Kamis, 28 November 2024

kekuasaan dipergilirkan

 SAAT KEKUASAAN DIPERGILIRKAN



اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗ وَتِلْكَ الْاَ يَّا مُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّا سِ ۚ وَلِيَـعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَا للّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ


"Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim."

(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 140)


• Allah mempergilirkan musibah dan nikmat, kesempitan dan kelapangan. kesedihan dan kegembiraan, kegagalan dan kesuksesan, kemiskinan dan kekayaan, kekalahan dan kemenangan dalam kehidupan manusia. 


• Hukum ini diberlakukan untuk mendinamisasi kehidupan. Agar manusia bisa belajar dari pengalaman hidupnya dan merasakan beragam keadaan. Hingga menjadi pribadi yang matang, tangguh dan tegar di atas nilai-nilai kebenaran, apapun keadaannya.


• Saat gagal, ia bisa mengetahui bagaimana rasa kegagalan dan bagaimana menyikapi kegagalan sebagaimana diajarkan Islam. Demikian pula saat mendapatkan kesuksesan. “*Dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman”.*


• Saat mendapat kekalahan, ia bisa mendapatkan banyak pelajaran dan menunjukkan akhlak Muslim saat mendapat kekalahan. Saat mendapat kemenangan, ia bisa menunjukkan akhlak Muslim sebagai pemenang, disamping mendapat banyak pelajaran.


• Gagal dan sukses, kalah dan menang sudah menjadi hukum kehidupan. Yang paling penting tetap berada di jalur yang benar dan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, baik saat kalah atau menang, saat gagal atau sukses. 


• Dengan demikian, semua keadaan yang dialami seorang Muslim menjadi kebaikan baginya. Inilah keunggulan yang membedakan seorang Muslim dari orang lain. Bahkan Nabi saw menyatakan kekaguman dan apresiasinya kepada sikap Muslim ini, dalam sebuah sabdanya:


" عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ ؛ إِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ ؛ حَمِدَ اللَّهَ وَشَكَرَ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ ؛ حَمِدَ اللَّهَ وَصَبَرَ، فَالْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ أَمْرِهِ، حَتَّى يُؤْجَرَ فِي اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِهِ ".


“Saya kagum kepada orang Mukmin: Jika mendapat kebaikan, ia memuji Tuhannya dan bersyukur. Jika mendapat musibah, ia memuji Tuhannya dan bersabar. Orang Mukmin diberi pahala dalam semua urusannya, hingga diberi pahala pada suapan (makanan) yang diberikannya ke mulut istrinya”. (Musnad Ahmad, 1492).


• Pastikan Anda mendapat pahala dan pelajaran dari semua keadaan yang dihadirkan Allah dalam kehidupan. Jika tidak, berarti Anda merugi besar. (ars)


Senin, 25 November 2024

Amal kebaikan yang dilakukan orang lain yang bermanfaat bagi mayit

 

Amal Orang Hidup Yang Masih Bermanfaat Bagi Orang Wafat 


(Diambil dari kitab _Fiqhus Sunnah,_ Jilid. 1, hal. 568-570. Darul Kitab Al 'Arabi)


Syaikh Sayyid Sabiq _Rahimahullah_ menjelaskan:


أما ما ينتفع به من أعمال البر الصادرة عن غيره فبيانها فيما يلي:


_Ada pun amal kebaikan yang dilakukan orang lain yang bermanfaat bagi mayit adalah sebagai berikut:_


 - الدعاء والاستغفار له، وهذا مجمع عليه لقول الله تعالى: (والذين جاؤا من بعدهم يقولون: ربنا اغفر لنا ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان، ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا، ربنا إنك رؤوف رحيم) ، وتقدم قول الرسول صلى الله عليه وسلم: " إذا صليتم على الميت فأخلصوا له الدعاء " وحفظ من دعاء رسول الله صلى الله عليه وسلم: " اللهم اغفر لحينا وميتنا " ولا زال السلف والخلف يدعون للاموات ويسألون لهم الرحمة والغفران دون إنكار من أحد.


1. Berdoa dan istighfar untuknya


Ini telah menjadi  ijma' (konsensus), berdasarkan firman Allah Ta'ala:


_"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.”_ (QS. Al Hasyr: 10) 


Dan sabda Rasulullah ﷺ: 


_"Jika kalian menyalatkan mayit maka khususkanlah doa baginya."_


Dan doa yang Rasulullah ﷺ senantiasa jaga: _"Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan yang sudah wafat di antara kami."_


_Kaum salaf dan khalaf terus menerus mendoakan orang yang sudah wafat, memohonkan rahmat dan ampunan, dan tidak ada satu pun manusia yang mengingkari._


2 - الصدقة: وقد حكى النووي الاجماع على أنها تقع عن الميت ويصله ثوابها سواء كانت من ولد أو غيره، لما رواه أحمد ومسلم وغيرهما عن أبي هريرة: أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أبي مات وترك مالا ولم يوص، فهل يكفر عنه أن أتصدق عنه؟ قال: " نعم ".

وعن الحسن عن سعد بن عبادة أن امه ماتت.

فقال: يارسول الله: إن أمي ماتت، أفأتصدق عنها؟ قال: " نعم ".

قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: " سقي الماء " قال الحسن: فتلك سقاية آل سعد بالمدينة.

رواه أحمد والنسائي وغيرهما.

ولا يشرع إخراجها عند المقابر، ويكره إخراجها مع الجنازة.


2. Sedekah


_Imam An Nawawi Rahimahullah telah menceritakan adanya ijma', bahwa sedekah itu boleh atas mayit, dan sampai pahalanya, baik dari anaknya atau orang lain._


_Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya:_


_"Sesungguhnya ayah saya telah wafat, dia meninggalkan harta tapi tidak ada wasiat. Apakah dosa-dosanya bisa terhapus jika saya  bersedekah hartanya itu atas namanya?"_


Rasulullah ﷺ menjawab: _"Ya."_


Dari Al Hasan, dari Sa'ad bin 'Ubadah, dia menceritakan ibunya telah wafat, katanya:


_"Wahai Rasulullah, ibu saya telah wafat, apakah boleh saya bersedekah atas namanya?"_


Rasulullah ﷺ menjawab: _"Ya."_


Aku (Sa' ad) berkata: _"Sedekah apa yang paling utama?"_ Rasulullah ﷺ menjawab: _"Menuangkan air."_


_Al Hasan berkata: "Maka, keluarga Sa'ad menuangkan air untuk kota Madinah."_ (HR. Ahmad, An Nasa'i, dll)_


_Tidak disyariatkan sedekah di tempat pekuburan, dan dimakruhkan mengeluarkan sedekah saat mengurus jenazah. (karena itu merepotkan keluarganya, pen)._


3 - الصوم: لما رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس قال: جاء رجل

إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها؟ قال: " لو كان على أمك دين أكنت قاضيه عنها "؟ قال: نعم.

قال: " فدين الله أحق أن يقضى ".


3. Berpuasa


_Berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, dua berkata:_


_Datang seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ dia berkata:_


_"Wahai Rasulullah, ibu saya sudah wafat dan dia ada kewajiban puasa sebulan, apakah boleh saya qadha untuknya?"_


Rasulullah ﷺ menjawab: _"Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang apakah wajib membayarnya?"_


Laki-laki itu menjawab: _"Ya."_


Lalu Rasulullah ﷺ menjawab: _"Maka hutang kepada Allah lebih patut untuk ditunaikan."_


4 - الحج: لما رواه البخاري عن ابن عباس: أن امرأة من جهينة جاءت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت أفأحج عنها؟ قال: " حجي عنها، أرأيت لو كان على أمك دين، أكنت قاضيته؟ اقضوا فالله أحق بالقضاء ".


*4. Haji*


_Berdasarkan hadits Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang ke Rasulullah ﷺ, dia berkata:_


_"Ibu saya bernadzar untuk melaksanakan haji, tapi dia belum sempat haji sampai akhirnya wafat, apakah boleh saya haji untuknya? Maka, tunaikanlah sebab hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan."_


_Nabi ﷺ menjawab: "Berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang, bukankah kamu akan membayarkannya?"_


5 - الصلاة: لما رواه الدارقطني أن رجلا قال: يارسول الله، إنه كان لي أبوان أبرهما في حال حياتهما فكيف لي ببرهما بعد موتهما؟ فقال صلى الله عليه وسلم: " إن من البر بعد الموت أن تصلي لهما مع صلاتك، وأن تصوم لهما مع صيامك ".


