Era Modern 

 Penulis: Ahya Adi Septiansyah 

 Mengenal Al Ghazali: 

 Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad bin Ahmad Al – Ghazali Avh-Thusi Asy-Syafi’i atau lebih di kenal dengan sebutan Al-Ghazali merupakan ulama yang ahli di bidang fiqih, filsafat, teolog, sufi dan ulama islam sunni terkemuka yang lahir di Thus, Khurasan Iran pada tahun 450 H/1058 M. Pengantar: Sebagai figur yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi yang sangat signifikat terhadap politik islam, konsep-konsep pemikiran Imam Al-Ghazali tentang kepemimpinan kenegaraan dan masyarakat yang adil dan makmur masih sangat relevan hingga saat ini. Istilah politik tidak pernah luput dari algoritma platfrom-platfrom media sosial menjelang musim pemilu, hal ini terlihat setelah di adakannya deklarasi capres-cawapres ataupun caleg. Politik merupakan suatu proses atau kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan sebuah keputusan khususnya dalam pemerintahan suatu negara demokrasi yang sifatnya mengikat terkait dengan kebaikan masyarakat dan akan menjadi perubahan dalam suatu negara selanjutnya. 

 Imam Al-Ghazali merupakan intelektual muslim yang telah di akui keilmuannya oleh imam-imam lain ataupun ulama pada zamannya, sehingga Imam Al Ghazali di juluki sebagai “Hujjatul islam” argumentator islam. Beliau di kenal sebagai tokoh tasawuf dan filosof sehingga tak heran kalau beliau memiliki banyak gagasan di berbagai bidang termasuk dalam bidang politik. Pandangan Al Ghazali tentang politik Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghozali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik Al Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan peraturan negara yang memiliki moral yang baik dengan di topang oleh agama sebagai dasar negara. 

Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politik muslim adalah, Al Ghazali mementingkan ilmu dan adab yang benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan pemerintahan yang baik, termasuk unsur unsur yang sangan penting seperti keadilan, transperasi dan integrasi. konsep politik menut Imam Al Ghazali di tulis didalam kitab karya beliau yaitu “Ihya Ulumuddin”. Dalam kitab tersebut Imam Al Ghazali membangun sebuah argumentasi dari hal hal yang sangat fundamental. Tujuan politik menurutnya adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi semua masyarakat, baik di kehidupan dunia maupun kelak di akhirat nanti. Hal tersebut dapat di capai dengan menegakkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraaan, dan kesalihan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, 

Imam AL Ghazali menekankan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki kualitas moral dan intelektual yang tinggi. seorang pemimpin harus bijaksana, bertakwa, adil dan memiliki pemahaman yang sangat luas tentang agama dan politik. Serta harus memimpin dengan penuh hikmah, ikhlas, bijaksana dan lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya dibanding kepentingan dirinya sendiri. Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ulumuddin juga membahas politik dengan istilah “siyasah”. Siyasah merupakan aspek utama yang tidak dapat di pisahkan dalam politik sebuah negara. Karena dengan adanya siyasah akan tercipta sebuah sistem ketatanegaraan yang mengatur kehidupan sosial warganya. 

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa siyasah mempunyai posisi yang sangat akurat dalam sebuah negara karena untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang baik, 

diperlukannya “siyasah”

. وَالسِّيَاسَةُوَهِيَ لِلتَّأْلِيْفِ وَاْلِاجْتِمَاعِ وَالتَّعَاوُنِ عَلَى أَسْبَابِ الْمَعِيْشَةِ وَضَبْطِهَا 

 Artinya: “Politik adalah tentang membentuk, mempertemukan, dan bekerja sama dalam sarana penghidupan dan pengendaliannya” Dengan “siyasah” yang baik akan menunjang terealisasikannya urusan urusan keagamaan, 

oleh karna itu Imam Al Ghazali menegaskan وَالسِّيَاسَةُ فِي اسْتِصْلَاحِ الْخَلْقِ وَإِرْشَادِهِمْ إِلَى الطَّرِيْقِ الْمُسْتَقِيْمِ الْمُنْجِي فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ Artinya: “Politik merupakan usaha untuk mencapai kemaslahatan dan mengarahkan masyarakat kepada jalan yang benar. Yaitu selamat di dunia dan akhirat.” Imam Al Ghazali berpendapat bahwa dunia merupakan “mazratul ahiroh” yaitu ladang menuju ahirat, 

artinya kehidupan di dunia harus dilandasikan untuk mencari bekal sebanyak banyaknya kelak menuju akhirat nanti, dengan cara melakukan segala kebaikan sesuai dengan perintah agama. Dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 148: وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ۝١٤٨ Artinya; “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” 

 Menurut Imam Al Ghazali hubungan antara agama, dunia dan politik tidak dapat di pisahkan, agama harus menjadi landasan moral spiritual dan hukum dalam menjalankan pemerintahan, politik juga harus sejalan dengan nilai nilai agama. Sebuah negara juga harus berlandaskan pada agama untuk menetapkan hukum hukum yang ada, hal tersebut sudah ada pada pancasila sila ke satu “ketuhanan yang maha esa”. Seorang pemimpin dan pejabatnya juga harus membina hubungan baik dengan ulamanya, dalam Ihya ulumuddin jus II di jelaskan 

“Sesungguhnya kerusakan kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan pemimpin, dan kerusakan pemimpinnya disebabkan oleh kerusakan para ulamanya, dan kerusakan ulamanya disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan atau tahta, dan barang siapa di kuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurusi rakyat kecil apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala persoalan” (Ihya II hal 381). 

 Oleh karna itu imam Al Ghazali menegaskan bahwasannya seorang pemimpin tidak boleh di pisahkan dari ulamanya. Karena ulama merupakan penerus para anbiya’ (warosatul anbiya’), seorang ulama harus memberikan kontribusi dengan nasihat dan perintah terutama pada nasihat nasihat aqidah dan adab.

 Dua hal ini menurut Imam Al Ghazali merupakan faktor utama untuk menjadi hamba yang sejati, dengan istilah lain basicfaith yang ingin di kokohkan kepada para pejabat negara adalah pandangan dasar tentang imam. Karena asal bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas aktifitas ilmiah dan teknologi. Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab kepada tuhan yang maha esa, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sediri dan orang lain dalam masyarakatnya, yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia. Imam Al Ghazali memiliki pendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki syarat;

 di antaranya mampu berbuat adil di antara masyarakatnya (tidak nepotis), melindungi rakyatnya dari kerusakan dan keriminalitas, tidak dzalim, harus memiliki integritas,penguasaan dalam bidang ilmu kenegaraan dan agama, agar dalam menentukan kebijaksanaan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca indranya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu dalam menjalankan tugas), mempunyai anggota badan yang normal, pemberani, memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat. 

 Dalam kitab Al Tibr Al Masbuk fi nasehati Al Mulk, kitab tersebut berisi tentang nasihat-nasihat Imam Al Ghazali kepada sultan Muhammad Ibn Malik, yang pertama Imam Al Ghazali memprioritaskan pada kekuatan aqidah tauhid. Sedangkan isi yang kedua yakni berupa nasihat-nasihat moral, keadilan, keutamaan ilmu dan ulama. Dalam kitab tersebut, Imam Al Ghazali tidak lupa mengingatkan kepada sultan Al Mulk agar tetap loyal pada keimanan yang benar, ia juga mengingatkan bahwa kekuasaan di dunia adalah titipan dari Allah swt, sedangkan kekuasaan tertinggi di dunia dan akhirat ini hanyalah kekuasaan Al Khalik yaitu Allah. 


 penulisan dan tata letak paragram diubah oleh Agus Ahmad Hidayat, 10 Juni 2025

Misi Manusia

Risalatul Insan - misi manusia 

1. Manusia dalam pandangan Islam Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhayyar, dan mujzak. Mukalaf; memiliki nilai Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula‘ bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8). 

 Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. 

Perhatikanlah ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)

 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56) “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72) 

 Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. 

Dengan akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya. 

 Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan dusta dalam beragama. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”(al-Ankabuut: 2-3). 

 Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah dalam setiap misi dan risalah yang diembannya. II. Risalah Insan (Manusia dan Misi) Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan misi operasional. A. Misi Utama Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. 

Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). 

 Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya. 

 Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91). Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.

 Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32) Sabiqun bil khairat Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. 

Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah SWT. 

 Muqtashidun Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang dimakruhkan. 

 Dzalimun linafsihi Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah. “Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat mujarab dan terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali al-Mawardy) 

 Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin‘ tempat yang paling rendah’, al-an’aam‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri.

 Inilah manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60, al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74) Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkan menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. 

Karena, yang pertama akan menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.” Sebagian ahli hikmah yang lain berkata, “Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya) B. Misi Fungsional Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di atas rel-rel robbaniah. 

Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah‘ kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah) Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26). 

 Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah, maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat. 

 C. Misi Operasional

 Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana disebutkan di bawah ini.

