Selasa, 22 April 2025

Tafsir surat Al Insan - petikan ketiga - menolak teori Darwin

 

catatan awal

Ayat yang mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur’an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur’an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan “meniupkan” kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.


Uraian

Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1 menguraikan proses kejadian manusia dari yang tidak ada menjadi ada. Tesuai dengan nama Surahnya yang memiliki arti manusia Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1 ini merupakan salah satu ayat evolusi, evolusi sendiri merupakan istilah dari kajian dan penelitian ilmuwan Eropa, namun ternyata Alquran telah lebih dahulu menjelaskan teori Evolusi ini 1400 tahun yang lalu.  


Ayat 1

Ayat pertama ini menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah yang tidak dikenal dan tidak disebut-sebut sebelumnya. Apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.

Ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bagian yang menceritakan evolusi manusia. Uraian sepenuhnya mengenai hal ini dapat dilihat di bawah ini.

Pada abad-19, Charles Darwin mengemukakan teori bahwa jenis manusia ada di muka bumi melalui suatu proses panjang evolusi. Mereka tidak langsung ada sebagaimana dinyatakan pada banyak kitab suci. Dia menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses evolusi, yang berujung pada terbentuknya manusia, kemungkinan besar memerlukan waktu jutaan tahun. Hal kedua yang dikemukakan oleh teori Darwin adalah bahwa manusia berkembang dari binatang.

Pada permulaan adanya kehidupan, demikian dinyatakan oleh teori ini, bentuk kehidupan yang ada adalah binatang-binatang tingkat rendah. Dengan berjalannya waktu, muncul binatang-binatang tingkat tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang berkembang menjadi manusia. Hal demikian ini dibuktikannya dengan adanya sederet bukti dari tengkorak hewan yang secara runut mengarah ke tengkorak manusia saat ini. Bukti lain juga dikemukakan dari perkembangan bentuk embrio. Dalam perkembangannya, embrio manusia berubah-ubah bentuk. Dimulai dari mirip bentuk embrio ikan, kelinci, dan jenis binatang lainnya, dan berakhir berbentuk manusia. Dari temuan terakhir ini, kemudian disimpulkan bahwa evolusi panjang manusia berasal dari bintang tingkat rendah.

Point kedua dari teori Darwin adalah bahwa manusia dan kera datang dari satu moyang yang sudah punah saat ini. Moyang yang punah ini disebutnya sebagai “missing link”, rantai yang hilang. Haekel, seorang peneliti setelah masa Darwin, berpendapat bahwa binatang yang menjadi “missing link” adalah yang disebut Lypotilu. Apabila binatang ini atau sisa-sisa dari binatang ini dapat ditemukan, maka teka-teki mengenai evolusi manusia dapat dijelaskan dengan lebih baik. Para pemikir yang mempercayai teori ini menganggap bahwa gorila dan simpanse ada pada jalur evolusi manusia. Peneliti lain yang bernama Huxley mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda. Ia menyimpulkan bahwa garis manusia dapat saja terjadi jauh sebelum munculnya jenis-jenis kera. Jadi, manusia dan kera tidak pernah berhubungan.

Penelitian yang lebih kemudian yang dilakukan oleh Prof. Jones dan Prof. Osborne, cenderung untuk menyimpulkan bahwa walaupun manusia ada melalui proses evolusi, namun prosesnya sudah terpisah dari binatang lainnya di masa yang lebih jauh. Dan dari saat itu, manusia berevolusi pada garisnya sendiri, tanpa bercampur dengan evolusi binatang lainnya. Dengan kata lain, manusia bukanlah cabang dari binatang lain, katakanlah kera, sebagaimana dipercaya oleh Darwin.

Para ahli arkeologi dan antropologi menemukan bahwa peradaban manusia terjadi melalui jalur yang terbagi secara jelas. Pada zaman batu, manusia pertama kali melangkah masuk ke daerah budaya dan kemasyarakatan. Sejak masa itu, manusia melakukan evolusi dalam mempertahankan hidup sebagai “binatang yang lemah”.

Karena tidak memiliki kekuatan, cakar, dan taring yang kuat sebagaimana binatang lain, manusia menggunakan batu sebagai alat mempertahankan diri dan kegunaan lainnya. Kemudian datang zaman perunggu, dimana manusia mulai menggunakan bahan metal untuk membuat peralatan. Zaman ini diikuti oleh zaman besi. Dari berbagai situs yang ditemukan para arkeologi disimpulkan bahwa berbagai zaman dari kehidupan manusia dilakukan dengan perubahan budaya dari satu masa ke masa lainnya.


Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang berkaitan erat dengan penciptaan manusia yang bertahap, yaitu:

مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لِلّٰهِ وَقَارًاۚ  ١٣  وَقَدْ خَلَقَكُمْ اَطْوَارًا   ١٤  اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ  ١٥  وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا   ١٦  وَاللّٰهُ اَنْۢبَتَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ نَبَاتًاۙ  ١٧  ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَيُخْرِجُكُمْ اِخْرَاجًا   ١٨  وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ بِسَاطًاۙ  ١٩  لِّتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا ࣖ   ٢٠

Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (Nuh/71: 13-20)

Ayat di atas mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur’an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur’an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan “meniupkan” kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.

Tafsir surat Al Insan ayat 1 - 4 - petikan kedua

 

Tentang  proses kejadian manusia 

Surat yang mengemukakan tentang proses kejadian manusia dari sebelum ia belum dapat disebutkan bentuknya. 

Dalam ayat tersebut juga diterangkan bahwa manusia tercipta dari setetes mani yang kemudian ia dikaruniai pendengaran dan penglihatan sebab kelak Allah SWT akan mengujinya dengan perintah dan larangan. 