5. Shalat


_Berdasarkan riwayat Ad Daruquthni, bahwa ada seorang laki-laki berkata:_


_"Sesungguhnya saya memiliki dua orang tua yang senantiasa saya berbuat baik kepada mereka berdua di saat hidupnya, maka bagaimana cara saya berbuat baik kepada mereka berdua setelah mereka wafat?"_


Rasulullah ﷺ menjawab: _"Sesungguhnya di antara bentuk berbakti setelah kematiannya adalah kamu shalat untuk mereka berdua  bersama shalatmu sendiri, dan kamu berpuasa untuk mereka berdua bersama puasamu."_


6 - قراءة القرآن: وهذا رأي الجمهور من أهل السنة.

قال النووي: المشهور من مذهب الشافعي: أنه لا يصل.

وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل.

فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهم أوصل مثل ثواب ما قرأته إلى فلان.

وفي المغني لابن قدامة: قال أحمد بن حنبل، الميت يصل إليه كل شئ من الخير، للنصوص الواردة فيه، ولان المسلمين يجتمعون في كل مصر ويقرءون ويهدون لموتاهم من غير نكير، فكان إجماعا.


6. Membaca Al Quran


_Ini adalah pendapat mayoritas Ahlus Sunnah. Imam An Nawawi mengatakan: "Yang masyhur dalam madzhab Syafi'i adalah tidak sampai."_


_Ada pun Ahmad bin Hambal, dan segolongan ulama Syafi'iyyah mengatakan sampai. Pendapat yang dipilih adalah hendaknya setelah dia membaca Al Quran hendaknya berdoa: "Ya Allah sampaikanlah pahala membaca Al Quran ini kepada Fulan."_


_Dalam Al Mughni-nya Ibnu Qudamah:_


_"Berkata Ahmad bin Hambal, bagi mayit semua kebaikan (yang dilakukan orang hidup) itu sampai kepadanya, berdasarkan dalil-dalil tentang itu," dan kaum muslimin di setiap negeri telah berkumpul, membaca Al Quran, dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit mereka tanpa ada orang yang mengingkarinya, maka ini menjadi Ijma'."_


والقائلون بوصول ثواب القراءة إلى الميت، يشترطون أن لا يأخذ القارئ على قراءته أجرا.


_Orang-orang yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al Quran kepada mayit memberikan syarat yaitu TIDAK BOLEH bagi si pembaca mengambil upah atas bacaannya._


فإن أخذ القارئ أجرا على قراءته حرم على المعطي والاخذ ولا ثواب له على قراءته، لما رواه أحمد والطبراني والبيهقي عن عبد الرحمن

ابن شبل: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " اقرءوا القرآن، واعملوا ... ولا تجفوا عنه ولا تغفلوا فيه، ولا تأكلوا به ولا تستكثروا به ".


_Jika si pembacanya mengambil upah dari bacaannya maka itu HARAM atas si pemberi dan penerimanya, dan tidak berpahala baginya atas bacaannya itu. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Ath Thabarani, dan Al Baihaqi, dari Abdurrahman bin Syibl: bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:_


_"Bacalah Al Quran, dan amalkanlah... Janganlah terlalu kaku dan janganlah melalaikannya, dan janganlah mencari makan dengan bacaannya, dan janganlah memperbanyak harta dengannya."_


قال ابن القيم: والعبادات قسمان: مالية وبدنية، وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصدقة على وصول سائر العبادات المالية، ونبه بوصول ثواب الصوم على وصول سائر العبادات البدنية، وأخبر بوصول ثواب الحج المركب من المالية والبدنية، فالانواع الثلاثة ثابتة بالنص والاعتبار.


_Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Ibadah ada dua macam, ibadah maaliyah (harta) dan ibadah badaniyah (badan)._


_Pembuat syariat telah menjelaskan sampainya pahala sedekah atas semua jenis ibadah harta. Pembuat syariat telah menjelaskan sampainya pahala puasa atas semua jenis ibadah badan._


_Dikabarkan pula sampainya pahala ibadah haji yang merupakan gabungan antara ibadah harta dan badan sekaligus. Jenis yang ketiga ini juga kuat berdasarkan dalil dan perenungan (akal)._


اشتراط النية ولابد من نية الفعل على الميت.

قال ابن عقيل: إذا فعل طاعة من صلاة صيام وقراء ة قرآن وأهداها، بأن جعل ثوابها للميت المسلم، فإنه يصل إليه ذلك وينفعه، بشرط أن تتقدم نية الهدية على الطاعة وتقارنها. ورجح هذا ابن القيم.


_Disyaratkannya niat,  hal yang wajib yaitu adanya niat untuk aktivitas atas nama mayit._


_Imam Ibnu 'Aqil mengatakan:_


_"Jika melakukan ketaatan baik berupa shalat, puasa, membaca Al Quran, dan menghadiahkannya dan menjadikan pahalanya untuk mayit muslim, maka menyampaikan untuknya adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat baginya, dengan syarat mendahulukannya dengan niat melakukan ketaatan."_  Pendapat ini dinilai lebih kuat oleh Imam Ibnul Qayyim. 


(Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/568-570)*


Beberapa Catatan:


Untuk aktifitas no. 3, yaitu berpuasa atas nama orang wafat yang saat hidupnya tidak puasa Ramadhan. Apa yang mesti dilakukan oleh ahli warisnya, ada dua pendapat menurut Imam Nawawi yaitu:

- FIDYAH, bukan puasa. Ini pendapat mayoritas ulama, kecuali sebagian Syafi’iyah. Bagi mayoritas ulama berpuasa itu jika si mayit sebelumnya nadzar. 

- PUASA, bukan fidyah. Ini pendapat sebagian Syafi'iyyah, dan inilah yang dianggap lebih Shahih menurut Imam An Nawawi. 

Untuk aktifitas no. 5. Shalat, dan 6. Membaca Al Quran, ini juga diperselisihkan ulama. 

Shalat dgn pahala dihadiahkan buat mayit, adalah sampai pahala tersebut menurut Hanabilah  generasi awal, juga Hanafiyah, sebagian Malikiyah dan Syafi'iyyah. Inilah yang dinilai lebih kuat oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Abdullah Al Faqih. 

Ada pun mayoritas Malikiyah dan Syafi'iyyah mengatakan tidak sampai, bahkan seorang ulama Hambali Kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan bid'ah. 

Membaca Al Quran buat mayit, sudah jelas dari Syaikh Sayyid Sabiq bahwa hal itu sampai pahalanya kepada mayit menurut mayoritas ulama. Dan tidak sampai menurut yang masyhur dari Imam Asy Syafi'i. Kalangan mu'tazilah juga mengatakan tidak sampai, seperti yang diceritakan oleh Imam Asy Syaukani. 

 Ada beberapa poin yang belum dibahas oleh Syaikh Sayyid Sabiq, diantaranya: _aqiqah, qurban, dan umrah._ Para ulama pun juga berselisih atas kebolehan tiga hal ini diniatkan untuk orang yang sudah wafat. 


Minggu, 24 November 2024

Berdakwah melalui pendekatan budaya, mungkinkah?

 Dakwahkan Islam di luar negeri dengan pendekatan budaya

H. Khumaini Rosadi, SQ., M.Pd.I

Begitu indah cara dan model walisongo menyebarkan Islam. Pengajarannya disampaikan dengan santun, tidak serta merta langsung menyalahkan, dan tidak langsung menghilangkan tradisi lama yang sudah turun temurun. Pendidikannya disampaikan secara pelan-pelan tapi pasti. 


Kehadiran Islam di tengah-tengah kehidupan manusia di muka bumi tidak untuk menjadi tandingan dari budaya yang telah berkembang di masyarakat, justru ingin menjadikan nilai-nilai budaya yang merupakan kearifan lokal tersebut sebagai salah satu instrumen dakwah.