 Ø Syukur (Luqman: 31) 
 Ø Sabar (Ibrahim: 5)
 Ø Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)
 Ø Santun (at-Taubah: 114) 
 Ø Taubat (Huud: 75) 
 Ø Jujur (Maryam: 54)
 Ø Terpercaya (al-A’raaf: 18) 

 Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya, diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini. manusia adalah makhluq ciptaan Allah yang dipercaya sebagai khalifah

Senin, 16 Juni 2025

kontribusi terhadap dakwah

KONTRIBUSI TERHADAP DAKWAH 

Pada dasarnya umat manusia menginginkan perubahan dalam hidupnya. Baik secara individual maupun kolektif. Dan ajaran Islam memberikan konsep yang jelas untuk mencapainya. Yakni perubahan menuju kehidupan yang lebih baik dari hari ini. Kondisi ke arah itu hanya dapat dilakukan melalui penataan dakwah dengan sebaik-baiknya. Upaya untuk mencapai perubahan umat ini, dakwah tidak dapat mengandalkan kekuatan di luar kemampuan manusia. Sekalipun orang beriman mengakui adanya kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia yang dapat mempengaruhi kekuatan dirinya. Untuk meraih terwujudnya cita-cita perjuangan dakwah, kontribusi aktivis dakwah menjadi kunci utamanya. 

Dengannya kemudahan-kemudahan dakwah akan datang menyertai perjuangan mulia tersebut. Sehingga kontribusi dalam dakwah merupakan suatu tuntutan atau keniscayaan. Kontribusi Dakwah Merupakan Keniscayaan Dalam Perjuangan (Hatmiyatun Harakiyah) Kontribusi dalam dakwah adalah memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu, kehidupan dan segala sesuatu yang dipunyai oleh seseorang untuk sebuah cita-cita. Ini menjadi bentuk pengorbanan seorang kader terhadap dakwah. 

Perjuangan dan pengorbanan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kontribusi dakwah, besar atau kecil memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menegakkan Islam. Melalui pengorbanan, bangunan ini dapat berdiri tegak dari komponen satu sama lain baik besar ataupun kecil. Demikian pula kedudukan status sosial seseorang yang dipandang rendah tatkala memberikan pengorbanannya maka ia sama kedudukannya dengan yang lain bahkan mungkin lebih tinggi lagi.

 Sebagaimana Rasulullah saw. menggangap mulia seorang penyapu masjid. Karena kerjanya masjid menjadi bersih dan menarik. Dari kontribusinya itu beliau memberikan tempat di hatinya bagi tukang sapu tersebut. Beliau mengagumi pengorbanan yang telah diberikannya. Sehingga Rasulullah saw. melakukan shalat ghaib untuknya. Ini karena sewaktu tukang sapu masjid itu meningal dunia beliau tidak mengetahuinya. Para sahabat memandang apalah artinya seorang tukang sapu bagi Rasulullah saw. Namun tidak demikian bagi Rasulullah saw. Tukang sapu itu telah memberikan pengorbanan yang luar biasa dalam dakwah ini. Semua itu karena ia telah memberikan potensi miliknya untuk dakwah. 


Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna rahimahullah, mengingatkan kepada seluruh kader dakwah untuk selalu berada di barisan terdepan dalam memberikan kontribusi dakwah, “Wahai Ikhwah, ingatlah baik-baik. Dakwah ini adalah dakwah suci, jamaah ini adalah jamaah mulia. Sumber keuangan dakwah ini dari kantong kita bukan dari yang lain. Nafkah dakwah ini disisihkan dari sebagian jatah makan anak dan keluarga kita. Sikap seperti ini hanya ada pada diri kita –para aktivis dakwah– dan tidak ada pada yang lainnya. Ingatlah dakwah ini menuntut pengorbanan. Minimal harta dan jiwa.” 

 Untuk Meraih Pertolongan Allah swt. (Intisharullah) Meskipun orang yang beriman meyakini bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, tetapi pertolongan-Nya tidak boleh diartikan sebagai sebuah ‘keajaiban dari langit’ yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja. Sekalipun hal itu bisa saja terjadi menurut kehendak Allah swt. Namun pertolongan Allah itu harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para hamba-Nya dalam memberikan perhatian dan pengorbanannya kepada dakwah. Firman Allah swt., “Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.” (Muhammad: 7) Oleh karena itu, untuk meraih pertolongan Allah, perlu mencari penyebab datangnya. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah dengan memberikan kontribusi terhadap dakwah ini. Apalagi di saat dakwah ini menghadapi rintangan dari musuh-musuhnya. 

Situasi seperti inilah kontribusi aktivis dakwah dapat menjadi pintu untuk pertolongan-Nya. Terlebih-lebih dalam situasi yang pelik dan terjepit. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah: 214) Karakter Aktivis Dakwah (Muwashafatul Jundiyah) Dalam kaedah syair Bahasa Arab dikatakan bahwa, ‘Fain faqadu syaian lam yu’thi.‘ Siapa yang tidak punya, maka ia tidak akan dapat memberikan sesuatu. Maka mungkinkah seseorang akan memberikan kontribusinya sementara dirinya tidak memiliki apa-apa. 

Mereka yang tidak bisa memberikan pengorbananan apa-apa sepantasnya merasa malu. Karena telah banyak kebaikan Allah swt. pada kita. Oleh sebab itu seorang aktivis dakwah perlu mengetahui apa yang ia punyai. Kaum yang beriman, khususnya aktivis dakwah, tidak boleh bakhil. Kontribusi apapun, yang telah ia tunaikan akan sangat bermanfaat bagi dakwah ini. Kemanfaatan pengorbanan itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini baik bagi orang lain terlebih lagi bagi dirinya sendiri. Setelah mati, tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak. Karenanya, karakter aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak merasa ringan untuk berkorban terhadap dakwah. 

Tidak ada sesuatupun yang merintanginya untuk berkorban. Ia cepat merespon tuntutan dakwah ini. “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”. (Ash-Shaff: 14) 
 

  Kelangsungan Dakwah (Istimrarud Da’wah) 
 Memang kelangsungan dakwah ini telah mendapatkan jaminan dari Allah swt. (At-Taubah: 40). Akan tetapi ia juga berhubungan dengan kontribusi dakwah. Ia ibarat tetesan darah yang memperpanjang usia perjalanan dakwah ini. Oleh karenanya pengorbanan aktivis terhadap dakwah menjadi sangat vital. Dakwah bisa terus berjalan atau mandeg lantaran pengorbanan aktivisnya. Mereka yang terdepan dalam memberikan kontribusinya, merekalah yang menjadi pelangsung dakwah. Sebaliknya mereka yang tidak berada pada barisan ini, menjadi penyebab mandul atau matinya dakwah. 

Karena mereka tidak memberikan pengorbanan, Allah swt. akan menggatikannya dengan aktivis yang lainnya. Hal itu terjadi untuk mensinambungkan gerak perjalanan dakwah. “Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (Muhammad: 38) 

Adapun kontribusi yang dapat diberikan seorang aktivis sangat banyak, karena seluruh potensi yang dimiliki dapat disumbangkan untuk dakwah. Untuk memudahkan kita memahami kontribusi dalam dakwah ini, al-atha’ ad-da’awy diklasifikasikan sebagai berikut:

 1. Al-Atha’ Al Fikry  (Kontribusi Pemikiran)
 Jiwa dari perjuangan da’wah adalah kontribusi pemikiran karena nilai-nilai Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di tengah-tengah umat. Umat ini tidak boleh sepi untuk mendayagunakan pemikirannya. Agar menghasilkan solusi yang telah diberikan Islam. Ajaran Islam mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia dari berbagai zaman dan peradaban. Dan solusi yang diberikan mencakup berbagai aktifitas kehidupan manusia. 

Untuk mendapatkan jawabannya umat Islam harus mampu menggunakan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh Allah swt. yakni ijtihad. Karenanya Rasulullah saw. sangat menghargai proses ijtihad yang dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman. 

Dr. Yusuf Qaradhawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat : “Yang tampak oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah ‘krisis pemikiran’ (azmah fikriyah). Di sana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa kini dan kenyataan sekarang (fiqh al waqi’). Ada yang tidak mengetahui tentang ‘orang lain’ sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu ‘berlebihan’ (over estimasi) atau sebaliknya ‘menggampangkan’ (under estimasi). 

Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap kita sampai ke ‘tulang sumsum’ kita. Sampai hari ini kita belum mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang besar, baik dalam kemampuan maupun dalam aib-aib kita.’ Kontribusi kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah tsaqafah (intelektualitas) dan hadlarah(peradaban) Islam, sebagaimana yang pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah saw. sampai dengan pemerintahan Islam sesudahnya. Karena dari sikap inilah muncul kreativitas dan inovasi baru dalam kehidupan ini. 

Dengan terbiasanya berpikir untuk dakwah maka mereka akan terbiasa melahirkan sesuatu yang belum dipikirkan orang lain. Sehingga manajemen modern sedang menggalakan umat manusia untuk senantiasa berbuat sebelum orang lain sempat berpikir. Hal itu terjadi apabila kita terbiasa berpikir cepat dari yang lainnya. Karenanya seorang aktivis dakwah tidak boleh miskin ide dan gagasan apalagi kikir untuk dikontribusikan terhadap dakwah. 