Maka setelah datangnya karunia dan ujian tersebut manusia akan terbagi menjadi dua golongan, yakni mereka yang bersyukur dan mematuhi perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, dan mereka yang mendurhakai-Nya.

Secara umum isi surat Al Insan ayat 1-4 dapat dimaknai sebagai pengingat bagi umat manusia bahwasanya Allah SWT telah memberikan penjelasan tentang petunjuk-petunjuknya guna menjalani kehidupan di dunia, yakni dengan memanfaatkan penglihatan dan pendengaran di jalan yang lurus agar kita senantiasa bersyukur serta senantiasa menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya agar tidak digolongkan sebagai kaum yang kafir.

Berikut adalah bacaan surat Al Insan ayat 1-4 yang dapat dimaknai umat muslim sebagai petunjuk untuk senantiasa berada di jalan yang lurus sebagaimana petunjuk atau panduan dari Allah SWT:


هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا

hal atā 'alal-insāni ḥīnum minad-dahri lam yakun syai`am mażkụrā

Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Informasi penting disajikan secara kronologis

innā khalaqnal-insāna min nuṭfatin amsyājin nabtalīhi fa ja'alnāhu samī'an baṣīrā

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا

innā hadaināhus-sabīla immā syākiraw wa immā kafụrā

Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.


اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ سَلٰسِلَا۟ وَاَغْلٰلًا وَّسَعِيْرًا

innā a'tadnā lil-kāfirīna salāsila wa aglālaw wa sa'īrā

Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.

Selain menerangkan tentang proses kejadian manusia dan kehidupannya, surat Al Insan juga berisi penjelasan bahwasanya kelak dihari kiamat nanti setiap perbuatan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan. 

Oleh karena itu, firman Allah tersebut dapat menjadi pengingat agar umat manusia selalu menaati segala perintah dan menjauhi laranganya sehingga hidupnya dapat selamat di dunia dan di akhirat.

tafsir surat al insan-petikan 1

Surat Al Insan

Manusia dalam ayat ini tidak menunjukkan satu orang, melainkan berlaku umum yaitu seluruh manusia. Oleh karenanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini seakan-akan mengatakan “Wahai manusia, bukankah telah datang suatu zaman dimana kalian tidak ada dan tidak disebut-sebut”. Intinya adalah jika kita berbicara 100 atau ribuan tahun yang lalu, maka kita ini adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan tidak disebut-sebut.


Intinya adalah ayat ini bisa merujuk kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dan bisa pula berlaku untuk seluruh manusia. Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya agar Nabi Adam ‘alaihissalam atau manusia seluruhnya itu tahu diri serta tidak sombong dan angkuh. Dan juga agar manusia itu ingat bahwasanya ada yang menciptakan mereka yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.

 Kata هَلْ merupakan kata istifhamiyah (kata tanya), sehingga jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka akan menjadi ‘apakah’ atau ‘bukankah’. Akan tetapi jika Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengajukan pertanyaan, bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengetahui jawabannya? Oleh karenanya disebutkan oleh Ahli Bahasa Al-Farra’ bahwa kalimat istifham di dalam Alquran hanya bisa bermakna dua, yaitu bisa sebagai penekanan (taqriri) atau bisa sebagai pengingkaran (ingkari) ([1]), dan kata istifham dengan dua makna ini banyak kita jumpai di dalam Alquran.


Yang benar dalam ayat ini adalah kata هَلْ di sini berfungsi untuk menekankan, sehingga maknanya menjadi قد (sungguh). Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Sungguh, telah datang kepada manusia suatu zaman di mana mereka bukanlah sesuatu yang disebut” ([2]).


Adapun kata الْإِنْسَانِ dalam ayat ini, ada dua pendapat dikalangan para ahli tafsir,


Pendapat pertama mengatakan bahwa ال (Alif lam) dalam kata الْإِنْسَانِ adalah ال العهدية (Alif Lam Al-‘Ahdiyah) yang menunjukkan kepada manusia yang telah ditentukan yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam([3]). Maka sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang Nabi Adam ‘alaihissalam. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala melalui ayat ini mengingatkan kita tentang nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam.


Nabi Adam ‘alaihissalam termasuk dari makhluk terakhir diciptakan. Oleh karenanya dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ


“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.”([4])


Dari hadits ini, secara urutan zaman penciptaan, Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan terakhir oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan kita dapati sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan bumi dan langit beserta isinya terlebih dahulu.


Maka dengan ayat ini seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Bukankah telah datang suatu zaman Wahai Adam, yang alam semesta telah ada sebelum engkau diciptakan jutaan tahun lamanya tanpa ada manusia”. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa tanpa manusia pun alam semesta ini akan tetap berjalan. Maka di sini Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan bahwa telah ada suatu zaman di mana Nabi Adam ‘alaihissalam bukanlah sesuatu yang ada dan tidak pula disebutkan([5]), sehingga ini menunjukkan ketiadaan yang sempurna.


Akan tetapi sebagian Ahli Tafsir berpendapat bahwa maksud Allah ada masa dimana Nabi Adam telah ada namun tidak memiliki nilai sama sekali. Mereka mengemukakan pendapat ini berdasarkan maksud dari kata شَيْئًا مَذْكُورًا “sesuatu yang dapat disebut” sehingga dipahami bahwa Adam sudah sudah ada namun belum disebut-sebut, yaitu belum bernilai yaitu ketika Adam masih berupa jasad dari tanah belum ditiupkan ruh padanya.


Pendapat kedua mengatakan bahwa ال (Alif Lam) dalam kata الْإِنْسَانِ merupakan ال للإستغراق (Alif Lam Lil-Istighraq) yang menunjukkan keumuman, yaitu seluruh manusia([6]). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,


وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ


“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr 1-3)