Terdapat sebagian umat Islam yang kurang tepat memposisikan keberadaan budaya itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa budaya tidak perlu dipertahankan karena tidak berasal dari Al-Quran dan hadis. Padahal tidak selamanya sesuatu secara eksplisit yang tidak berdasar Al-Quran dan hadis adalah tidak benar, sehingga harus ditinggalkan. Akan tetapi Rasulullah SAW. pernah mengingatkan “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu” (HR. Muslim).


Sebagaimana dulu Islam masuk ke Indonesia dengan santun, damai, dan tidak saling menyalahkan. Islam berkembang dengan adaptasi. Penyesuaian budaya namun tetap menjaga etika. tetap menghormati ajaran pendahulunya dan membenarkannya secara perlahan,

Sejarah wali songo patut menjadi referensi berdakwah bagi para dai. Baik di dalam negeri apalagi di luar negeri. Budaya saling menghargai satu sama lain untuk menciptkan toleransi sangat dianjurkan dalam Islam.

Selama tidak berlebihan. Selama ada batasan. Bila berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaan, wajib bertoleransi. Tetapi jika sudah menyentuh ranah aqidah dan ibadah, maka tidak boleh ditoleransi. Ini prinsip.

Sunan kalijaga contohnya. Menerapkan model dakwah dengan pendekatn budaya, yaitu dengan melalui lagu dan wayang. Kita mengenal lagu ilir-ilir, itu ciptaan sunan kalijaga. Wayang dengan tiket masuk nontonnya membaca Kalimosodo, artinya dua kalimat syahadat.

Dan di dalamnya ada peran tokoh lakon Yudhistitira, bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Itu semua digambarkan sebagai Rukun Islam. Dua kalimat Syahadat – Yudhistira. Shalat – Bima. Puasa – Arjuna. Zakat – Nakula. Haji - Sadewa.

Begitu indah cara dan model walisongo menyebarkan Islam. Pengajarannya disampaikan dengan santun, tidak serta merta langsung menyalahkan, dan tidak langsung menghilangkan tradisi lama yang sudah turun temurun. Pendidikannya disampaikan secara pelan-pelan tapi pasti. Slowly but sure.

Sebagaimana kisah Rasulullah menenangkan orang Baduy yang buang air kecil di masjid, sedangkan ada sahabat yang ingin memarahinya. Tetapi Rasulullah katakan biarkan sampai habis dulu air seninya, jangan dikejutkan sehingga berantakan atau berceceran ke mana-mana.

Bila sudah selesai, nanti tinggal disiram dengan air, baru diberikan nasihat bahwa ini masjid, suci. Tidak boleh sembarangan buang air kecil. Subhanallah. Begitu santun ajaran Islam. Ini budaya Islam, saling mengingatkan.

Contoh lain, ketika Rasulullah berhadapan setiap pagi dengan nenek-nenek buta yang selalu berteriak, jangan dekati Muhammad! Jangan percaya Muhammad! dan menuduhkan tuduhan-tuduhan yang tidak baik kepada Rasulullah. Padahal Rasulullah ada di depannya.

Dengan santunnya Rasulullah menyuapinya setiap pagi dan menyembunyikan identitasnya. Setelah beliau wafat, dan sunnah ini diteruskan oleh Abu Bakar Shiddiq, barulah si nenek tahu dari keterangan Abu Bakar ternyata yang biasa menyuapinya setiap pagi adalah Muhammad, terkejut bukan kepalang.

Lantas seketika itu juga di hadapan Abu Bakar, nenek tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah. Budaya santun yang baik sekali. Ini Islam. Akhlak Rasulullah yang begitu mulia.

Sebagaimana Allah mengharamkan Khamr dan Judi secara perlahan.

Tersebut dalam Alquran, proses pengharaman Khamr dan judi secara Pelan-pelan, tidak langsung memvonis haram. Disampaikan dulu perbandingan halal dan haram, lalu dijelaskan manfaat dan mudlaratnya, yang ternyata mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya.

Lalu disampaikan tidak boleh shalat dalam keadaan mabuk. Padahal shalat adalah cara mendekatkan diri dengan Allah, baru tahapan akhir dijelaskan bahwa Khamr dan judi hukumny haram.

Sampai empat kali tahapan, Khamr dan judi baru diharamkan secara jelas.  Bertahap-tahap pengharamannya, karena tradisi khamr dan judi pada saat itu sudah menjadi budaya tidak baik pada zaman itu.

Menjadi seorang dai harus mampu menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan budaya. Bukan hanya di dalam negeri. Tetapi di luar negeri pun mengenalkan Islam harus dengan pendekatan budaya. Tentunya budaya yang baik. Budaya Indonesia yang santun. Budaya Islam yang mencerahkan. Budaya saling sapa ketika beretemu.

Budaya saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Budaya saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Indahnya Islam, disebarkan melalui kesantunan Budaya.

Saya berdakwah di Italia, khususnya di kota Roma, juga dengan pendekatan budaya. Budaya saling bersalaman ketika bertemu. Budaya berzikir bersama setelah shalat. Budaya membaca shalawat sebelum dan sesudah sholat dan kajian. Semua jamaah senang, terlihat bahagia. Indahnya budaya Islam. Indahnya budaya Indonesia.


Kamis, 21 November 2024

rumah tangga kamu mengalami krisis ekonomi

 Jika rumah tangga kamu mengalami krisis ekonomi, berikut ini beberapa tips untuk mengatasinya : 


1. Tetap terbuka dengan pasangan.


Saat menghadapi krisis ekonomi, kamu dan pasangan harus saling percaya dan terbuka satu sama lain. Hilangkan rasa curiga yang datang. Sebab, jika hati dan pikiran ini dipenuhi dengan rasa curiga maka yang akan timbul ialah prasangka buruk dan keributan yang tidak berujung.


Inilah mengapa penting bersikap saling terbuka, baik di sisi pemasukan maupun pengeluaran. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi. Sebab, jika ketahuan akibatnya bisa fatal. Kamu dan pasangan dapat terlibat pertengkaran hebat, hingga membuat kondisi rumah tanggamu berantakan.


2. Jangan menghakimi kondisi keuangan pasangan.


Saat mengetahui jika sikap pasangan yang boros menjadi salah satu pemicu utama krisis, sebaiknya jangan mempertegas hal ini di depannya. Justru hal itu bisa membuat pasangan semakin terpuruk. Lebih baik, saling mengingatkan satu sama lain dan cari solusi bersama untuk menghilangkan pemborosan yang dilakukan itu.


Saat berdiskusi, usahakan dengan suasana yang santai dan gunakan bahasa santun tanpa ngegas dan jika bisa diselingi canda tawa yang menghibur. Jangan lupa untuk saling meyakinkan bahwa krisis keuangan yang terjadi bukan hanya beban salah satu dari pasangan. Namun hal itu jadi tanggungan yang perlu dipikul dan diselesaikan bersama.


3. Mengatur ulang anggaran rumah tangga.


Saat mengalami krisis ekonomi rumah tangga, cobalah untuk mengatur ulang anggarannya. Buat daftar yang baru dengan memangkas pengeluaran-pengeluaran besar yang tidak perlu. Utamakan penuhi kebutuhan prioritas seperti pendidikan anak, kebutuhan dapur, cicilan utang, tagihan listrik dan air, kuota internet, dan sebagainya.


Kamu dan pasangan perlu berhemat. Kurangi kebiasaan makan di luar, kurangi belanja kebutuhan yang sifatnya tertier dan sekedar ingin saja, apalagi bermewahan.


Mulailah untuk mencoba memasak makanan sendiri di rumah, bawa bekal ke kantor, stop jajan, dan lainnya. Penghematan ini harus dilakukan dengan pasanganmu secara disiplin. Hal itu agar perlahan rumah tanggamu terbebas dari jerat krisis finansial.


4. Lakukan hal-hal yang bikin rumah tangga tetap harmonis.


Saat menghadapi krisis keuangan rumah tangga, pastikan kamu dan pasangan lebih peduli satu sama lain. Usahakan lebih banyak menyisihkan waktu untuk berdiskusi membahas keuangan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Hal itu terkesan sederhana namun bisa memperkuat keharmonisan keluarga.


5. Selalu ada saat pasangan membutuhkanmu.


Kesulitan keuangan merupakan salah satu ujian rumah tangga. Dalam situasi tersebut tentu kamu dan pasangan harus selalu ada untuk saling menemani dan menguatkan.