  2. Al-Atha’ Fanny (Kontribusi Keterampilan)
Keterampilan merupakan anugerah mahal yang diberikan Allah swt. kepada manusia. Skill ini akan menjadi kekayaan yang tak ternilai. Keterampilan ini dapat pula menjadi eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan Allah sangat menghargai keterampilan yang dapat menghantarkannya ke jalan-Nya yang paling baik. Yakni skill yang dapat berguna untuk kepentingan dakwah. Untuk kepentingan iilah skill tersebut mendapatkan penghargaan di sisi Allah swt. “Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra’: 84) Sesungguhnya semua skill yang dimiliki seseorang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap dakwah. Kemenangan dakwah dalam sepanjang sejarah juga diwarnai oleh keterampilan dari para pahlawan Islam. Ada yang mahir menunggang kuda dari balik perut kuda hingga bisa membuka benteng musuh. Ada yang terampil menggunakan pedangnya hingga tampak bagai tarian. Ada juga yang ahli dalam mengadu domba hingga mematahkan kekuatan barisan musuh dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Karena itu para pengemban risalah dakwah ini mendorong umatnya untuk turut serta dalam mendayagunakan keterampilannya bagi kemenangan dakwah. 

“Katakanlah: ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahu.’” (Az-Zumar: 39) 

 3. Al-Atha’ Al-Maaly (Kontribusi Materi) 
Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari dakwah karena ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. 

Oleh karena itu berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah swt. sebagaimana firman-Nya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu dan kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).” (Al-Anfal: 60) Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus diikuti oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah yang tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat yang rela mengorbankan seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan yang kaya raya itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam persoalan kontribusi material ini. 

Ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi musim paceklik Utsman menyumbangkan gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta. Perjuangan yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah. Inilah yang ditunaikan Rasulullah saw. ketika memproduksi senjata-senjata perang, yang ditunaikan Umar bin Khattab ketika menciptakan “panser-panser” (dababah) atau Utsman bin Affan ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan Muawiyah. 

 4. Al-Atha’ An-Nafsy (Kontribusi Jiwa) 
Kontribusi jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan menyerahkannya kepada ketakwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun non-material. 

Kontribusi terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan dakwah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan AlQur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111). 

Termasuk dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai akhirat.

 5. Al-Atha’ Al-Mulky (Kontribusi Kewenangan) 
 Kewenangan yang dimiliki seseorang dalam jajaran birokrasi pemerintahan ataupun kemasyarakatan dapat juga bermanfaat untuk kemajuan dakwah. Baik birokrasi tingkat rendah apalagi tingkat yang lebih tinggi. Dengan jabatan dan kewenangannya ia dapat menentukan sesuatu yang dapat dipandang baik atau buruk terhadap pertumbuhan dakwah. Karenanya jabatan dan kewenangan yang ada padanya harus bisa memberikan pengaruh terhadap geliatnya dakwah. Bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Tidak jarang kita jumpai banyak orang yang tidak mempergunakannya untuk dakwah malah kadang mempersempit ruang gerak dakwah.

 Tidak seperti umat lain yang memaksimalkan jabatan dan kewenangannya untuk kepentingan dakwah mereka. Lihatlah paparan kisah yang Allah swt. ceritakan dalam Al-Qur’an tentang pembelaan pengikut Nabi Musa yang berada di jajaran pemerintahan Fir’aun meski harus menyembunyikan imannya. Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. 

Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Al-Mukmin: 28) Begitu berartinya jabatan dan kewenangan bagi dakwah, sampai-sampai Rasulullah saw. berdoa pada Allah swt. agar memberikan hidayah Islam kepada pembesar Qurasiy, yakni antara dua Umar: Umar ibnul Khaththab atau Amr bin Hisyam. 

 Kiat untuk dapat memberikan kontribusi dakwah Untuk dapat mendorong dirinya memberikan kontribusinya dalam dakwah, aktivis dakwah perlu mengupayakan kiat-kiat jitu dalam berkorban. 

 Pertama, biasakan diri untuk memberikan kontribusi setiap hari meskipun dalam jumlah yang kecil. Sedapatnya bisa berkorban baik harta, waktu, dan tenaga setiap hari, pekan ataupun waktu-waktu lainnya. Kalau perlu dengan ukuran yang jelas, misalnya satu hari memberikan kontribusinya untuk dakwah Rp 1.000 atau dua jam dari waktunya atau satu gagasannya. Sehingga apa yang ia berikan dapat terukur.   Untuk dapat membiasakannya bila perlu memberikan sanksi jika meninggalkan kebiasaan tersebut. Seperti Umar menyumbangkan kebunnya karena tidak shalat berjamaah. Ibnu Umar memperpanjang shalatnya bila tidak berjamaah. Rasulullah saw. mengerjakan shalat dhuha 12 rakaat bila meninggalkan qiyamullail. 

Kedua, meningkatkan kemampuan visualisasi terhadap balasan dan ganjaran dunia dan akhirat. Apalagi balasan yang dijanjikan-Nya sangat besar, Allah swt. akan memberikan kedudukan yang kokoh di dunia atas segala kontribusi yang diberikan (An-Nuur: 55). Allah swt. juga memandang mulia orang yang berkorban, bahkan derajatnya ditinggikan dari orang yang lainnya (An-Nisaa’: 95). Keyakinan akan balasan dan ganjaran yang diberikan akan memudahkan orang akan menyumbangkan apa saja yang dimilikinya. 

Ketiga, selalu bercermin pada orang lain dalam berkorban. Orang beriman akan menjadi cermin bagi yang lainnya. Dengan senantiasa melihat apa yang dilakukan yang lain. Paling tidak dapat memberikan dorongan untuk melakukan seperti yang dilakukan orang lain. Tidak jarang para sahabat berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan lantaran bercermin dari sahabat lainnya. 

Keempat, selalu meyakini bahwa setiap pengorbanan yang diberikan akan memberikan manfaat yang sangat besar baik bagi dirinya ataupun yang lain. Keyakinan yang demikian akan mendorong untuk selalu berbuat. Sebab, betapa banyaknya orang yang dapat menikmati atau mengambil faedah dari apa yang kita lakukan. Sebagaimana ditemukan sebuah penelitian, para pekerja pembuat obat di pabrik tidak jadi melakukan mogok kerja karena mereka melihat langsung bahwa banyak pasien di rumah sakit yang sangat membutuhkan obat yang mereka buat. 

kelima, senantiasa berdoa pada Allah swt. agar dimudahkan untuk selalu berkorban. Karena Allah swt. pemilik hati orang beriman sehingga dengan berdoa diharapkan hati kita senantiasa berada di barisan terdepan untuk memberikan kontribusi bagi kemenangan dakwah.  Dengan berdoa dapat bertahan untuk memperjuangkan dakwah hingga akhir hayat kita. “Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27)

Kamis, 29 Mei 2025

Filosofi penyebutan angka Jawa

 Fase kehidupan manusia ditandai dengan penyebutan angka Jawa


Bahasa dan sastra Jawa memiliki ragam yang unik dan bermakna filosofis dalam setiap kata. Salah satunya adalah penyebutan angka 11, 21, 25, 50, dan 60 dalam usia kehidupan manusia.

Angka 11, 21, 25, 50, dan 60 dibaca sewelas, selikur, selawe, seket, dan sewidak dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Penyebutan ini didasari oleh makna filosofis dari setiap fase dalam alur kehidupan manusia.

Masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa setiap jenjang usia merupakan babak yang penting dengan dilambangkan pada penyebutan angka. Mengutip jurnal Etnomatematika dalam Budaya Masyarakat Yogyakarta, berikut filosofi penyebutan angka 11, 21, 25, 50, dan 60.


Filosofi Penyebutan Angka dalam Bahasa Jawa


11 Sewelas (Duwe Rasa Welas)

Pada usia 11 sampai 19 tahun, dalam memasuki masa remaja akan memiliki rasa welas asih atau kasih sayang. Rasa welas asih ini umumnya muncul terhadap lawan jenis.


21 Selikur (Seneng Lingguh Kursi)

Usia ini merupakan awal pendewasaan manusia dalam memasuki dunia kerja. Makna dari 'suka duduk di kursi' memiliki penggambaran fase pekerjaan manusia memasuki usia 21 tahun.


25 Selawe (Senenge Lanang lan Wedok)

Fase kasmaran manusia mulai beranjak ke jenjang serius ketika berusia 25 tahun. Pada tahap ini, lelaki ataupun perempuan memiliki usia ideal untuk melangsungkan pernikahan atau berumah tangga.


50 Seket (Seneng Kethunan)

Kata kethu memiliki arti peci atau penutup kepala yang digunakan ketika melaksanakan ibadah. Di usia ini manusia memasuki fase mendekatkan diri kepada Tuhan dengan memperbanyak ibadah.


60 Sewidak (Sejatine Wis Wayahe Tindak)

Artinya adalah 'sudah waktunya pergi'. Pada usia 60 tahun ke atas, fisik manusia sudah mengalami penurunan dan keterbatasan. Manusia hanya menunggu waktu untuk dipanggil Sang Pencipta.


Selasa, 27 Mei 2025

Poligami diolah oleh kaum feminis - liberal

 Kaum Liberal menyudutkan Islam melalui issue  Poligami


Gegara pernyataan Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), perbincangan mengenai poligami kembali mencuat dan terus menjadi kontroversi.


Banyak yang mengecam pernyataan Grace, salah satunya adalah KH. Cholil Nafis yang menganggap Grace dan yang sependapat tidak paham soal syariat poligami dan meminta agar mereka fokus pada persoalan kebangsaan yang lebih subtansial dan mendesak. Namun demikian, tidak sedikit pula yang mengamininya terutama dari kalangan orang-orang liberal dan sebagian kaum wanita yang baperan.


Salah satu dalil utama dan menjadi andalan mereka yang menolak atau tidak setuju dengan praktik poligami adalah hadis Nabi SAW yang melarang Sayidina Ali karramallah wajhah memadu Siti Fatimah RA.


Menurut mereka, Siti Fatimah yang putri seorang Nabi saja tidak mau dipoligami, apalagi yang bukan putri nabi. Nabi SAW melarang putrinya dimadu karena khawatir tersakiti, yang berarti poligami memang menyakitkan dan sudah sepantasnya tidak dilakukan atau bahkan dilarang.


Ada pula yang mengatakan bahwa berdasarkan hadis tersebut suami harus ijin istri untuk berpoligami, jika istri pertama tidak mengijini maka haram berpoligami.


Nah, sebenarnya bagaimana sih maksud sebenarnya hadis tersebut? Kok Nabi SAW melarang Sayidina Ali memadu Siti Fatimah? Apa benar hal tersebut membuktikan bahwa poligami sebaiknya dilarang? Mari kita analisis dengan saksama.


Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar: “Sesungguhnya Hisyam bin Al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali, jika ia menginginkan Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang dapat menyakitinya, juga menyakitiku.” (HR. Bukhari)


Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah! tidak akan bersatu putri Rasulullah dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya.” (HR. Muslim)

Miswar bin Makhramah juga meriwayatkan bahwa Sayidina Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, padahal dia sudah beristri Siti Fatimah, puteri Nabi Saw. Ketika Siti Fatimah mendengar hal tersebut, beliau mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, “Sesungguhnya, kaum Anda mengakatan bahwa Anda tidak akan pernah marah untuk membela putri Anda. Ini, Ali, akan menikahi anak Abu Jahal.”


Lantas, Rasulullah Saw bergegas dan aku mendengar, setelah selesai shalat, baginda berkata, “Amma Ba’du, aku telah menikahkan puteriku terhadap Abu al Asr bin ar-Rabi’ dan dia setia serta jujur terhadapku. Sesungguhnya, Fatimah bagian dari diriku, apa yang menyakitinya juga akan menyakitiku. Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri Rasulullah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya.” (HR. Muslim).

Hadis-hadis di atas lah yang sering dibuat dalil dan dasar oleh orang-orang yang menolak poligami dan berusaha melarangnya. Namun demikian, banyak dari mereka yang tidak melihat secara utuh hadis tersebut dan hanya memahaminya secara parsial sehingga kesimpulan yang didapat tidak komprehensif dan tidak tepat.


Pun, kebanyakan mereka mengartikan hadis tersebut sesuai dengan persepsi sendiri dan seringkali baper, terutama dari kalangan aktivis perempuan, serta hanya terpaku pada arti literal dengan mengabaikan konteks hadis dimaksud.


Untungnya, ulama dulu telah mengkaji hadis tersebut dengan saksama dan menginterpretasikan sesuai dengan konteks hadis. Toh, jika hadis tersebut dijadikan dalih poligami dilarang dalam Islam maka akan bertentangan dengan firman Allah dalam Alquran yang jelas-jelas melegalkan poligami.


Berdasar hadis di atas, menurut ulama, setidaknya ada empat faktor yang melatarbelakangi pelarangan Nabi SAW terhadap Sayidina Ali memadu Siti Fatimah.


Pertama, karena dapat menyakiti Siti Fatimah, menyakiti Siti Fatimah berarti menyakiti Nabi SAW sedangkan menyakiti Nabi merupakan salah satu dosa besar.

Ibnu al-Tin berkata, “Arti paling shahih (ashah) terhadap cerita ini adalah bahwa Nabi SAW melarang Sayidina Ali mengumpulkan antara putri beliau dan putri Abu Jahal, tersebab hal tersebut dapat menyakiti Nabi SAW dan menyakiti beliau hukumnya haram. Maka, (sebenarnya) putri Abu Jahal boleh dinikahi Sayidina Ali andai tidak ada Siti Fatimah di sisinya. Adapun mengumpulkan keduanya yang meniscayaan Nabi SAW sakit hati –karena menyakiti Siti Fatimah, maka tidak boleh.” (Fathu al-Bari, 9/328).


Imam Nawawi berkata, “Susungguhnya hal tersebut dapat menyakiti Siti Fatimah sehingga Nabi SAW juga akan tersakiti. Orang yang menyakiti Nabi SAW pasti celaka, sebab itu Nabi melarang hal tersebut karena beliau sangat menyayangi Sayidina Ali dan Siti Fatimah.” (Syarh Shahih Muslim, 3/16).


Kedua, khawatir terjadi fitnah terhadap Siti Fatimah dalam keberagamaannya. Seperti disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, Fatimah bagian dariku dan sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan difitnah dalam keberagamaannya.”


Demikian itu, karena rasa cemburu merupakan watak dasar setiap perempuan dan Nabi SAW khawatir Siti Fatimah cemburu dan melakukan hal-hal yang tidak pantas serta tidak seleras dengan derajat beliau sebagai panutan utama perempuan-perempuan muslimah.


Terlebih, beliau sudah tidak memiliki seorang ibu dan saudari-saudarinya pun meninggal satu persatu sehingga tidak memiliki tempat berkeluh kesah saat cemburu nanti.


Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Kejadian tersebut terjadi selepas penaklukan Mekah dan hanya beliau lah putri Nabi SAW yang tersisa, setelah ibunya wafat kemudian disusul oleh saudari-saudarinya, sehingga menyebabkan dia cemburu akan menambah kesedihannya.” (Fath al-Bari, 7/86).


Ketiga, ketidakbolehan mengumpulkan putri utusan Allah dan putri musuh Allah dalam perlindungan satu lelaki.


Seperti ditegaskan oleh Nabi SAW dalam hadis di atas, “Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri utusan Allah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya”.

Imam Nawawi berkata, “Ada kemungkinan maksudnya di antara bagian nikah yang diharamkan adalah mengumpulkan putri utusan Allah dan putri musuh Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 8/199)

Ibnu Qayyim berpendapat, “Larangan terhadap Sayidina Ali mengumpulkan Siti Fatimah dengan putri Abu Jahal memiliki hikmah yang amat besar, yaitu sesungguhnya derajat perempuan mengikuti derajat suaminya, tetapi jika perempuan itu sendiri memiliki derajat tinggi, pun demikian dengan suaminya sebagaimana Siti Fatimah dan Sayidina Ali maka memang tidak semestinya Allah menjadikan putri Abu Jahal bersama Siti Fatimah dalam satu derajat, keduanya memiliki banyak berbedaan sehingga menikahinya di samping pemimpin kaum perempuan (Sayyidatu-nisâ’ al-‘âlamîn) adalah tidak bagus, baik dilihat dari aspek syariat maupun kedudukannya. Pantas lah Nabi SAW menegaskan, Demi allah! Tidak akan pernah bisa berkumpul puteri Rasulullah dengan puteri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami, selamanya.” (Zad al-Ma’ad, 5/119).

Keempat, penghormatan terhadap hak Siti Fatimah dan penjelasan terhadap posisi serta keluhuran derajatnya.


Ibnu Hibban berkata, “Perbuatan tersebut (menikahi putri Abu Jahal) boleh Sayidina Ali lakukan, hanya saja Nabi SAW tidak menyukainya sebagai bentuk penghormatan terhadap Siti Fatimah, bukan mengharamkan perbuatan tersebut (poligami).” (Shahih Ibnu Hibban, 15/407).


Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Teks hadis mengindikasikan bahwa sebenarnya Ali boleh melakukannya, tetapi Nabi SAW melarangnya demi menjaga perasaan Siti Fatimah dan Sayidina Ali menerimanya karena mengikuti titah Nabi SAW. Menurutku, Ibnu Hajar, bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari keistimewaan Nabi SAW untuk tidak memadu putrinya; dan bisa pula hal tersebut merupakan hak istimewa bagi Siti Fatimah.” (Fath al-Bari, 9/329).


Wal hâshil, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil bahwa poligami dilarang atau mesti dilarang, sebab selain bertentangan dengan ayat Alquran, juga dalam hadis tersebut Nabi SAW sendiri menegaskan bahwa beliau tidak pernah bermaksud mengharamkan suatu yang dihalalkan Allah SWT.

Penegasan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa poligami adalah boleh sampaikan kapan pun sebagaimana termaktub dalam kitab suci Alquran. Nabi Muhammad SAW saja tidak bisa melarang (mengharamkan) apalagi umatnya, lebih-lebih orang yang tidak beriman kepada risalahnya, macam Grace Natalie.