Lalu, jangan lupa untuk mencari solusi atas masalah yang terjadi. Semua hal perlu dibicarakan berdua agar tidak terjadi kesalahpahaman.


6. Cari peluang sumber penghasilan baru.


Kamu tetap perlu berusaha mencari peluang sumber penghasilan baru. Namun tidak usah tergiur berhutang untuk mendapatkan modal. Pendapatan kecil tapi aman dan halal lebih diutamakan daripada tergoda dengan usaha baru yang syubhat dan resikonya besar.


7. Tetap yakin dengan rezeki Allah dan berdoa.


Sesulit apapun kondisi ekonomi kamu tetaplah yakin bahwa Allah pasti akan memberikan rezeki jika kamu sabar berdoa dan berusaha. 


Demikianlah tips mengatasi krisis keuangan rumah tangga yang bisa dilakukan oleh kamu dan pasangan. Yang terpenting, kamu dan pasangan tetap saling mendukung satu sama lain dan tetap berkomunikasi secara terbuka. Jadikan krisis ekonomi keluarga sebagai ujian untuk meningkatkan rasa cinta satu sama lain. Bukan malah sebaliknya, melunturkan rasa cinta hanya gara-gara ekonomi. Sungguh, merupakan sikap yang kurang dewasa jika sebuah rumah tangga bercerai hanya gara-gara egoisme masing-masing ketika ada krisis ekonomi dalam rumah tangga.

Shl

Memulyakan tetangga

 

Mulyakan tetangga


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Wahai kaum muslimah! Janganlah sekali-kali seorang tetangga merasa rendah untuk memberi sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya berupa kikil kambing!”

Pelajaran yang bisa dipetik: 

1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi memotivasi kepada kita untuk memberikan hadiah atau sedekah kepada tetangga walaupun dengan sesuatu yang kecil. Kikil kambing itu tentunya sesuatu yang remeh, tetapi baginda Nabi berpesan jangan sampai meremehkan kebaikan walaupun sangat sedikit,

2. Berbuat baik kepada tetangga termasuk menunaikan pesan dan wasiat Rasul. Walaupun sekadar bersikap ramah ketika bertemu dengan mereka, berwajah yang ceria, tidak menampakkan wajah yang murung, cemberut atau sangar, karena semua itu akan membuatnya bahagia.

3. Setiap yang membuat saudara kita bahagia merupakan perbuatan baik dan mendapat pahala, dan setiap yang membuat orang kafir marah adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya),

“. . . Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan.” (QS. At-Taubah: 120).

4. Larangan pelit dan bakhil pada saudara yang membutuhkan atau kurang mampu, karena termasuk akhlak tercela, lebih lagi kalau itu adalah tetangga.

5. Anjuran menyambung hubungan yang baik dengan kaum muslimin, lebih khusus para tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita.

6. Segala perbuatan baik akan mendapatkan balasannya, maka sikap meremehkan atau menganggap rendah sebuah kebaikan.


Rabu, 20 November 2024

Makna kebaikan

 Kebaikan  itu apa?


Hadits 622.

وَعَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اْلبِرِّ وَاْلإِثْمِ فَقَالَ: « اْلبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَاْلإِثْمُ: مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلعَ عَلَيْهِ النَّاسُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Daripada An-Nawas bin Sim'an radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan dosa, kemudian baginda menjawab:


“Al-Birr (bakti) adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala sesuatu yang meragukan hati dan kamu benci jika hal itu diketahui orang lain.”


[Shahih Muslim no. 2535]


Hadits 623.

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا. وَكَانَ يَقُوْلُ: « إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Daripada Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbuat kejahatan. Baginda pun pernah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.”


[Shahih Al-Bukhari no. 3559, 6035 dan Muslim no. 2321]


Hadits 624.

وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَومَ اْلقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ. وَإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ اْلفَاحِشَ اْلبَذِيِّ » رَوَاهُ التَّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. (اْلبَذِ يُّ): هُوَ الَّذِي يَتَكَلَّمُ بِالْفُحْشِ. وَرَدِيْءِ الْكَلَامِ.

Daripada Abu Ad-Darda' radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang baik. Dan Allah membenci orang yang keji, baik perkataan mahupun perbuatan.”


[HR. At-Tirmidzi no. 5721 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 876 dan Shahih At-Tirmidzi no. 1628]


Hadits 625.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: « تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُق، وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ: « الْفَمُ وَالْفَرْجُ » . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.

Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke surga.”


Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.”


Dan ketika ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke neraka.


Baginda menjawab: “Mulut dan kemaluan.”


[HR. At-Tirmidzi no. 2004 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no. 977 dan Shahih Ibnu Majah no. 3424]

Memberikan nafkah untuk keluarga

 Memberikan nafkah untuk keluarga

Memberikan nafkah untuk keluarga adalah kewajiban seorang laki-laki yang menjalani peran sebagai kepala keluarga. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ﷻ dalam Surah Al-Baqarah ayat 233:


وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ 


Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.


Untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga, selain mencari nafkah yang halal, juga dibutuhkan perencanaan keuangan yang matang. Untuk itu, kamu bisa memanfaatkan tabungan dari Hijra Bank untuk bantu pengaturan finansial keluargamu agar kebutuhan dasar setiap anggota keluarga dapat terpenuhi. 



إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى امْرَأَتِكَ


Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah ﷻ (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (H.R. Bukhari).


Dalam hadits tentang nafkah untuk keluarga di atas, Rasulullah ﷺ menekankan pentingnya niat yang lurus karena Allah ﷻ bagi para suami yang menafkahkan hartanya. 


Jadi, jangan cuma menafkahi keluarga sekadar menggugurkan kewajiban, atau hanya semata-mata melakukan tugas. Lakukan dengan niat karena Allah ﷻ agar mencari nafkah mendatangkan pahala yang besar.   


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa bahkan sesuap makanan yang masuk ke mulut setiap anggota keluarga bernilai sedekah.


مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ


Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. 


Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah (H.R. Ahmad)


Islam mengajarkan bahwa menafkahkan harta untuk keluarga haruslah menjadi prioritas utama sebelum kita membelanjakan harta untuk keperluan selain itu. 


Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa membelanjakan harta untuk keperluan keluarga lebih besar pahalanya daripada membelanjakan harta untuk orang miskin di luar keluarga, bahkan untuk memerdekakan budak sekalipun. 


Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:


دِينارٌ أنفقته في سبيل الله ودينارٌ أنفقته في رقبة ودينارٌ تصدقت به على مسكين ودينارٌ أنفقته على أهلك أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك


“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya paling besar adalah yang engkau berikan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)

Tahukah kamu, dalam sebuah hadits Nabi ﷺ, ada dua malaikat yang setiap pagi akan berdoa kepada Allahﷻ. 


Malaikat yang satu akan mendoakan keberkahan bagi orang yang di hari itu membelanjakan hartanya di jalan Allahﷻ. Malaikat yang lain akan mendoakan kebangkrutan bagi orang-orang yang pelit dan menahan hartanya dari dibelanjakan di jalan Allahﷻ. 


Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, Nabi ﷺ bersabda


مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفً


Tidaklah para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit. (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).


Memenuhi kebutuhan keluarga merupakan satu cara membelanjakan harta di jalan Allah


Selasa, 19 November 2024

Cita-cita besar kader dakwah

 OBSESI KADER DAKWAH

Inilah salah satu pelajaran yg bisa di ambil oleh para Da'i agar senantiasa memiliki ambisi, obsesi dan dorongan berprestasi (thumuh) yang setiap saat akan menyulut semangat api dakwahnya dan menciptakan karya karya terbaik dalam dakwahnya. 



Kemenangan yang di raih Timnas Indonesia selasa (19/11) malam, setelah mengalahkan Arab Saudi dengan skor 2-0, masih menyisakan euforia.


Obrolan di sosial media masih hangat membahas prestasi yg di raih Timnas, bahkan tetangga saya pagi tadi sambil ngopi masih memutar high light pertandingan semalam lewat hape-nya.


Keinginan dan obsesi yang kuat agar Timnas Indonesia bisa tampil di pentas Piala Dunia 2026,  bukan hanya dari pemain Timnas, tapi juga seluruh official, supporter dan juga ratusan juta harapan dari penduduk Indonesia, seakan memberi energi dan kekuatan untuk bisa mengalahkan Timnas Arab Saudi yg merupakan Tim Langganan di Piala Dunia. 