Dari konteks hadis serta penjelasan ulama di atas diketahui bahwa larangan Nabi SAW memadu Siti Fatimah adalah karena untuk menolak mafsadah yang lebih besar daripada maslahatnya, seperti terjadinya fitnah terhadap keluarga Nabi SAW.


Singkatnya, dari beberapa kemungkinan yang ada, kemungkinan Nabi SAW melarang poligami tidak termasuk di antaranya. Poligami tetap boleh dan legal sampai kiamat datang.


Oleh karena itu, perempuan (kita) yang bukan putri Nabi SAW jangan sok berlaga seperti putri Nabi yang memang memiliki keistimewaan (khushushiyah) tersendiri yang tidak dimiliki perempuan lain. Jadi, jangan pernah meminta diistimewaan sebagaimana putri Nabi SAW. Toh, cemburumu tidak akan pernah memberi pengaruh terhadap agama.

Sungguh pun demikian, poligami sebaiknya dilakukan jika memang benar-benar dibutuhkan, semacam karena ada tuntutan maslahat syar’i (bukan syahwati) dan mafsadahnya minim. Jika mafsadahnya lebih besar maka sebaiknya tidak melakukannya. Karena jelas tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan syariat Islam serta dapat menodai syariat poligami itu sendiri.

Oleh karenanya, jika mau berpoligami maka lakukanlah dengan cara yang benar, minta ijin dan restu kepada istri pertama, jangan jadi pengecut bersembunyi di belakangnya. Kemudian, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama setempat guna meminta ijin melakukan poligami agar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.


Dalam hal ini, mematuhi undang-undang yang berlaku hukumnya wajib syar’an; jika tidak mematuhinya maka berdosa seperti disampaikan Imam Abu Zahrah dalam kitabnya, Al-Ahwâl al-Syakhshiyah.


Berdosa bukan karena tidak mendapat ijin istri melainkan karena tidak patuh terhadap undang-undang pemerintah. Mari jangan pisahkan agama dan negara gegara ingin menuruti nafsu berahi.


Reaksi Rasulullah saw ketika Ali r.a. akan menikah lagi (me-madu Fathimah)

Putriku itu adalah bagian dariku

titik tekan tulisan ini adalah:

Kalimat Rasulullah SAW, “Sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram” seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang.


Dalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah sebuah cerita menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib telah melamar seorang putri Abu Jahal bin Hisyam, lalu Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta restu kepada Rasulullah SAW tentang hal itu tetapi beliau tidak memberikan restu kepada mereka. 

Maka keluarlah Rasulullah SAW dalam keadaan marah ke atas mimbar sehingga orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT beliau bersabda: "Bani Hisyam bin al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib tapi aku tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak akan mengizinkannya kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka, karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, akan menggelisahkanku apa yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya, sekali-kali tidak akan berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. 

Sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan mendapatkan fitnah dalam agamanya, namun sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya." 

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapapun mengingat sejarah kelam Abu Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa Awal Islam. Juga posisi Abu Jahal dalam surat  al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir.   Bentangan sejarah ini menunjukkan betapa poligami dalam Islam semenjak zaman Rasulullah saw selalu mengandung ‘masalah’. 

Kalimat Rasulullah SAW, “Sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram” seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak sekedar pertimbangan rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam al-Qur’an), tetapi juga estimasi ketersinggungan keluarga istri pertama. 


Ulil Hadrawi 



kisah cinta Ali kepada Fathimah

 Kisah Sayidina Ali r.a melamar Fathimah putri Nabi Muhammad saw

Kisah cinta yang sudah terpendam sejak lama, kisah cintanya sangat terjaga kerahasiaannya dalam kata, sikap dan ekspresi mereka bahkan konon syaithanpun tak bisa mengendusnya, mereka bisa menjaga izzah mereka, hingga Allah telah menghalalkannya.

Ali bin Abi Thalib adalah keponakan dan salah satu sahabat yang istimewa dimata Rasulullah SAW. Selain beliau tinggal langsung bersama Rasulullah, dia juga seorang pemberani yang pernah menggantikan posisi tidur Rasulullah disaat hijrah dan juga seorang mujahid perang yang gagah.

Sementara Fatimah, putri Rasulullah SAW yang taat, penyayang dan sangat peduli pada Rasulullah SAW, selalu ada disamping ayahnya dalam setiap kisah perjuangan sang ayah membumikan nilai-nilai islam di tengah kafir Quraisy.

Ali sudah menyukai Fatimah sejak lama, kecantikan putri Rasulullah ini tak hanya jasmaninya saja, kecantikan Ruhaninya melintasi batas hingga langit ketujuh. Kendalanya adalah perasaan rendah dirinya, apakah mampu ia membahagiakan putri Rasulullah dengan keadaannya yang serba terbatas. Demikian kira-kira perasaan yang ada pada Ali saat itu.

Pada suatu ketika, Fatimah dilamar oleh seorang laki-laki yang selalu dekat dengan nabi, yang telah mempertaruhkan kehidupannya, harta dan jiwanya untuk Islam, menemani perjuangan Rasulullah SAW sejak awal-awal risalah ini.

Dialah Abu Bakar Ash Shiddiq, entah kenapa mendengar berita ini Ali terkejut dan tersentak jiwanya, muncul rasa-rasa yang diapun tak mengerti, Ali merasa diuji karena terasa apalah dirinya jika dibanding dengan Abu Bakar kedudukannya disisi nabi.

Ali merasa belum ada apa-apanya bila dibanding dengan perjuangannya dalam menyebarkan risalah Islam, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan dakwahnya. Sebutlah ‘Utsman, ‘Abdurrahman bin auf, Thalhah, Zubair, Sa’d bin abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan oleh anak-anak seperti Ali. Tak sedikit juga para budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar sebutlah Bilal bin rabbah, khabbab, keluarga yassir, ‘Abdullah ibn mas’ud.

Dari sisi finansial Abu Bakar seorang saudagar, tentu akan lebih bisa membahagiakan Fatimah, sementara Ali?, hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Melihat dan memperhitungkan hal ini, Ali ikhlas dan bahagia jika Fatimah bersama Abu Bakar, meskipun ia tak mampu membohongi rasa-rasa dalam hatinya yang ia sendiri tak mengerti, apakah mungkin itu yang namanya cinta?

Namun ternyata lamaran Abu Bakar ditolak oleh Fatimah sehingga hal ini menumbuhkan kembali harapannya. Ali kembali mempersiapkan diri, berharap dia masih memiliki kesempatan itu.

Namun ujian bagi Ali belum berakhir, setelah Abu Bakar mundur muncullah laki-laki nan gagah perkasa dan pemberani. Seseorang yang dengan masuk Islamnya mengangkat derajat kaum muslimin, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Seorang yang diberi gelar Al-Faruq.

Ya, dialah Umar ibn Al Khaththab. Pemisah antara kebenaran dan kebatilan juga datang melamar Fatimah.

Ali pun ridha jika Fatimah menikah dengan Umar, ia bahagia jika Fatimah bisa bersama dengan sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu Bakar yang mana Rasulullah sampai mengatakan “Aku datang bersama Umar dan Abu Bakar”.

Namun kemudian Ali pun semakin bingung karena ternyata lamaran Umar pun ditolak.

Setelah itu menyusul Abdurahman bin Auf melamar sang putri dengan membawa 100 unta bermata biru dari mesir dan 10.000 Dinnar, kalo diuangkan dalam rupiah kira kira 55 milyar. Dan lamaran bermilyar-milyar itupun ditolak oleh Rasulullah.

Akan tetapi kekhawatiran Ali bin Abi Thalib belum berakhir sampai di sini karena ternyata sahabat yang lainpun melamar sang Az Zahra. Usman bin Affanpun memberanikan dirinya melamar sang putri, dengan mahar seperti yang dibawa oleh Abdurrahman bin Auf, hanya ia menegaskan kembali bahwa kedudukannya lebih mulia di banding Abdurrahman bin Auf karena ia telah lebih dahulu masuk islam.

Tidak disangkaa tidak diduga, ternyata Rasulullahpun menolak lamaran Usman bin Affan.

Empat sahabat sudah memberanikan diri dan mereka semua telah ditolak oleh Rasulullah SAW.

“Mengapa bukan engkau saja yang mencobanya kawan?”, seru sahabat Ali,

“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah?, aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa aku andalkan?”

Sahabatnyapun menguatkan “Kami dibelakangmu, kawan!

Akhirnya Ali bin Abi Thalibpun memberanikan diri menjumpai Rasulullah untuk menyampaikan maksud hatinya, meminang putri nabi untuk jadi istrinya. Awalnya beliau hanya duduk di samping Rasulullah dan lama tertunduk diam. Hingga Rasulullahpun bertanya ” wahai putra Abu Thalib, apa yang engkau inginkan?”

Sejenak Ali terdiam, dan dengan suara bergetar iapun menjawab, ” Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah” Mendengar jawaban Ali ini beliau SAW tidak terkejut. “Bagus, wahai Ibnu Abu Thalib, beberapa waktu terakhir ini banyak yang melamar putriku, tetapi ia selalu menolaknya, oleh karena itu, tunggulah jawaban putriku”

Kemudian Rasulullah meninggalkan Ali dan bertanya kepada putrinya, ketika ditanya Fatimah hanya terdiam dan Rasulullah SAW menyimpulkan bahwa diamnya Fatimah pertanda kesetujuannya.

Rasulullah kemudian mendekati Ali dan bersabda “Apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau jadikan mahar wahai Ali?

Alipun menjawab ” Orang tuaku yang menjadi penebusnya untukmu ya Rasulullah, tak ada yang aku sembunyikan darimu, aku hanya memiliki seekor unta untuk membantuku menyiram tanaman, sebuah pedang dan sebuah baju zirah dari besi”

Dengan tersenyum Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, tidak mungkin engkau terpisah dengan pedangmu, karena dengannya engkau membela diri dari musuh-musuh Allah SWT dan tidak mungkin juga engkau berpisah dengan untamu karena ia engkau butuhkan untuk membantumu mengairi tanamanmu, aku terima mahar baju besimu, jual lah dan jadikan sebagai mahar untuk putriku” Wahai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di Langit sebelum aku menikahkan engakau di Bumi” Diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra.

Ali bin Abi Thalib menjual baju besi tsb dengan harga 400 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW, dan nabipun membagi uang tersebut ke dalam 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian dan satu bagian lagi di kembalikan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai biaya untuk jamuan makan untuk para tamu yang menghadiri pesta.

Setelah segala-galannya siap,dengan perasaan puas dan hati gembira dan di saksikan oleh para sahabat Rasulullah mengucapkan kata ijab kabul pernikahan putrinya

Kemudian Nabi SAW bersabda: “Sesunguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah Putri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib,Maka saksikanlah sesunguhnya aku telah menikahkanya dengan mas kawin empat ratus dihram (nilai sebuah baju besi) dan Ali ridho (menerima) mahar tersebut”

Maka menikahlah Ali denganFatimah Pernikahan mereka penuh hikmah walau di arungi di tengah kemiskinan Bahkan di sebutkan oleh Rasulullah sangat terharu melihat tangan Fatimah yang kasar karena harus menepung gandum untuk membantu suaminya

Dan malam harinya setelah dihalalkan oleh Allah SWT, terjadilah dialog yang sangat menggetarkan. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya”,

Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya.

Sambil tersenyum Fatimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.”

Subhanallah, itu adalah pujian terbaik dari seorang istri yang bisa membahagiakan hati suaminya.

Ali dan Fatimah saling mencintai karna Allah mereka mencintai dalam diam,menjaga cintanya dan Allah satukan dalam ikatan suci pernikahan Maa Syaa Allah.

resume agus ahmad hidayat

Puisi tentang Palestina oleh Bunda Melly Guslaw

 Kehilangan.

Kehilangan adalah sebuah kata yang sering kita dengar

Kata yang tak ingin mampir dan bertamu di hidup kita

Kata yang tidak diinginkan oleh setiap insan penikmat kedamaian

Tapi, apa jadinya jika kata itu kemudian menjadi sahabatmu

Menjadi bantal di setiap tidur

Menjadi selimut di setiap dinginmu

Menjadi kegelapan di setiap siangmu

Menjadi kemencekaman di setiap malammu

Palestina.

Seolah suara tawa anak-anak di sana cuma basa-basi

Hanya seperti bunyi weker yang menghitung mundur

Krik, krik, krik dan kemudian duar

Berubah menjadi dentuman yang sangat keras

Aku menatap mata ibu di tanah Indonesia

Seorang ibu yang menatap nanar

Duduk beralas koran dengan headline:

Koruptor dihukum ringan, pencuri bawang digebuki hingga babak belur

Tak sebutir gabah pun masuk dalam perut ibu ini

Sejak tiga hari yang lalu dia tidak makan

Namun kelaparan dan kemiskinan sudah menjadi biasa saja baginya

Sayup-sayup terdengar suara pengamen memainkan lagu “Bento”

Disusul dengan lagu yang lainnya

Mulut sang ibu bergerak mengikuti lagu-lagu

Dan anak-anak kecil dengan kaki telanjang

Berputar-putar, menari sambil memainkan mainan bekas si anak tuan

Senin, 19 Mei 2025

Kisah doa bunda yang terkabul, namun menyusahkan anaknya

 Kisah Juraij, Ahli Ibadah yang Durhaka terhadap Ibunya

Pengantar: 

Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah bersabda, "Terdapat tiga doa yang tidak pernah diragukan kemustajabannya, yaitu, doa orang orang yang dizhalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya."



Ada seorang ahli ibadah yang dikisahkan durhaka pada ibunya karena melalaikan panggilan dari sang ibu. Kisahnya bahkan diabadikan dalam riwayat hadits yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW.

Juraij namanya. Ia adalah sosok lelaki dari Bani Israil yang dikisahkan rajin beribadah bahkan disebut sebagai sosok pemilik rumah ibadah. Kisah tersebut bersumber dari Abu Hurairah RA yang pernah mengutip cerita dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengisahkan,

"Tidak ada seorang bayi pun yang dapat berbicara ketika sedang digoyang dalam buaian, kecuali Isa ibnu Maryam dan bayi yang disebut dalam cerita tentang Juraij,"Lalu, dikutip dari buku Shahih Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari, ada yang bertanya, "Wahai Nabi Allah, bagaimana cerita tentang Juraij?"

Rasulullah SAW menjawab, "Juraij adalah seorang yang selalu beribadah di tempat ibadahnya. Di bawah tempat ibadahnya ada seorang penggembala sapi, dan seorang perempuan dari desa tersebut berzina dengan penggembala sapi tersebut."

Suatu hari, ibu Juraij datang saat Juraij sedang beribadah dan memanggilnya dengan nama 'Juraij' ketika dia sedang beribadah. Juraij merasa ragu antara menjawab ibunya atau melanjutkan salatnya.

Namun, pada akhirnya, Juraij memilih untuk melanjutkan salatnya. Ibunya memanggilnya kedua kalinya, dan Juraij kembali memilih salatnya.

Ibunya kemudian memanggil untuk ketiga kalinya dan dalam hatinya Juraij berpikir, "Ibuku atau salatku?' Sekali lagi, dia memilih untuk melanjutkan salatnya.

Karena Juraij tidak kunjung menjawab panggilannya, ibunya marah dan berdoa, "Semoga Allah tidak mematikanmu, wahai Juraij, kecuali jika engkau melihat wajah perempuan-perempuan pelacur." Setelah itu, ibunya pergi.

Pada suatu hari, tiba-tiba, seorang wanita yang melahirkan anak hasil perzinahan dihadapkan kepada seorang raja. Raja bertanya, "Siapa yang menghamilimu?"

Wanita itu menjawab, "Dari Juraij." Raja bertanya lagi, "Pemilik tempat ibadah itu?" Wanita itu menjawab, "Ya."

Raja kemudian memerintahkan bawahannya untuk menghancurkan tempat ibadah itu. Ia juga meminta bawahannya untuk membawa Juraij kepadanya.

Masyarakat kemudian menghancurkan tempat ibadah itu dengan berbagai macam alat seperti martil dan kapak, hingga tempat ibadah itu roboh. Juraij kemudian diikat dan ditarik melewati para wanita pelacur sambil tersenyum dan para pelacur itu ditampilkan di hadapannya di tengah kerumunan orang.

Sang raja berkata, "Apa yang mereka tuduhkan kepadamu?"

Juraij menjawab, "Apa yang mereka tuduhkan terhadapku?"

Raja berkata, "Mereka menuduhmu sebagai ayah anak ini."

Juraij bertanya, "Di mana bayi itu?" Mereka menjawab, "Itu, bayi yang ada di pangkuannya."

Juraij mendekati bayi itu dan bertanya, "Siapa ayahmu?'

Bayi itu menjawab, "Penggembala sapi."

Setelah itu, sang raja pun merasa bersalah terlalu gegabah menuduh Juraij. Hingga ia pun menawarkan, "Apakah kami harus membangun kembali tempat ibadahmu dari emas?"

Juraij menjawab, "Tidak." Sang raja bertanya lagi, "Dari perak?"

Juraij menjawab, "Tidak." Lalu sang raja berkata, "Lalu dengan apa kami harus mengganti tempat ibadahmu?"

Juraij menjawab, "Kembalikan tempat ibadah itu seperti semula." Namun, setelahnya, Juraij tersenyum seakan teringat sesuatu.

Sang raja bertanya, "Kenapa engkau tersenyum?"

Juraij menjawab, "(Aku tertawa) karena suatu perkara yang sudah kuketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku,"





Begitulah kisah Juraij, Allah SWT mengabulkan doa orang tua kepada anaknya dan menolong Juraij dengan mukjizat bayi yang bisa bicara agar menjadi pelajaran bagi umat muslim semua.

Kisah ini memiliki kaitan erat dengan bagaimana mustajabnya doa kedua orang tua apalagi yang dizalimi atau didurhakai. Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah bersabda, "Terdapat tiga doa yang tidak pernah diragukan kemustajabannya, yaitu, doa orang orang yang dizhalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya."