Apalagi dengan kemenangan ini kembali membuka asa Timnas untuk bisa lolos sbg runner up atau menjadi peringkat 3 atau 4 untuk lolos ke putaran ke 4.


Inilah salah satu pelajaran yg bisa di ambil oleh para Da'i agar senantiasa memiliki ambisi, obsesi dan dorongan berprestasi (thumuh) yang setiap saat akan menyulut semangat api dakwahnya dan menciptakan karya karya terbaik dalam dakwahnya. 


Tentunya prestasi dan karya seorang Da'i yang menjadi ukuran adalah prestasinya Timnas hadapan Allah swt.


Ia bukan tentang obsesi kehebatan seseorang, tetapi merupakan vitalitas iman yang mampu melahirkan energi tenaga jiwa yang dashyat dalam dakwahnya.


Sehingga dengan nuansa imani tersebut mampu menyapu habis kecenderungan pada kemalasan, istirahat dan kesantaian. 


Karena ia paham istirahatnya seorang Da'i adalah ketika kaki menginjakkan di surga.


Dengan obsesi (thumuh), Seorang Da'i, akan selalu menautkan jiwanya dengan kehendak Langit. Mereka tidak menginginkan kebesaran dan kemegahan di bumi manusia. Setiap prestasi yang mereka capai selalu berubah jadi 'tangga' yang harus segera di lewati. 


Capaian capaian dakwah hari ini bukan untuk di banding bandingkan, tetapi sarana untuk terus melakukan aktivitas kebaikan sampai datang kematian.


Dulu Timnas Indonesia obsesi hanya untuk bisa juara di AFF, tetapi sekarang Timnas kita menatap jauh tinggi untuk bisa tampil di Piala Dunia. 


Dorongan seperti ini juga yang harus diAbdul  miliki seorang Da'i agar mereka menanam investasi untuk akhirat mereka. Teringat ungkapan yang di sampaikan Umar bin Abdul Aziz setelah menjadi khalifah ;


" Aku memiliki jiwa perindu. Setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap itu pula ia merindukan tingkat yang lebih tinggi. Kini ia telah sampai pada tingkat tertinggi , yang tiada lagi tingkat yang lebih tinggi dari itu. Dan kini ia hanya merindukan Surga saja".


Saya yakin jika Timnas Indonesia bs lolos Piala Dunia 2026 nanti maka obsesinya akan terus naik, mulai dari bs lolos penyisihan grup, bisa masuk semifinal sampai akhirnya obsesi untuk menjadi juara di Piala Dunia. 


Karenanya para Da'i juga harus memiliki obsesi agar Cahaya kehangatan mentari Robbani ini bisa masuk ke dalam setiap pintu pintu rumah di negeri ini, agar cahaya hidayah bisa menangungi seluruh penduduk negeri..tetapi ini sulit terwujud jika para Da'i terlalu lemah (tdk punya obsesi) dan tidak mememiliki daya dorong, terlalu malas, santai dan senang pada yang 'biasa-biasa' saja. 


Karenanya jika kehendak, obsesi, azzam sudah membuncah maka kita serahkan takdir kepada Allah.


"Jika engkau telah ber'azzam (membulatkan tekad), maka bertawakallah kepada Allah," ( QS Ali Imron : 159 ) 

Im99



Senin, 18 November 2024

Perkataan Umar bin Khattab r.a.

 

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ.

“Dari Tamim Ad Dari radliallahu ‘anhu ia berkata: “Orang-orang berlomba-lomba mempertinggi bangunan pada zaman Umar, lalu Umar berkata: ‘Wahai masyarakat Arab ingatlah tanah, ingatlah tanah, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada (gunanya) kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Barangsiapa yang dihormati kaumnya karena ilmu, hal demikian membawa kebaikan untuk kehidupan dirinya dan masyarakatnya, dan barangsiapa yang dihormati oleh kaumnya bukan karena ilmu, maka ia hancur (begitu juga dengan) kaumnya’.” (HR. Al-Darimi: 253)

Akhlaq dalam Amal Jama'i

 Amal jama’i

Oleh: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.


Amal jama’i adalah bekerja bersama-sama di dalam jama’ah yang berkomitmen melakukan dakwah. Jama’ah adalah istilah yang disebutkan oleh Nabi saw (Sunan at-Tirmidzi 2165) sehingga memiliki makna dan tata cara tersendiri di dalam praktik berorganisasi di kalangan para dai, tidak sama dengan oraganisasi sekuler yang ada. Karena itu, ia memiliki akhlak khusus dan lebih menekankan aspek moralitas agama ketimbang sisi organisatoris semata. Karena jama’ah menjadi sarana ibadah paling penting dan perjuangan menegakkan Islam. Diantara akhlaknya adalah:


Pertama: Niat shalihah.


Karena menjadi sarana ibadah paling penting maka harus dilandasi niat yang ikhlas, yakni menjadikannya sebagai sarana untuk membela agama Allah. Firman Allah:


Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad: 7)


Niat ini harus terus dijaga sejak awal hingga akhir, karena niat bisa berubah di tengah perjalanan, khususnya ketika dakwah sudah mulai memberikan buahnya. Agar niat ini tetap terjaga dengan baik hingga akhir perjalanan, janganlah anda mengaitkan aktivitas anda di dalam jama’ah dengan perolehan materi, jabatan, popularitas dan kedudukan. Karena semua itu bisa merusak niat dan membuat anda tidak bisa bertahan lama di dalam jama’ah, mudah kecewa, mutung dan kehilangan motivasi dalam berjama’ah bila apa yang anda harapkan itu tidak tercapai.


Kedua: Tidak Meminta Jabatan.


Mungkin meminta jabatan menjadi sesuatu yang lumrah di dalam organisasi sekuler, tetapi di dalam amal jama’i hal ini justru menjadi sesuatu yang tidak lazim bahkan aib. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut.


Dari Abu Musa al-Asy’ari ra, ia berkata: Saya pernah masuk menemui Nabi saw bersama dua orang lelaki dari kaumku lalu keduanya berkata: ‘Angkatlah kami menjadi pemimpin wahai Rasulullah’. Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kami tidak memberikan urusan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi terhadapnya”. (Bukhari 7140 dan Muslim 1733)


Karena ambisi bisa membuat seseorang ”gelap mata” lalu menabrak akhlak dan aturan agama.


Karena itu, di dalam amal jama’i tidak dikenal upaya menggalang dukungan apalagi intrik-intrik untuk pencalonan suatu jabatan internal. Karena hal ini termasuk meminta dan berambisi terhadap jabatan. Disamping bisa menimbulkan kebencian, kedengkian dan celaan terhadap sesama dai. Semua itu dilarang dalam Islam. Apalagi biasanya orang yang lemah kepribadian menggunakan celaan dan “serangan” kepada saudaranya untuk meng-upgrade dirinya, karena kurang “pede” terhadap kemampuan dan integritas dirinya sendiri.


Tetapi tidak dilarang sekedar mengusulkan, menyampaikan pandangan, analisa dan opini, tanpa mencela orang lain.


Ketiga: Taat.


Ketaatan dalam amal jama’i menjadi faktor sangat penting dan menentukan soliditas jama’ah. Bahkan tidak ada artinya berjama’ah tanpa ketaatan. Umar bin Khatab ra berkata:


“Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”. (ad-Darimi 1/7)


Hal ini karena di dalam amal jama’i diperlukan berbagai penugasan, penunjukan dan keputusan, sehingga diperlukan ketaatan bukan perdebatan dan penolakan. Fase amal jama’i adalah fase jundiyah murni. Sabda Nabi saw:


“Saya perintahkan kalian dengan lima kata yang diperintahkan Allah kepadaku: Berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan jihad di jalan Allah. Siapa yang keluar dari jama’ah sejengkal maka ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya kecuali kembali lagi”. (Ahmad, 4/130, 202, 344, Tirmidzi, 2863, dan Ibnu Khuzaimah, 1895).


Dalam amal jama’i, menolak perintah pimpinan adalah “dosa besar” karena ketaatan menjadi salah satu rukun utama janji setia.


Keempat: Sabar.


Dalam amal jama’i juga diperlukan kesabaran, karena bisa jadi seseorang mendapat tugas tidak sesuai keinginannya, atau ada keputusan-keputusan yang tidak sesuai kecenderungan dan pendapat pribadinya. Karena itu, di dalam amal jama’i tidak dikenal adanya “unjuk rasa” dan “mosi tidak percaya”, bila jama’ah memutuskan sesuatu tidak sesuai keinginan pribadi kita. Apalagi mengajukan tuntutan ke pengadilan di luar jama’ah. Orang yang melakukan mosi tidak percaya dalam jama’ah tidak mengerti akhlak beramal jama’i yang lebih menekankan moralitas agama, atau karena pengaruh tradisi organisasi sekuler yang belum sepenuhnya terkikis di dalam dirinya.


Karena itu, sabar dalam amal jama’i termasuk ibadah yang sangat besar pahalanya karena bisa menjaga soliditas jama’ah. 


Kelima: Melaksanakan Kewajiban Tanpa Menuntut Hak.


Akhlak ini diajarkan Nabi saw, demi menjaga kemaslahatan yang lebih besar, yaitu keutuhan dan soliditas jama’ah. Sabda Nabi saw:


“Akan terjadi tindakan lebih mengutamakan orang lain (ketimbang kamu) dan akan terjadi perkara-perkara yang kamu ingkari”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw menjawab: “Kalian tetap menunaikan kewajiban kalian dan meminta hak kalian kepada Allah”. (Bukhari 3603)


Hal ini bisa jadi karena jamaah tidak mampu memenuhi semua hak anggotanya sementara tugas-tugas harus tetap dilaksanakan, sehingga mereka harus meminta hak tersebut kepada Allah sebagai ganjaran kontribusinya dalam beramal jama’i (baca kisah pembagian ghanimah di perang Hunain). Karena itu, niat ikhlas dalam berjama’ah sangat penting untuk tetap dijaga. Hadis ini juga menyebutkan kemungkinan adanya tindakan lebih mengutamakan orang lain ketimbang seseorang karena pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan tertentu. Sekali lagi disini diperlukan jiwa besar dan keikhlasan untuk itsar. 


Semoga kita bisa menjaga akhlak dalam beramal jama’i sehingga kita punya kontribusi dalam menjaga keutuhan dan soliditas jama’ah dakwah penuh berkah ini.


Sumber: Buku 'Menjaga Soliditas Kader Dakwah'

Selasa, 12 November 2024

Kekasih Allah

Sifat-Sifat Wali-Wali Allah


Oleh

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله


عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ  رَضِيَ اللهُ  عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «إِنَّ اللهَ  تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ لَأُعِيْذَنَّهُ».


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”


Kelengkapan hadits ini adalah:


وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ


Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu  yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.


TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, III/346; X/219 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, dan lainnya


Setelah membawakan hadits ini, al-Baghâwi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini shahih.”


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Rabb-nya. Kemudian beliau t bawakan hadits di atas.[1]


Hadits ini –walaupun diriwayatkan oleh Bukhâri rahimahullah dalam kitab Shahîhnya- termasuk hadits yang diperbincangkan para ulama karena ada rawi yang lemah. Namun hadits ini shahih karena ada syawâhid (penguat-penguat)nya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1640.


SYARAH HADITS

ath-Thûfi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas tentang jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan metode supaya bisa mengenal dan meraih cinta-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsân, semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga terkandung dalam hadits Jibril Alaihissalam . Dan ihsân menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud, ikhlas, muraqabah, dan lainnya.[2]


Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas) : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.”


Maksudnya, “Sungguh Aku mengumumkan kepadanya bahwa Aku memeranginya karena ia memerangi-Ku dengan memusuhi wali-wali-Ku.” Jadi, wali-wali Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi, sebagaimana musuh-musuh Allâh wajib dimusuhi dan haram dicintai.


Allâh Azza wa Jalla berfirman,  yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia … ” [al-Mumtahanah/60:1]


Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolong (wali)mu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh). Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allâh itulah yang menang.” [al-Mâidah/5:55-56]


Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya yang Allâh Azza wa Jalla  cintai dan mereka mencintai-Nya yaitu rendah hati terhadap kaum mukminin dan tegas terhadap orang-orang kafir.


Ketahuilah, bahwa segala bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi Allâh Azza wa Jalla , semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan, semakin keras pula permusuhannya terhadap Allâh. Karena itulah Allâh  menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezhaliman mereka kepada hamba-hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di bumi. Demikian pula orang yang memusuhi  para wali Allâh Azza wa Jalla . Mereka itu telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5]


Sifat dan ciri-ciri wali-wali Allâh Azza wa Jalla

Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/10:62-63]


Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sifat  para wali-Nya. Pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan kedua, mereka bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


… إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا …


Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka…[6]


Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Maksud wali Allâh adalah orang yang mengenal Allâh, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”[7]


Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa para wali Allâh itu bertingkat-tingkat. Allâh berfirman, yang artinya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/35:32]


Tingkatan-tingkat itu adalah :

Pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku dosa-dosa. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka yang melalaikan sebagian hal-hal yang wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.”


Kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan hal-hal yang wajib, menjauhi yang haram, namun mereka meninggalkan yang sunat dan terjatuh pada yang makruh.


Ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh.


Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul ’Alaihimus shalatu wassalam. Dan setelah mereka adalah para sahabat Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [al-Fath/48:29]


Para sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan perwalian kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa ingin meraih ridha Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan mereka.


Wali-wali Allâh mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Para wali Allâh tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah. Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian biasa, dan betapa banyak zindiq yang memakai pakaian bagus.”[8]


Para wali Allâh tidak ma’shûm (terjaga dari dosa). Mereka manusia biasa terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” [az-Zumar/39:33-35]


Ayat ini memberi gambaran tentang wali-wali Allâh, yaitu Allâh akan memberi pahala yang lebih baik dari amalan mereka. Ini merupakan balasan atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang berlaku salah dan dosa. Diantara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah terjadinya peperangan diantara mereka dan juga ijtihad-ijtihad mereka yang terkadang keliru. Dan ini sudah diketahui oleh mereka yang sering membaca perkataan-perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih  dan yang lainnya.[9]


Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan untuk mendo’akan kebaikan untuk mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa, ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-ssaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang.” [al-Hasyr/59:10]


Para shahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh Ta’ala dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fath ayat 29.


Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada dengan hal-hal yang Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”


Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa memusuhi  para wali-Nya berarti memerangi-Nya, selanjutnya Allâh menjelaskan sifat para wali-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan apa yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada-Nya.


Wali-wali Allâh ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya. Sebaliknya, musuh-musuh Allâh ialah orang-orang yang dijauhkan dan terusir dari rahmat Allâh Azza wa Jalla sebagai akibat amal perbuatan mereka.


Allâh Azza wa Jalla membagi  para wali-Nya menjadi dua kelompok :

Pertama, yang mendekatkan diri dengan melaksanakan hal-hal wajib.  Ini mencakup melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, sebab semuanya itu termasuk melaksanakan yang diwajibkan oleh Allâh kepada para hamba-Nya.


Kedua, yang mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunat setelah amalan-amalan wajib.


Dengan jelas bahwa tidak ada bisa mendekatkan kepada Allâh, menjadi wali-Nya, dan meraih kecintaan-Nya kecuali dengan menjalankan ketaatan yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jika ada yang mengklaim dirinya meraih derajat wali dan dicintai Allâh Azza wa Jalla  tetapi tidak jalan ini, maka jelas ia dusta. Seperti kaum musyrik yang mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allâh. Seperti dikisahkan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka, yang artinya, “…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ”Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya…” [az-Zumar/39:3]


Dan Allâh mengisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengklaim mereka anak-anak dan kekasih[10] Allâh Azza wa Jalla , padahal mereka terus-menerus mendustakan para rasul, mengerjakan larangan-Nya serta meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu dalam  hadits di atas, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa wali-wali Allah itu terbagi dalam dua tingkatan :


Baca Juga  Kedudukan Hadits Tujuh Puluh Tiga Golongan Ummat Islam

Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri dengan mengerjakan hal-hal yang wajib. Ini tingkatan al-muqtashidîn (pertengahan) atau golongan kanan. Mengerjakan amalan fadhu adalah amalan terbaik. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sebaik-baik amal ialah menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .”