Selasa, 13 Mei 2025

Surat Al Ikhlas

 Penjelasan asbabun nuzul  surat Al Ikhlas


Masyarakat Arab Quraisy -sebelum kedatangan Islam- adalah masyarakat yang memiliki beragam keyakinan dan kepercayaan. Bahkan mereka memiliki banyak tuhan yang disembah. Sebenarnya -sebagian- mereka menyakini Allah sebagai Tuhan yang memberi rezeki, menciptakan pendengaran dan penglihatan, mengatur alam semesta, namun mereka tetap mempersekutukan Allah dengan selainNya, maka Allah tegur dengan perintahnya kepada Muhammad, “Katakanlah Muhammad, sampaikanlah kepada mereka, afala tattakun, mengapa mereka tidak bertaqwa, mengapa mereka tidak mau beribadah hanya kepada Allah dan mentauhidkanNya.”  (lihat Q.S. Yunus/10: 31).


Mereka memiliki keyakinan selain Allah juga dapat mendatangkan manfaat, keberuntungan, rezeki, hujan, sebagaimana Allah; menghilangkan kemudharatan, marabahaya, kesialan; padahal ini adalah hak khusus Allah, artinya hanya Allah yang mampu dan selainNya -layaknya makhluk ciptaanNya- tidak mampu dan tidak memiliki daya upaya sama sekali. Mereka juga mempersekutukan – memperserikatkan Allah dengan selainNya dalam amal perbuatan, mereka berdoa-meminta kepada pohon keramat (Dzatu Anwat, lihat riwayat Abu Waqid Al-Laitsi daam Sunan Tirmidzi), bebatuan (latta di Thaif), pepohonan (uzza di Nakhlah), berhala berupa patung (lihat Q.S. An-Najm/53: 19-20), dan berbagai bentuk kesyirikan amal perbuatan lainnya. Hal ini dikarenakan tuhan yang mereka sembah-mohon pertolongan, sangat beragam. Ini juga dasar yang membuktikan bahwa orang musyrik Makkah adalah kaum yang prulalis dan menganut pluralisme dalam ketuhanan.


Namun, sebagian masyarakat Arab Quraisy ada pula yang tidak bertuhan. Mereka tidak menyakini adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta. Karena menurut mereka alam semesta ini tercipta karena proses panjang yang dialami alam semesta lalu berevolusi selama beribu ribu tahun hingga membentuk kehidupan seperti yang kita temui sekarang ini. Mereka menyakini bahwa kehidupan hanya di dunia saja, tidak ada akhirat, kematian disebabkan karena memang sudah waktunya mati (lihat, Q.S. Al-Jatsiyah/45: 24). Menurut sangkaan mereka, hipotesa mereka, dunia ini akan mengalami daur ulang atau siklus hidup. Mereka meyakini bahwa setiap tiga puluh enam ribu (36.000) tahun segala sesuatu akan kembali seperti semula. Mereka juga disebut kaum dahriyah (lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini).

2

Ketika Rasulullah SAW berdakwah di Makkah, datang orang-orang quraisy bertanya tentang Tuhan yang disembah Rasulullah Muhammad SAW. Mereka mempertanyakan Tuhan seperti apa yang disembah Muhammad lalu mereka bertanya penasaran, انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ “Sebutkan kepada kami Tuhanmu ya Muhammad?” (lihat dalam Tafsir Al-Baghawi) Mereka berpikir bahwa Tuhan yang disembah Muhammad adalah Tuhan yang memiliki nasab garis keturunan. Padahal, jika demikian adanya, maka Tuhan yang disembah memiliki orangtua dan anak? Jika memiliki anak maka ia harus memiliki istri, karena tidak mungkin ia akan beranak dengan sendirinya, akal pasti akan menolak itu. Jika Tuhan yang disembah diperanakkan atau dilahirkan, maka ia akan mengalami siklus, diperanakkan, lalu tumbuh menjadi anak, selanjutnya dewasa dan menikah, kemudian beranak dan mengalami masa tua dan mati. Apakah Tuhan layak mati? Dan kalau mati apakah ketuhannya akan diwariskan kepada anak Tuhan? Dalam Tafsir Al-Baghawi, Imam Al-Baghawi Asy-Syaf’i menyebutkan riwayat Abul ‘Aliyah dari Ubay bin Ka’ab, bahwa beliau berpendapat:


رَوَى أَبُو الْعَالِيَةِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ السُّورَةَ


Abul ‘Aliyah meriwayatkan dar Ubay bin Ka’ab bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah SAW, “CERITAKAN KEPADA KAMI NASAB GARIS KETURUNAN TUHAMU” maka turunlah surat Al-Ikhlash. Riwayat asbabun nuzul ini bisa dilihat dalam Sunan Tirmidzi pada Tafsir Surat Al-Ikhlas 9/299-300. Imam Ahmad 5/134.


Selain pendapat Ubay bin Ka’ab diatas, Imam Ibnu katsir dalam tafsirnya juga menuliskan pendapat Ikrimah yang menjelaskan sebab yang melatar belakangi turunnya surat Al-Ikhlas:


قَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُ سَبَبِ نُزُولِهَا. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: لَمَّا قَالَتِ الْيَهُودُ: نَحْنُ نعبد عُزيرَ ابْنَ اللَّهِ. وَقَالَتِ النَّصَارَى: نَحْنُ نَعْبُدُ الْمَسِيحَ ابْنَ اللَّهِ. وَقَالَتِ الْمَجُوسُ: نَحْنُ نَعْبُدُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ. وَقَالَتِ الْمُشْرِكُونَ: نَحْنُ نَعْبُدُ الْأَوْثَانَ -أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ}


Asbabun Nuzul surat ini telah disebutkan sebelumnya. Ikrimah mengatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi berkata, “Kami menyembah Uzair anak Allah.”Orang-orang Nasrani mengatakan, “Kami menyembah Al-Masih putra Allah.” Orang-orang Majusi mengatakan, “Kami menyembah matahari dan bulan.” Dan orang-orang musyrik mengatakan, “Kami menyembah berhala.” Maka Allah menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ


Katakanlah ya Muhammad, permaklumkan kepada mereka orang-orang musyrikin Quraisy. “Dialah Allah Yang Maha Esa (baca, satu-satunya Tuhan-diambil dari kata ‘Ahad’).” [Q.S. Al-Ikhlas/112: 1]


Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan surat Al-Ikhlash dengan penjelasan berikut: “Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH namaNya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa; mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia. Pengakuan atas Kesatuan, atau Ke–esa–an, atau tunggal–Nya Tuhan dan nama–Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU. Tidak ada yang menyamai–Nya, tidak ada yang menyerupai–Nya dan tidak pula ada teman hidup–Nya. Karena mustahil-lah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang, terbahagi-lah kekuasaan–Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa.”

Selasa, 22 April 2025

Tafsir surat Al Insan - petikan ketiga - menolak teori Darwin

 

catatan awal

Ayat yang mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur’an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur’an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan “meniupkan” kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.


Uraian

Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1 menguraikan proses kejadian manusia dari yang tidak ada menjadi ada. Tesuai dengan nama Surahnya yang memiliki arti manusia Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1 ini merupakan salah satu ayat evolusi, evolusi sendiri merupakan istilah dari kajian dan penelitian ilmuwan Eropa, namun ternyata Alquran telah lebih dahulu menjelaskan teori Evolusi ini 1400 tahun yang lalu.  


Ayat 1

Ayat pertama ini menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah yang tidak dikenal dan tidak disebut-sebut sebelumnya. Apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.

Ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bagian yang menceritakan evolusi manusia. Uraian sepenuhnya mengenai hal ini dapat dilihat di bawah ini.

Pada abad-19, Charles Darwin mengemukakan teori bahwa jenis manusia ada di muka bumi melalui suatu proses panjang evolusi. Mereka tidak langsung ada sebagaimana dinyatakan pada banyak kitab suci. Dia menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses evolusi, yang berujung pada terbentuknya manusia, kemungkinan besar memerlukan waktu jutaan tahun. Hal kedua yang dikemukakan oleh teori Darwin adalah bahwa manusia berkembang dari binatang.

Pada permulaan adanya kehidupan, demikian dinyatakan oleh teori ini, bentuk kehidupan yang ada adalah binatang-binatang tingkat rendah. Dengan berjalannya waktu, muncul binatang-binatang tingkat tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang berkembang menjadi manusia. Hal demikian ini dibuktikannya dengan adanya sederet bukti dari tengkorak hewan yang secara runut mengarah ke tengkorak manusia saat ini. Bukti lain juga dikemukakan dari perkembangan bentuk embrio. Dalam perkembangannya, embrio manusia berubah-ubah bentuk. Dimulai dari mirip bentuk embrio ikan, kelinci, dan jenis binatang lainnya, dan berakhir berbentuk manusia. Dari temuan terakhir ini, kemudian disimpulkan bahwa evolusi panjang manusia berasal dari bintang tingkat rendah.