’Umar bin ’Abdul ’Aziz Radhiyallahu anhuma berkata dalam khutbahnya, ”Ibadah yang paling baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.”[11]


Karena tujuan Allâh Azza wa Jalla mewajibkan berbagai kewajiban ini supaya para hamba bisa mendekatkan diri kepada-Nya dan agar mereka bisa meraih ridha dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .


Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba (dalam kebaikan), yaitu orang-orang yang mendekat diri dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari yang makruh dan bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan seseorang dicintai Allâh, seperti difirmankan Allâh, “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”


Dan barangsiapa dicintai Allâh, maka Allâh akan anugerahkan rasa cinta kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir dan berkhidmat kepada-Nya. Itu semua menyebabkannya semakin dekat dengan Allâh dan terhormat di sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allâh mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [al-Mâidah/5:54]


Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa orang yang tidak cinta dan tidak berusaha mendekat kepada Allâh, maka Allâh tidak akan memperdulikannya dan tidak akan memberikannya anugrah yang agung ituyaitu rasa cinta. Jadi, orang yang berpaling dari Allâh, ia tidak akan mendapatkan ganti Allâh untuk dirinya sedang Allâh Azza wa Jalla mempunyai banyak pengganti untuknya.


Barangsiapa meninggalkan Allâh Azza wa Jalla , maka ia tetap merugi. Bagaimana tidak, karena ia hanya mendapatkan sebagian kecil dari dunia, padahal dunia dan seisinya disisi Allâh Azza wa Jalla tidak lebih berharga dari satu helai sayap seekor nyamuk.


Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tentang sifat-sifat orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, Allâh berfirman dalam  al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,” maksudnya, mereka bergaul dengan kaum mukminin dengan rendah hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan sikap keras. Karena ketika mereka sudah mencintai Allâh, maka tentu mereka juga mencintai  para wali Allâh sehingga  mereka bergaul dengan para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang. Mereka juga membenci musuh-musuh Allâh yang memusuhi-Nya lalu memperlakukan dengan sikap keras. Allâh berfirman :


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ 


Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka…” [al-Fath/48:29]


Kesempurnaan cinta seseorang kepada Allâh dibuktikan dengan memerangi musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Jihad juga merupakan wahana untuk mengajak orang-orang yang berpaling dari Allâh agar kembali setelah sebelumnya didakwahi dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, para wali Allâh itu ingin membimbing manusia menuju pintu Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits,


عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَـى الْـجَنَّةِ فِـيْ السَّلَاسِلِ


Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan dibelenggu.[12]


Diantara sifat wali  Allâh yang disebutkan dalam firman-Nya  al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,“Dan yang tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela,” maksudnya, orang-orang yang mencintai Allâh hanya menginginkan ridhai-Nya. Ia ridha kepada siapa saja yang Allah ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, orang yang masih takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, berarti cintanya tidak benar.


Selanjutnya dalam firman-Nya al-Maidah/5:54 tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Itulah karunia Allâh yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” Karunia maksudnya ialah derajat kewalian dengan sifat-sifat yang telah disebutkan.


AMALAN-AMALAN YANG PALING BISA MENDEKATKAN KEPADA ALLAH

Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan kepada Allâh Azza wa Jalla ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lain sebagainya termasuk banyak membaca al-Qur’ân, mendengarkannya, merenungkannya serta berusaha memahaminya. Khabbâb bin al-Art Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Mendekatlah kepada Allâh sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah, engkau tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada firman-Nya (al-Qur’ân).”[13]


Bagi orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang lebih manis daripada membaca al-Qur’ân. Utsmân bin ’Affân Radhiyallahu anhhu berkata, ”Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan pernah kenyang dengan firman Rabb kalian.”


Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ”Barangsiapa mencintai al-Qur’ân berarti ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[14]


Ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan kepada Allâh ialah banyak berdzikir dengan hati dan lisan. Dan diantara ibadah-ibadah sunnah lainnya yang lebih mendekatkan kepada Allâh ialah mencintai para wali Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi para musuh-Nya karena-Nya.[15]


Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”


Maksudnya, barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ibadah-ibadah wajib lalu ibadah-ibadah sunnah, maka Allâh akan mendekatkannya kepada-Nya dan menaikkan derajatnya dari tingkatan iman ke tingkatan ihsân. Karenanya, ia menjadi hamba yang beribadah kepada Allâh dengan merasa selalu diawasi Allâh sehingga hatinya penuh dengan ma’rifat (pengenalan) kepada Allâh, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan rindu kepada-Nya.


Ketika hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh, maka yang lainnya akan lenyap dari hati tersebut serta ia tidak lagi punya keinginan kecuali yang diinginkan Rabb-nya. Saat itulah, seorang hamba tidak bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan bimbingan Allâh. Jika ia mendengar, ia mendengar dengan bimbingan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat dengan bimbingan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allâh Ta’ala, ” Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”


Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul (menitisnya Allâh kepada makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah mengisyaratkan kepada kekafiran.


Dan ini iermasuk salah satu rahasia tauhid, karena kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH maknanya seseorang hamba tidak menuhankan selain Allâh dalam cinta, harapan, takut dan taat.  Jika hati sudah penuh dengan tauhid yang sempurna, maka tidak ada lagi kecintaan untuk mencintai apa yang tidak dicintai Allâh atau kebencian untuk membenci apa yang tidak dibenci Allâh.  Barangsiapa hatinya seperti ini, maka organ tubuhnya tidak akan bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh dan ia tidak mempunyai keinginan kecuali di jalan Allâh dan pada sesuatu bisa mendatangkan ridha-Nya.[16]


Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.”


Ini menunjukkan bahwa orang yang dicintai Allâh dan didekatkan kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allâh Azza wa Jalla sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh Azza wa Jalla , Allâh memberikan apa yang diminta; Jika ia memohon perlindungan kepada-Nya maka Allâh Azza wa Jalla  akan melindunginya; Dan jika ia berdo’a maka Dia mengabulkan do’anya. Dan kisah-kisah tentang orang yang do’anya mustajab banyak kita temukan dalam kisah-kisah generasi Salaf. Diantaranya :


Dikisahkan bahwa ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr memecahkan gigi depan seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr menawarkan diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun ditolak. Kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita tersebut, lagi-lagi kabilah wanita tersebut menolak. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan qishash. Anas bin an-Nadhr Radhiyallahu anhu berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan dipecahkan, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, gigi depannya tidak akan dipecakan.” Akhirnya, kabilah wanita itu ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَـوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ.


Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang yang jika bersumpah kepada Allâh, maka Allâh pasti melaksanakan sumpahnya[17]


Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang do’anya mustajab. Suatu hari, ada seseorang membuat cerita bohong yang memojokkan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu berdo’a, ”Ya Allâh, jika orang tersebut bohong, panjangkanlah usianya dan hadapkanlah fitnah-fitnah padanya.” Akhirnya orang itu tertimpa apa yang dido’akan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Ia mengganggu budak-budak wanita di jalan sambil berkata, ”Aku orang lanjut usia, tertimpa fitnah dan aku terkena do’a Sa’ad.”[18]

Seorang wanita bertengkar dengan Sa’îd bin Zaid Radhiyallahu anhu di lahan Sa’îd bin Zaid. Wanita tersebut menuduh Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu merebut lahan tersebut darinya. Kemudian Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu berkata, ”Ya Allâh, jika wanita itu bohong, butakanlah matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut buta. Dan suatu malam, ketika ia berjalan di lahannya, ia terjatuh di sumur kemudian meninggal.[19]

al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam salah satu detasemen kemudian anggota detasemen tersebut kehausan. Kemudian al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu shalat lalu berdo’a, ”Ya Allâh, wahai Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang Mahaagung, sesungguhnya kami hamba-hamba-Mu dan berada di jalan-Mu, kami memerangi musuh-Mu, karenanya, berikanlah kepada kami air hingga kami bisa minum dan berwudhu’ dan janganlah Engkau berikan air itu sedikit pun kepada siapa pun selain kami.” Lalu detasemen itu jalan sebentar kemudian menemukan sungai dari air hujan lalu mereka meminumnya dan mengisi wadah-wadah mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang dari sahabat-sahabat al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali ke sungai tersebut, namun ia tidak melihat apa-apa di dalamnya dan seakan di tempat itu tidak pernah ada air.[20]

Baca Juga  Anjuran Untuk Menikah

Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau disebutkan semuanya. Sebagian besar generasi salaf yang doanya dikabulkan tetap bersabar atas musibah, memilih pahalanya, dan mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut.


Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu  yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.”


Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla telah menentukan kematian bagi hamba-hamba-Nya seperti yang Dia firmankan dalam Surat Ali Imran/3:185. Saat akan meninggal, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa bahkan sakit yang paling pedih.


’Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu , ”Jelaskan kepadaku tentang kematian!” Ka’ab Radhiyallahu anhu berkata, ”Wahai Amîrul Mukminîn, kematian itu ibarat pohon besar dan banyak durinya yang masuk ke kerongkongan seorang manusia, sehingga duri-duri itu menancap pada urat-uratnya, kemudian pohon itu ditarik keluar oleh orang yang kuat. Tercabutlah apa yang tercabut, dan tertinggal apa yang tertinggal.” Kemudian ’Umar Radhiyallahu anhu menangis.[21]


Ketika ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal, anaknya bertanya tentang ciri-ciri kematian. ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu menjawab, ”Demi Allâh, kedua lambungku seakan berada di suatu tempat, aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan seakan ada ranting berduri ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[22]


Ketika kematian sangat menyakitkan seperti itu, padahal Allâh telah menetapkannya untuk seluruh hamba-Nya dan itu mesti terjadi sementara Allâh Mahatinggi juga tidak suka menyakiti orang mukmin, oleh karena itu Allâh menamakan hal ini sebagai keragu-raguan terkait dengan orang Mukmin. Sedangkan para nabi, mereka tidak meninggal sehingga mereka diberi hak memilih.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


…وَلَـكِنَّ الْـمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْـمَوْتُ ، بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّـهِ وَكَرَامَتِهِ ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِـمَّـا أَمَامَهُ ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّـهِ وَأَحَبَّ اللَّـهُ لِقَاءَهُ


…Akan tetapi seorang mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi kabar gembira tentang keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya. Karenanya, tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai daripada apa yang ada di depannya. Ia merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya.[23]


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan makna at-taraddud (ragu-ragu) dalam hadits di muka, “Ini adalah hadits yang paling mulia yang menjelaskan sifat-sifat para wali Allâh. Sekelompok orang menolak hadits ini dan mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak boleh dinyatakan memiliki sifat ragu. karena orang yang ragu adalah orang yang tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh Mahamengetahui akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari mereka (Ahli kalam) mengatakan bahwa Allâh berbuat dengan perlakuan yang penuh keraguan!


Penjelasan yang sebenarnya adalah, sabda Rasûlullâh adalah benar dan tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allâh, lebih sayang terhadap umat, lebih fasih dan lebih gamblang penjelasannya dibandingkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kalau begitu, maka orang yang mengingkarinya termasuk orang yang paling sesat, paling bodoh dan paling buruk akhlaknya. Orang seperti itu wajib diberi pelajaran dan dihukum sebagai ta’zîr (peringatan supaya jera). Yang wajib (diperhatikan), bahwa kita wajib menjaga sabda Rasûlullâh dari sangkaan batil dan keyakinan yang rusak.


Akan tetapi orang yang ragu-ragu diantara kita, meskipun keragu-raguannya dikarenakan dia mengetahui akibat dari sebuah perkara, maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh dengan sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allâh. Kemudian, ini juga bathil, karena keraguan seseorang terkadang disebabkan ketidaktahuannya terhadap akibat dari sesuatu, dan terkadang juga karena dua perbuatan tersebut (yakni melakukan atau meninggalkan) mengandung maslahat dan mafsadat. Dia ingin melakukannya karena ada maslahatnya dan (pada saat yang sama) dia tidak mau melakukannya karena ada mafsadat (bahaya)nya. (Disini dia ragu) bukan karena dia tidak tahu tentang sesuatu yang dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.


Yang seperti ini sama dengan keinginan orang sakit untuk minum obat yang tidak ia sukai. Bahkan, semua amal shaleh yang diinginkan seorang hamba tapi tidak disukai oleh jiwa termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ


Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka dikelilingi oleh syahwat[24]


Dan juga firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu…” [al-Baqarah/2:216]


Dari penjelasan di atas maka makna at-taraddud (keragu-raguan) yang disebutkan dalam hadits menjadi jelas bagi kita. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi diatas), “Hambaku tiada henti-hentinya mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” Sesungguhnya orang yang seperti ini keadaannya, ia akan dicintai oleh Allâh dan dia cinta kepada Allâh. Ia akan mendekatkan diri kepada Allâh dengan mengerjakan amalan wajib dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan sunnah yang Allâh cintai berikut pelakunya. Hamba itu telah mengerjakan apa-apa yang dicintai oleh Allah dengan segenap kemampuannya, maka Allâh akan mencintainya karena pekerjaan hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan yang sama, dimana seseorang itu mencintai apa-apa yang dicintai oleh orang yang dia cintai, dan membenci apa-apa yang dibenci. Allâh juga benci terhadap kejelekan yang menimpa hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh membenci kematian agar bertambah kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya.


Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi. Allâh menginginkan kematian hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Namun Allâh juga tidak mau menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Sehingga, dari satu sisi, kematian itu adalah suatu yang dikehendaki tapi disisi lain ia tidak disukai. Inilah hakikat at-taraddud (keraguan) itu yaitu mengiinginkan sesuatu dari satu sisi dan membenci sesuatu itu dari sisi yang lain,  meskipun akhirnya harus memilih satu dari dua sisi tersebut. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla memilih untuk menguatkan keinginan untuk mematikan (hamba-Nya yang mukmin) meski dibarengi dengan rasa tidak ingin menyusahkan hamba-Nya. Dan keinginan Allâh Azza wa Jalla untuk mematikan hamba-Nya yang mukmin yang dicintai-Nya dan tidak ingin disakiti jelas tidak sama dengan keinginan Allâh untuk mematikan orang kafir yang dibenci-Nya dan ingin disakiti.[25]


FAWAA-ID HADITS


Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.

Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.

Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal wajib.

Di antara sebab mendapatkan cinta Allâh adalah melaksanakan amalan wajib dan sunnah.

Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh.

Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan amalan wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n .

Ancaman bagi orang yang memusuhi para wali Allâh.

Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan mengolok, mengganggu, menyiksa, menyakiti atau membenci mereka, dia akan mendapat siksa di dunia dan akhirat.

Seorang hamba –betapapun tinggi derajatnya-, dia tidak boleh berhenti berdo’a, memohon kepada Allâh, karena yang demikian lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan kepada Allâh.

Mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amalan wajib dan sunnah sebagai sebab terkabulkannya do’a, dijaga dan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla .

Di antara para wali Allâh, ada yang diberi karamah (kemuliaan) dengan do’anya mustajab, dijaga, dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla dan karamah lainnya.

Dalam hadits ini tidak ada sedikitpun dalil atau hujjah bagi kelompok sesat yang berpendapat bahwa Allâh menyatu dalam diri manusia.

Derajat kenabian dan kerasulan lebih tinggi di sisi Allâh daripada derajat wali.

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua yang bernyawa pasti mati.

Kita wajib menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh itu tidak sama dengan nama dan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” [asy-Syûra/42:11].


Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian wali-Nya dan itu pasti terjadi, meskipun demikian Allâh Azza wa Jalla juga tidak ingin menyusahkan wali-Nya. Inilah yang dinamakan taraddud.



MARAAJI’:


al-Qur’ânul Karîm dan terjemahnya.

Shahîh al-Bukhâri.

Shahîh Muslim.

Musnad Imam Ahmad.

Sunan Abu Dâwud.

Sunan at-Tirmidzi.

Sunan an-Nasa’i.

Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).

Mu’jamul Kabîr lith Thabrani.

Fat-hul Bâri.

Hilyatul Auliyâ’

Thabaqaat Ibni Sa’d.

Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.

Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah.

Shahiih al-Jaami’ ash-Shagiir.

Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, Syaikh al-Utsaimin.

Al-Waafi Syarh Arba’in.

Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah.

Bahjatun Naazhiriin Syarah Riyaadus Shaalihiin.