Point kedua dari teori Darwin adalah bahwa manusia dan kera datang dari satu moyang yang sudah punah saat ini. Moyang yang punah ini disebutnya sebagai “missing link”, rantai yang hilang. Haekel, seorang peneliti setelah masa Darwin, berpendapat bahwa binatang yang menjadi “missing link” adalah yang disebut Lypotilu. Apabila binatang ini atau sisa-sisa dari binatang ini dapat ditemukan, maka teka-teki mengenai evolusi manusia dapat dijelaskan dengan lebih baik. Para pemikir yang mempercayai teori ini menganggap bahwa gorila dan simpanse ada pada jalur evolusi manusia. Peneliti lain yang bernama Huxley mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda. Ia menyimpulkan bahwa garis manusia dapat saja terjadi jauh sebelum munculnya jenis-jenis kera. Jadi, manusia dan kera tidak pernah berhubungan.

Penelitian yang lebih kemudian yang dilakukan oleh Prof. Jones dan Prof. Osborne, cenderung untuk menyimpulkan bahwa walaupun manusia ada melalui proses evolusi, namun prosesnya sudah terpisah dari binatang lainnya di masa yang lebih jauh. Dan dari saat itu, manusia berevolusi pada garisnya sendiri, tanpa bercampur dengan evolusi binatang lainnya. Dengan kata lain, manusia bukanlah cabang dari binatang lain, katakanlah kera, sebagaimana dipercaya oleh Darwin.

Para ahli arkeologi dan antropologi menemukan bahwa peradaban manusia terjadi melalui jalur yang terbagi secara jelas. Pada zaman batu, manusia pertama kali melangkah masuk ke daerah budaya dan kemasyarakatan. Sejak masa itu, manusia melakukan evolusi dalam mempertahankan hidup sebagai “binatang yang lemah”.

Karena tidak memiliki kekuatan, cakar, dan taring yang kuat sebagaimana binatang lain, manusia menggunakan batu sebagai alat mempertahankan diri dan kegunaan lainnya. Kemudian datang zaman perunggu, dimana manusia mulai menggunakan bahan metal untuk membuat peralatan. Zaman ini diikuti oleh zaman besi. Dari berbagai situs yang ditemukan para arkeologi disimpulkan bahwa berbagai zaman dari kehidupan manusia dilakukan dengan perubahan budaya dari satu masa ke masa lainnya.


Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang berkaitan erat dengan penciptaan manusia yang bertahap, yaitu:

مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لِلّٰهِ وَقَارًاۚ  ١٣  وَقَدْ خَلَقَكُمْ اَطْوَارًا   ١٤  اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ  ١٥  وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا   ١٦  وَاللّٰهُ اَنْۢبَتَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ نَبَاتًاۙ  ١٧  ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَيُخْرِجُكُمْ اِخْرَاجًا   ١٨  وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ بِسَاطًاۙ  ١٩  لِّتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا ࣖ   ٢٠

Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (Nuh/71: 13-20)

Ayat di atas mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur’an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur’an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan “meniupkan” kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.

Tafsir surat Al Insan ayat 1 - 4 - petikan kedua

 

Tentang  proses kejadian manusia 

Surat yang mengemukakan tentang proses kejadian manusia dari sebelum ia belum dapat disebutkan bentuknya. 

Dalam ayat tersebut juga diterangkan bahwa manusia tercipta dari setetes mani yang kemudian ia dikaruniai pendengaran dan penglihatan sebab kelak Allah SWT akan mengujinya dengan perintah dan larangan. 

Maka setelah datangnya karunia dan ujian tersebut manusia akan terbagi menjadi dua golongan, yakni mereka yang bersyukur dan mematuhi perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, dan mereka yang mendurhakai-Nya.

Secara umum isi surat Al Insan ayat 1-4 dapat dimaknai sebagai pengingat bagi umat manusia bahwasanya Allah SWT telah memberikan penjelasan tentang petunjuk-petunjuknya guna menjalani kehidupan di dunia, yakni dengan memanfaatkan penglihatan dan pendengaran di jalan yang lurus agar kita senantiasa bersyukur serta senantiasa menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya agar tidak digolongkan sebagai kaum yang kafir.

Berikut adalah bacaan surat Al Insan ayat 1-4 yang dapat dimaknai umat muslim sebagai petunjuk untuk senantiasa berada di jalan yang lurus sebagaimana petunjuk atau panduan dari Allah SWT:


هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا

hal atā 'alal-insāni ḥīnum minad-dahri lam yakun syai`am mażkụrā

Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Informasi penting disajikan secara kronologis

innā khalaqnal-insāna min nuṭfatin amsyājin nabtalīhi fa ja'alnāhu samī'an baṣīrā

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا

innā hadaināhus-sabīla immā syākiraw wa immā kafụrā

Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.


اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ سَلٰسِلَا۟ وَاَغْلٰلًا وَّسَعِيْرًا

innā a'tadnā lil-kāfirīna salāsila wa aglālaw wa sa'īrā

Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.

Selain menerangkan tentang proses kejadian manusia dan kehidupannya, surat Al Insan juga berisi penjelasan bahwasanya kelak dihari kiamat nanti setiap perbuatan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan. 

Oleh karena itu, firman Allah tersebut dapat menjadi pengingat agar umat manusia selalu menaati segala perintah dan menjauhi laranganya sehingga hidupnya dapat selamat di dunia dan di akhirat.

tafsir surat al insan-petikan 1

Surat Al Insan

Manusia dalam ayat ini tidak menunjukkan satu orang, melainkan berlaku umum yaitu seluruh manusia. Oleh karenanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini seakan-akan mengatakan “Wahai manusia, bukankah telah datang suatu zaman dimana kalian tidak ada dan tidak disebut-sebut”. Intinya adalah jika kita berbicara 100 atau ribuan tahun yang lalu, maka kita ini adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan tidak disebut-sebut.


Intinya adalah ayat ini bisa merujuk kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dan bisa pula berlaku untuk seluruh manusia. Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya agar Nabi Adam ‘alaihissalam atau manusia seluruhnya itu tahu diri serta tidak sombong dan angkuh. Dan juga agar manusia itu ingat bahwasanya ada yang menciptakan mereka yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.

 Kata هَلْ merupakan kata istifhamiyah (kata tanya), sehingga jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka akan menjadi ‘apakah’ atau ‘bukankah’. Akan tetapi jika Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengajukan pertanyaan, bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengetahui jawabannya? Oleh karenanya disebutkan oleh Ahli Bahasa Al-Farra’ bahwa kalimat istifham di dalam Alquran hanya bisa bermakna dua, yaitu bisa sebagai penekanan (taqriri) atau bisa sebagai pengingkaran (ingkari) ([1]), dan kata istifham dengan dua makna ini banyak kita jumpai di dalam Alquran.


Yang benar dalam ayat ini adalah kata هَلْ di sini berfungsi untuk menekankan, sehingga maknanya menjadi قد (sungguh). Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Sungguh, telah datang kepada manusia suatu zaman di mana mereka bukanlah sesuatu yang disebut” ([2]).


Adapun kata الْإِنْسَانِ dalam ayat ini, ada dua pendapat dikalangan para ahli tafsir,


Pendapat pertama mengatakan bahwa ال (Alif lam) dalam kata الْإِنْسَانِ adalah ال العهدية (Alif Lam Al-‘Ahdiyah) yang menunjukkan kepada manusia yang telah ditentukan yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam([3]). Maka sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang Nabi Adam ‘alaihissalam. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala melalui ayat ini mengingatkan kita tentang nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam.


Nabi Adam ‘alaihissalam termasuk dari makhluk terakhir diciptakan. Oleh karenanya dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ


“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.”([4])


Dari hadits ini, secara urutan zaman penciptaan, Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan terakhir oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan kita dapati sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan bumi dan langit beserta isinya terlebih dahulu.


Maka dengan ayat ini seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Bukankah telah datang suatu zaman Wahai Adam, yang alam semesta telah ada sebelum engkau diciptakan jutaan tahun lamanya tanpa ada manusia”. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa tanpa manusia pun alam semesta ini akan tetap berjalan. Maka di sini Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan bahwa telah ada suatu zaman di mana Nabi Adam ‘alaihissalam bukanlah sesuatu yang ada dan tidak pula disebutkan([5]), sehingga ini menunjukkan ketiadaan yang sempurna.


Akan tetapi sebagian Ahli Tafsir berpendapat bahwa maksud Allah ada masa dimana Nabi Adam telah ada namun tidak memiliki nilai sama sekali. Mereka mengemukakan pendapat ini berdasarkan maksud dari kata شَيْئًا مَذْكُورًا “sesuatu yang dapat disebut” sehingga dipahami bahwa Adam sudah sudah ada namun belum disebut-sebut, yaitu belum bernilai yaitu ketika Adam masih berupa jasad dari tanah belum ditiupkan ruh padanya.


Pendapat kedua mengatakan bahwa ال (Alif Lam) dalam kata الْإِنْسَانِ merupakan ال للإستغراق (Alif Lam Lil-Istighraq) yang menunjukkan keumuman, yaitu seluruh manusia([6]). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,


وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ


“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr 1-3)